tirto.id - Pada akhir 70an, TVRI menayangkan acara Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia di TVRI Pusat Jakarta. Saat itu J.S. Badudu menjadi salah satu pembicara rutin yang mengkaji permasalahan bahasa di Indonesia.
Pada salah satu episode, Badudu secara terbuka mengkritik penggunaan bahasa yang digunakan Presiden Soeharto. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta, Abdul Syukur, tahun lalu kepada RRI, menyebut bahwa sikap J.S. Badudu adalah upaya menjaga integritas bahasa Indonesia tanpa pandang bulu.
"Jadi dia mengkritik Presiden Soeharto yang saat itu sedang di puncak-puncaknya. Tidak ada lagi orang yang melebihi Pak Harto di Indonesia, dan beliau berani mengatakan bahwa apa yang dilakukan Pak Harto itu tidak benar. Harus diganti. Ini yang saya kira membuat kredit poin dari Pak J. S. Badudu, sehingga dia sangat dikenal di kalangan masyarakat ilmuwan maupun masyarakat biasa," kata Abdul Syukur seperti yang dikutip via RRI.
Di masa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto sering menggunakan kata berakhiran "-keun" yang tidak dikenal dalam bahasa Indonesia. J. S. Badudu menyampaikan kritikan tersebut di televisi dan menjelaskan bahwa yang benar adalah kata yang menggunakan akhiran "-kan", bukan "-keun". Tidak lama setelah itu acara Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia dihentikan dan kembali mengudara pada 1985-1986.
Catatan: Keluarga J.S. Badudu mengoreksi informasi di atas. Kepada Tirto, pihak keluarga mengatakan bahwa kritik Badudu tidak ditujukan secara khusus kepada Soeharto. Selain itu, Badudu berhenti siaran juga bukan karena kritik tersebut, melainkan permintaan sendiri terkait kesibukan mengajar di Bandung. Selengkapnya, baca: Koreksi Terhadap Informasi J.S. Badudu Mengkritik Soeharto [catatan ini dtambahkan editor pada 14 Agustus 2017, pukul 18.20 WIB].
Fragmen yang dialami J.S. Badudu dan Siaran Pembinaan Bahasa Indonesia itu terlintas kembali saat Mata Najwa mendadak tidak akan lanjut mengudara di Metro TV. Melalui akun Twitter resminya, Najwa Shihab mengumumkan bahwa program talk show Mata Najwa tidak akan lanjut setelah episode "Ekslusif Bersama Novel Baswedan". Episode itu menjadi produksi Mata Najwa yang terakhir.
Episode yang disebut-sebut sebagai episode live terakhir itu, yaitu yang menayangkan wawancara khusus dengan Novel Baswedan, tayang pada 26 Juli 2017. Beberapa jam sebelum episode itu tayang, media sosial -- khususnya Twitter -- diramaikan rumor bahwa episode wawancara khusus batal tayang secara mendadak. Akan tetapi, beberapa jam kemudian, tepatnya pada pukul 20.00 WIB, Mata Najwa tetap muncul seperti biasanya setiap Rabu malam.
Maka ketika Mata Najwa dinyatakan tidak akan berlanjut, banyak pihak yang berspekulasi. Apalagi setelah episode Novel itu, Mata Najwa memang tidak menampilkan episode baru, hanya episode lama. Najwa, ketika dihubungi oleh Tirto, hanya mengatakan: "Kita lihat tiga minggu lagi [setelah episode final 'Menuju Catatan Tanpa Titik']."
Sementara pihak Metro TV, melalui Presiden Direkturnya, Suryopratomo, juga mengkonfirmasi berakhirnya tayangan Mata Najwa.
"Kami sangat berterima kasih kepada Najwa Shihab atas kontribusi yang telah diberikan selama 17 tahun berkarya di Metro TV. Kami akan merasa kehilangan Najwa Shihab sebagai jurnalis dan tuan rumah Mata Najwa - program talkshow yang diminati publik dan telah memberi warna yang signifikan bagi perjalanan Metro TV sebagai televisi berita," ujar Suryopratomo.
