Menuju konten utama
Wawancara Khusus

Nafas, Alternatif Miskinnya Data Polusi Udara Pemerintah

Nafas Indonesia memberikan alternatif data terkait polusi udara yang minim ditemukan di instansi pemerintah.

Nafas, Alternatif Miskinnya Data Polusi Udara Pemerintah
Header Wansus Nathan Nafas. tirto.id/Tino

tirto.id - Isu Kualitas udara Jakarta buruk terus menjadi topik pembahasan yang hangat tiga bulan belakangan ini. Berdasarkan data melalui aplikasi Nafas Indonesia , menunjukkan udara Kebun Jeruk, Jakarta Barat berwarna merah atau tidak sehat dengan angka 157 per pukul 12.30 WIB, Senin (11/9/2023).

Kualitas udara Jakarta juga pernah menduduki peringkat pertama terburuk di dunia pada Minggu (20/8/2023) pagi dengan angka 161 atau masuk dalam kategori tidak sehat berdasarkan laman pengukuran kualitas udara IQAir.

Dua Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU) tersebut milik swasta. Sementara Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI sendiri memiliki lima alat SPKU yang tersebar di Jakarta: Gelora Bung Karno, Kebon Jeruk, Bundaran HI, Jagakarsa, dan Kelapa Gading. Pada Kamis (31/8) rata-rata kualitas udara di angka berkisar 52-99 dengan kategori Sedang.

Jika dilihat dari jumlah SPKU yang minim, apakah alat milik Pemprov DKI bisa mengcover seluruh wilayah Jakarta? Atau diperlukan bantu stasiun pemantau kualitas udara low cost sensor milik swasta?

Untuk menjawab hal tersebut, Tirto berdiskusi dengan CEO cum Co-founder Nafas Indonesia, Nathan Roestandy yang berkunjung ke kantor redaksi Tirto di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan pada Senin (11/9/2023).

Nafas.id, salah satu alat pemantau kualitas udara di Jakarta. Apa alasan mendirikan Nafas.id?

Nafas Indonesia dimulai awal 2020 sebelum COVID-19. Intinya inisiatif mendirikan Nafas itu karena kekhawatiran yang muncul pada saat kembali ke Indonesia tahun 2014. Sebelum itu saya sering berpergian ke Cina bertahun-tahun, di Indonesia isunya sama seperti di Cina 10 tahun lalu sebelum heboh-hebohnya isu polusi udara. Saat kembali ke Indonesia, perasaan isu polusi udara di sana (Cina) heboh banget, di Jakarta gimana sih?

Pada saat itu susah banget mencari data, hanya ada beberapa sensor titik dari Kedutaan Besar Amerika, open source data itu sangat susah didapatkan. Jadi tanpa ada data, ini sesuatu yang tidak bisa kita lihat. Dari situ muncul ide kota seperti Jakarta ini perlu ada satu network yang open source sehingga masyarakat menjadi tahu apa itu polusi udara, yang diukur apa. Jadi tujuan Nafas itu kami mau menyediakan sebuah sarana umum di mana masyarakat bisa mengetahui dan mendalami tentang polusi udara ini.

Sejauh ini fokus Nafas mengukur kualitas udara saja?

Awalnya kita fokus ke pengukuran kualitas udara di outdoor network, pasang sensor di mana-mana yang bisa mengukur partikel-partikel, gas, temperatur, kelembapan, intinya parameter udara lah. Dan seiring kami memahami isi polusi udara, jadi ke indoor atau dalam ruangan, karena kan kita mayoritas berada di dalam ruangan, rumah, kantor, sekolah. Sebanyak 90% kita berada di dalam ruangan, berarti kita penting banget mengetahui kualitas udara di dalam ruangan.

Bagaimana metode pengukuran kualitas udara dari alat yang dimiliki Nafas?

Jadi dari outdoor itu kami menggunakan sensor dari sebuah perusahaan di Uni Eropa. Awalnya kami mau menggunakan sensor yang sudah digunakan dan sertifikasinya sudah sangat tinggi, karena kami menyediakan informasi ke publik, tentunya hal ini akan disorot dan memastikan bahwa kredibilitas dari data yang ditampilkan akurat. Jadi sensor ini dinamakan low cost sensor. Low cost sensor itu complementary (saling melengkapi), jadi bisa menambah jangkauan. Dan karena ongkosnya yang lebih murah itu bisa pasang lebih banyak. Kami melihat dari BMKG, KLHK, mereka sudah punya ada sensor SPKU (Stasiun Pemantauan Kualitas Udara) yang besar, jadi kami tambahin saja yang low cost sensor.

Partikel apa saja yang diukur oleh Nafas?

Dengan teknologi ini bisa mengukur gas-gas dan juga kadar partikel yang ada di udara. Data itu diambil setiap menit bisa 20 kali sampelnya, lalu data itu kami olah dan juga ada proses kalibrasi, dan data itu kami tampilkan di Nafas.

