tirto.id - Film Indonesia bertemakan Perang Revolusi lahir bersamaan dengan konsep perfilman nasional. Tepat pada tanggal 30 Maret 1950, Usmar Ismail memulai pengambilan gambar pertama film Darah dan Doa yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Film Nasional oleh pemerintah.
Semangat dalam di balik kata “pertama” itu selaras dengan apa yang diungkapkan Usmar di kemudian hari. Dalam kumpulan tulisan Usmar Ismail Mengupas Film (1983: hlm. 170), ia menuliskan bahwa “Darah dan Doa sesungguhnya adalah film Indonesia pertama yang berkisah tentang manusia Indonesia dalam revolusi.”
Sayangnya, pemilihan ungkapan “manusia Indonesia dalam revolusi” tidak populer di telinga orang-orang militer. Meskipun sempat mendapat apresiasi dari Presiden Sukarno di Istana Negara pada pertengahan tahun 1950, film ini tidak disambut baik oleh beberapa komandan militer daerah. Pasalnya, tokoh utama yang diceritakan berpangkat Kapten digambarkan dengan sangat manusiawi dan emosional sehingga dianggap dapat mengancam wibawa tentara.
Tiga puluh tahun berikutnya, film bernapaskan semangat revolusi tampil menjadi tren baru dalam tradisi sinema Indonesia. Sejak Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Surawidjaja masuk bioskop nasional pada 1980, setiap tahun selalu ada film perang yang dibuat untuk mengagungkan kepahlawanan tentara sepanjang periode revolusi. Sebagian besar film-film kolosal berbiaya fantastis semacam ini diproduksi oleh tentara Indonesia atau unit bisnisnya.
Pada 1986, Nagabonar seakan datang dari antah berantah untuk menampar heroisme semu yang biasa ditampilkan dalam film revolusi dan sandiwara 17 Agustus. Film komedi besutan sutradara M.T. Risyaf yang naskahnya ditulis Asrul Sani ini berkisah tentang mantan pencopet yang mengangkat diri menjadi komandan pasukan gerilya melawan Belanda di Sumatera Utara.
Goenawan Mohamad dalamCatatan Pinggir-nya menyebut revolusi dalam Nagabonar ibarat sirkus dengan tokoh badut sebagai pusatnya. Sikap Nagabonar yang sok jagoan dan spotan dimainkan dengan sangat meyakinkan oleh Deddy Mizwar. Di sini, ia hadir sebagai pemimpin yang lahir dari kondisi darurat tanpa disertai persiapan dan aturan jelas. Akibatnya, yang berlaku dalam kepemimpinannya hanya selera pribadi.
“Kisah ini, yang ditulis Asrul Sani, mengandung olok-olok untuk seorang pemimpin yang bersosok jagoan di matanya sendiri, tapi acak-acakan dalam kehidupan sehari-hari: sebuah penggembosan mitos,” tulis Goenawan.
Kritik Asrul Sani Memudar
Di tahun 2019, Nagabonar lahir kembali. Nagabonar Reborn yang merupakan daur ulang dari film terdahulu ini dibuka dengan adegan pembunuhan seorang mandor perkebunan sawit (Roy Marten) di Medan yang menolak bekerjasama dengan Belanda. Sang mandor ternyata meninggalkan istri yang tengah hamil tua.
Di saat bersamaan, sang istri sedang menjalani persaninan di bawah langit yang sedang bergemuruh hebat. Si jabang bayi lahir bersamaan dengan jilatan petir berbentuk naga yang menyambar-nyambar dan membuat takut seisi desa. Peristiwa itu kemudian mengilhami nama Nagabonar buat si bayi laki-laki.
Berbeda dari Nagabonar versi terdahulu, Nagabonar Reborn dibuka dengan cerita seorang anak bernama Nagabonar yang tumbuh di lingkungan pedesaan Sumatera. Ibunya selalu berpesan agar jangan sampai Naga tumbuh menjadi seorang pencuri seperti kawan kecilnya yang bernama Mariam.
Ketimbang mendaur ulang mentah-mentah naskah buatan Asrul Sani, film hasil arahan sutradara Dedi Setiadi yang lebih sering malang melintang di dunia FTV ini berusaha menampilkan kesan baru. Dengan mengimbuhkan cerita masa kecil Nagabonar, baik sutradara ataupun produser nampaknya berharap untuk mengisi riwayat dalam semesta Nagabonar yang tidak muncul dalam naskahnya Asrul Sani.
Tapi, karena keluar dari pakem Asrul Sani, masalah yang berkaitan dengan konteks cerita mulai bermunculan. Tidak jelas apa yang hendak dibicarakan paruh pertama Nagabonar. Hal ini diperparah oleh miskinnya inisiatif riset sutradara dan penulis naskah tentang kondisi sosial-budaya masyarakat Medan jelang masa pendudukan Jepang.
Selama kurang lebih 50 menit pertama, Nagabonar yang sudah dewasa (Gading Marten) hanya bolak-balik melakukan obrolan revolusi di warung kopi bersama Lukman (Rifky Alhabsyi), siswa HBS yang jadi pengangguran lantaran pilih-pilih pekerjaan. Retorika yang dirangkai di balik dialog kaku dan dangkal itu seolah-olah menunjukan bahwa mereka semua sudah siap pergi perang, padahal tentara Jepang baru saja masuk Indonesia.
Tidak heran jika seiring cerita yang terkesan maju dengan cepat, kritik Asrul terhadap pemimpin sok jagoan di sekitar Perang Revolusi itu pun mentah. Nagabonar versi Gading Marten tidak lagi setajam pendahulunya, malah cenderung mengumbar kekonyolan yang tidak lucu.
Adegan “bagi-bagi pangkat” dalam divisi Macan Kumbang yang dititipkan Bang Pohan (Donni Damara), seorang anggota laskar rakyat, kepada Naga pun menjadi kekurangan makna. Hal ini disebabkan, si Bujang (Ence Bagus), sahabat Naga yang sempat ditertawakan lantaran merengek dijadikan wakil jenderal itu tidak mendapat porsi cerita yang layak. Jadi, jangan harap bisa mendengarkan sajak Jenderal Nagabonar buat Bujang yang terkenal itu.
Tiba-Tiba Milenial
Secara garis besar, Nagabonar Reborn bisa disebut gagal lahir kembali. Bukan saja karena versi daur ulang ini tidak banyak menghasilkan perspektif cerita baru, tetapi juga gagal menerjemahkan kembali kritik sosial yang pernah dibawakan oleh tokoh asli Nagabonar. Padahal, pada konteks zaman apapun, kritik Asrul Sani masih tetap relevan untuk diangkat.
Barangkali Nagabonar Reborn berangkat dari asumsi bahwa para milenial yang menjadi target penonton utama film ini tidak membutuhkan atau bahkan tidak tertarik pada isu tersebut. Sebaliknya, film ini semakin banal karena lebih banyak mengangkat kisah cinta si Nagabonar dan Kirana (Citra Kirana) yang berputar-putar sedari babak pembukaan.
Tokoh Kirana sendiri tidak berkontribusi apapun pada perkembangan cerita, kecuali diperlakukan seperti “piala kemenangan” dengan bolak-balik mendapat lirikan genit dari setiap komandan yang terlibat perang. Tidak terkecuali Nagabonar sendiri yang memang bertekad mengangkat diri menjadi komandan dengan mencuri seragam jenderal dan topi jambul bulu merak dari rumah Jenderal Jepang. Semua dilakukannya agar terlihat gagah di depan ibunya dan juga Kirana.
Nagabonar kini hanya jenderal jenaka yang berperang demi cinta, hal yang dianggap mudah dicerna tanpa perlu berpikir keras. Sutradara dan penulis Erros Djarot mengkritisi fenomena ini dengan sebutan "milenialisme" dalam film dan sastra.
Perubahan citra Nagabonar dari versi pendahulunya yang suka meracau hingga menjadi makhluk pecinta yang pemberani memang bukan kejahatan. Namun, yang patut disayangkan, dengan tendensi "milenialisme" ini, penonton tidak diberi kesempatan mencicipi situasi perang revolusi di sekitar Nagabonar yang terbalik menjadi dunia lawak dan berhasil membuat penonton dari generasi 1980-an dan 1990-an tertawa geli.
Editor: Windu Jusuf