Dalam sejarah penyiaran di Indonesia, Mata Najwa bukan satu-satunya acara talk show politik yang berhenti secara mendadak. Acara Perspektif-SCTV yang dipandu oleh Wimar Witoelar juga tiba-tiba dihentikan tanpa alasan pada 1995. Saat itu, Wimar sendiri mengaku tidak tahu mengapa acara yang berjalan sukses selama enam bulan itu dihentikan.
Salah satu episode legendaris yang mengakhiri tayangan Perspektif adalah saat Wimar mengundang Mochtar Lubis, tokoh pers nasional yang mendapat penghargaan Magsaysay. Saat itu ada gosip bahwa pemberhentian tayangan Perspektif karena Mochtar Lubis saat itu mengkritik demokrasi Indonesia. Dalam wawancara kepada Republika, yang tayang di edisi Jumat, 25 September 1995, Wimar membantah gosip itu. Ia mengatakan Mochtar Lubis bukan oposisi apalagi anti pemerintah.
Dalam buku Wimar Witoelar: "Hell, yeah!" susunan Fira Basuki, Wimar mengisahkan episode itu. Di halaman 56 buku tersebut, Wimar berkata: Mochtar Lubis dipilih karena baru saja mengembalikan hadiah Magsaysay yang diterimanya pada 1958 sebagai protes karena tokoh Lekra, Pramoedya Ananta Toer, dianugerahi penghargaan yang sama. Beberapa hari kemudian, tepatnya pada Rabu, 13 September 1995, Wimar diundang makan oleh pimpinan SCTV dan diberi tahu bahwa acaranya, Perspektif, dihentikan tanpa batas waktu yang pasti.
Setelah kejatuhan Orde Baru, Wimar menerbitkan kembali acara tersebut dalam format baru. Menariknya di halaman situs pribadinya, Wimar menyebut bahwa Perspektif [edisi] Baru berawal dari acara talkshow Perspektif di SCTV yang berhenti karena kerap menghadirkan tamu yang mengkritik Soeharto.
Di situs pribadinya itu, ada pernyataan: "Dengan pembawaan yang lugas, pandangan jernih, dan humor yang halus, Perspektif menjadi oase kesegaran di padang gurun tekanan politik zaman itu. Acara Perspektif disukai masyarakat Indonesia tapi kurang disukai rezim Soeharto. Akhirnya pada 1995 Perspektif dibredel karena isinya dianggap mendiskreditkan pemerintah Orde Baru."
Sejak pertama kali mengudara pada 19 Maret 1995 di SCTV dan berhenti tayang, Perspektif telah tayang hingga 70 episode. SCTV pernah dua kali batal menayangkan acara Perspektif. Yang pertama berisikan wawancara dengan Benjamin Mangkudilaga, hakim PTUN yang mengabulkan gugatan majalah Tempo; kedua, wawancara dengan Abdurrachman Wahid.
Baik Najwa dan Wimar adalah pembawa acara yang gemar menggali isu-isu terkini, termasuk topik-topik sensitif dalam politik. Najwa kerap menghadirkan tokoh-tokoh oposisi pemerintah dan mencecar mereka dengan pertanyaan yang tajam. Wawancara dengan Novel, misalnya, sarat dengan pertanyaan tajam mengenai kelambanan pihak kepolisian mengungkap penyerangan air keras yang menimpa sang nara sumber. Sementara Perspektif berani mendatangkan William Liddle, Frans Seda, Emil Salim, Mohamad Sobary, GM Sudarta, Marianne Katoppo, Seno Gumira Ajidarma, hingga Henry A Kissinger.
Masih dari buku Fira Basuki halaman 55, Wimar menyebut bahwa ia memulai Perspektif dengan latar belakang: "Concern kemasyarakatan. Selama ini, kan, jarang ada dialog netral dan jernih dalam masyarakat. Dalam ruang sempit, sih, sering orang ngobrol, di ruang kelas, di warung kopi, banyak dialog menarik. Tapi yang keluar di koran, di TV, itu bukan dialog. Itu monolog, briefing," katanya.
Wimar menekankan bahwa Perspektif sebagai forum untuk bertukar pikiran secara jernih. Ia selalu bilang bahwa tak ada pertanyaan yang disiapkan, tidak ada yang diedit. Ini sebagai usaha untuk menantang keterbukaan rezim.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS