tirto.id - Mencoba hal-hal baru adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh anak-anak dan remaja, baik dalam rangka mencari jati diri, iseng-iseng belaka, keluar dari zona nyaman, hingga sekadar menjajal hobi maupun tantangan anyar. Sayangnya, keinginan anak-anak dan remaja untuk mencoba sesuatu yang baru itu tak jarang malah kelewat batas dan menjurus ke arah negatif, misalnya mencoba narkoba.
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebut masyarakat Indonesia pertama kali mencoba narkoba di rentang usia 17-19 tahun. Sebab itu, bukan kebetulan jika laporan yang dirilis Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2017 lalu menyatakan bahwa 27 persen pengguna narkoba di Indonesia berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Adapun motivasi paling tinggi (64 persen) yang menyebabkan orang-orang menggunakan zat terlarang tersebut adalah coba-coba dan rasa ingin tahu.
Mirisnya, ketika pandemi COVID-19 seperti sekarang, angka kasus narkoba justru meningkat hingga 120 persen. Dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta, Jumat (1/5/2020) , Irjen Nana Sudjana (kala itu masih menjabat Kapolda Metro Jaya) menerangkan bahwa para pengedar narkoba menganggap pihak kepolisian lengah mengawasi mereka karena fokus pada situasi pandemi.
“Padahal kami terus siaga dan mengikuti perkembangan, terus menyelidiki perkembangan narkotika di wilayah hukum Polda Metro Jaya,” sambung Nana.
Nana juga menerangkan, para pengedar narkoba mengganti target pasar mereka saat pandemi karena tempat hiburan ditutup. “Jadi, mereka memanfaatkan apartemen, ada pula di hotel.”
Sementara Kepala BNN Komisaris Jenderal Heru Winarko menyatakan peredaran narkoba pada masa pandemi umumnya berlangsung via daring. "Mungkin kalau bertransaksi secara online dinilai aman oleh pengedar," kata Heru, Rabu (21/10/2020).
Langsung tidak langsung, perkembangan teknologi memang punya pengaruh terhadap meningkatnya angka pengguna narkoba. Tahun lalu, kala lima pelajar SMA di Jombang, Jawa Timur, kedapatan menyalahgunakan narkoba, Kasar Resnarkoba Polres Jombang AKP Mochammad Muklid menerangkan jika mereka mengenal dan belajar menggunakan narkoba dari media sosial.
“Mereka melihat tayangan video. Seperti cara menikmati sabu itu seperti apa, mulai dari merangkai, memasang sekrup dan sedotan ke botol, hingga cara membakar dan menyedotnya. Ironis sekali,” kata Muklid, Jumat (2/8/2019).
Para pelajar itu, sambung Mukild, umumnya mengedarkan narkoba kepada sesama, yakni teman sekolah maupun teman sebaya di luar sekolah. Mereka mulai mengonsumsi narkoba sejak duduk di kelas 3 SMP, kemudian aktif menjadi pengedar sejak setahun sebelum ditangkap.
“Awalnya mereka ini korban. Waktu masih kelas 3 SMP oleh pengedarnya diberi gratis. Lalu setelah ketagihan mereka beli sendiri hingga kemudian menjadi pengedar,” sambung Mukild.
Pada 2018, merujuk data BNN, penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar (survei di 13 ibukota provinsi se-Indonesia) mencapai angka 2,29 juta orang. Mereka yang berada di rentang usia 15-35 tahun, generasi milenial, disebut sebagai salah satu kelompok masyarakat yang paling rawan terpapar penyalahgunaan narkoba.
“Kalau milenial sudah menggunakan, maka rentan penggunaan jangka panjang. Sehingga market mereka (bandar/pengedar--red) terjaga dan mereka enggak pusing lagi (mencari korban),” ujar Kepala BNN Komisaris Jendral Heru Winarko,Rabu (26/6/2019).
Manfaat Semu Narkoba & Upaya Strategis Mencegahnya
Dokter Nadia Octavia, editor medis klikdokter.com, menerangkan bahwa selain sekadar ingin tahu, perkenalan remaja dengan narkoba dipicu banyak faktor, antara lain: tekanan sosial (ketika tidak mencoba narkoba, misal, seorang remaja rentan dikucilkan teman sepergaulannya), pelarian dari masalah (baik masalah di rumah maupun di sekolah), bentuk pemberontakan, kurangnya percaya diri, hingga menemukan kebahagiaan semu.
“Meski awalnya hanya iseng mencoba narkoba untuk kesenangan sesaat, namun kebahagiaan semu ini dapat membuat remaja kecanduan untuk mencobanya lagi dan lagi,” kata dr. Nadia.
Sementara menurut dr. Reza Pahlevi, faktor lain yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam lembah narkoba adalah mitos tentang obat stres maupun penambah stamina.
Untuk diketahui, obat-obatan seperti narkoba dibagi menjadi tiga golongan, yaitu stimulan (merangsang tubuh supaya tidak lelah), depresan (menenangkan), dan halusinogen (mengacaukan persepsi di otak). Banyak orang menggunakan narkoba untuk mendapatkan manfaat tersebut.
“Padahal, efek yang ditimbulkan itu hanya bersifat sementara. Setelah efek narkoba habis, tubuh justru akan merasa sangat kelelahan karena kurangnya istirahat,” terang dr. Reza.
Dalam jangka panjang, penggunaan narkoba juga dapat merusak organ penting seperti jantung, otak, hati, paru-paru, dan ginjal. Selain merusak kesehatan, jelas, menggunakan narkoba juga sangat rentan membuat masa depan menjadi suram.
Bicara soal pemberantasan narkoba di kalangan remaja, BNN bersama para stakeholder—salah satunya Kemendikbud—telah melakukan Program Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN). Kerja sama itu dilakukan, salah satunya, melalui penguatan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) dan pembinaan teknis guru, tenaga pendidikan, serta siswa.
“Dalam menghadapi ancaman penyalahgunaan narkoba, berbagai upaya telah dilakukan sebagai hasil sinergi dengan berbagai komponen bangsa baik pemerintah, swasta, polisi dan militer, LSM, pendidikan, dan juga masyarakat,” kata Direktur Advokasi BNN, Supratman, dalam gelaran ASEAN Conference on Global Prevention Practice and Interventions 2019 silam.
Supratman menjelaskan, upaya yang telah dilakukan adalah melalui lintas program, pendekatan lintas sektor, dan kolaborasi agar masyarakat memiliki pengetahuan dan pemahaman yang dapat meningkatkan pencegahan dan kemampuan melawan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Adapun pencegahan primer, yakni pencegahan yang ditujukan buat kalangan yang belum pernah mencoba narkoba sekali pun, dilakukan dalam bentuk penyuluhan, penerangan, dan pendidikan. Tentu, hal yang ditekankan dalam pencegahan ini adalah seruan agar para remaja tidak coba-coba dengan narkoba.
Sementara bagi kalangan yang sudah pernah menggunakan narkoba, akan dilakukan pencegahan sekunder. Kegiatan ini menitikberatkan pada kegiatan deteksi secara dini terhadap anak yang menyalahgunakan narkoba, konseling perorangan dan keluarga pengguna, serta bimbingan sosial melalui kunjungan rumah.
Kemudian bagi korban atau mantan penyalahguna, dilakukan pencegahan tersier. Untuk pencegahan ini, selain bimbingan, juga dilakukan penciptaan lingkungan sosial dan pengawasan sosial serta pengembangan minat, bakat, dan keterampilan kerja agar penyalahguna bisa diterima dan tidak lagi menggunakan narkoba.
Dari ketiga jenis pencegahan di atas, ada satu faktor yang paling berpengaruh, yaitu lingkungan. Untuk mencegah, menghindari, dan membasmi jeratan narkoba, siapa pun perlu lingkungan yang sehat, baik dalam konteks keluarga, masyarakat, sekolah, kantor, tempat hiburan, dan lain-lain.
Kita percaya, pola asuh dan kehidupan sosial di lingkungan yang baik adalah faktor pelindung nomor satu dalam mencegah penggunaan narkoba, perilaku kekerasan remaja, dan gangguan perilaku lainnya. Oleh karena itu, menghindari narkoba bukan hanya merupakan tanggung jawab BNN, polisi, dan stakeholder, melainkan semua pihak.
Jadi, di samping berupaya sekuat tenaga untuk tidak mencoba narkoba, apa pun alasannya, hal yang tak kalah penting dilakukan adalah memastikan bahwa lingkungan pergaulan kita benar-benar bebas dari narkoba. Fakta bahwa dalam situasi pandemi begini narkoba bisa tetap beredar di mana-mana, sudah semestinya membuat kita semakin waspada. Kita berjaga bukan semata untuk menghindarkan diri dan keluarga dari paparan Covid-19, tapi juga dari obat terlarang yang jelas betul daya rusaknya.
Sebagai salah satu bukti bahwa pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud, tidak tutup mata terhadap kasus penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, kini ada layanan pengaduan dan konsultasi bagi korban narkoba melalui Unit Layanan Terpadu. Layanan tersebut dapat kamu akses melalui tautan ini.
(JEDA)
Penulis: Tim Media Servis