Itu real time?

Ya itu hampir real time setiap 5 menit terupdate.

Saat ini berapa SPKU yang dipasang oleh Nafas?

Kami sudah ada di Jabodetabek dan kota-kota lainnya sudah hampir 200 sensor di 15 kota. Jaringan terbesar di Jabodetabek iu ada sekitar 140 sensor. Tapi itu masih belum cukup sebenarnya, kami masih butuh lebih luas lagi.

Di aplikasi Nafas ada penyebaran SPKU dan ada angka-angka kualitas udara di sana. Bisa dijelaskan maksudnya?

Jadi yang paling gampang kita lihat warna ya, kita menggunakan indeks Air Quality US, itu indeks yang paling sering digunakan. Itu kita mengikuti warna. Hijau itu yang paling baik, kuning, orange, merah, hingga cokelat. Jadi yang paling gampang kita lihat dari indeks warnanya. Yang paling penting itu diukur polutan PM2.5 yang menjadi baku mutu pengukuran polusi udara secara global, dari WHO, bahkan di Indonesia kita juga sudah menggunakan PM2.5. Dan memang PM2.5 ini polutan paling berbahaya, terutama di kota-kota yang levelnya sangat-sangat tinggi, salah satunya di Jakarta. Selain itu kita ukur juga polutan-polutan gas, dari sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dari karbondioksida, ozon, karena itu polutan. Tapi kalau kami lihat di Jabodetabek itu yang paling berbahaya PM2.5.

Kenapa PM2.5 disebut paling berbahaya dibanding polutan lain?

Jadi PM kan partikulat meter, dia semacam debu padat yang berukuran 2,5 mikron ke bawah atau itu ¹/³⁰ dari diameter helai rambut. Jadi kecil banget. Karena kecil itu, badan kita tidak bisa menyaring, itu bisa sampai kantong paru-paru kecil kita, lalu masuk ke saluran darah kita, setelah itu dia bisa ke jantung, otak, paru-paru. Makanya PM2.5 ini berbahaya karena dampaknya tidak hanya terhadap respirasi, tapi juga ke mana-mana. Dampak buat tubuh sangat berbahaya karena PM2.5 itu datang dari asap kendaraan, industri, asap pabrik, bakar sampah, rokok, konstruksi, dari alam juga bisa kalau ada kebakaran. Jadi level PM2.5 itu tinggi sumbernya dari manusia.

Dalam catatan Nafas, di mana saja daerah terparah?

Kalau rata-ratanya oranye, tapi belakangan ini kalau dilihat saat Agustus hampir semua merah. Paling parah itu ada di daerah Tangerang Selatan, Bintaro, Bekasi. Tapi bukan berarti polusi udara berasal dari sana ya, bisa karena faktor cuaca, angin, dan lainnya membawa konsentrasi polusi udara tertinggi di sana. Jadi polusi udara bisa terbawa ratusan kilometer oleh angin. Kayak di Singapura saja bisa terdampak polusi dari kebakaran hutan di Kalimantan. Jadi polusi udara yang tidak banyak industri, kendaraan dan banyak pohon tapi polusinya tinggi, ya bisa karena terbawa angin. Jadi polusi udara itu tidak punya KTP, bisa melintasi area-area, tergantung pola cuaca dan angin.

Selain itu ada faktor-faktor perubahan iklim yang mempengaruhi atmosfer, faktor cuaca. Jadi hujan, angin temperatur, perubahan iklim membuat suhu bumi meningkat, dampaknya musim kemarau yang lebih panjang. Dengan hujan minim, musim kemarau panjang, polusi udara makin parah.

Bagaimana cara kerja SPKU punya Nafas?

Jadi sensornya kita cukup kecil, jadi ini sensor yang sudah enam ribu terpasang di kota-kota di Eropa. Ukurannya kecil ini jadi kita bisa pasang di banyak tempat dengan mudah, dan engga perlu wifi, dia pakai GSM, dia konsumsi listriknya sekitar Rp20.000 setahun, jadi sangat kecil. Kita bisa pakai panel solar juga, sehingga listriknya bisa nol. Model (Ukuran) sensornya kaya token listrik, tapi lebih kecil. Nah kita pasang ada guide line. Dipasang enggak bisa dekat orang bakar sate, orang bakar sampah karena nilainya tinggi. Jadi kita pasang di tempat yang sesuai sehingga data yang didapat juga tinggi atau representatif.

Memang seberapa akurat sih alat ini untuk mengukur kualitas udara?

Kalau low cost sensor ini sudah di atas 90% tingkat akurasinya. Lalu kami juga melakukan kalibrasi dengan SPKU yang lebih besar. Jadi low cost sendiri akurasinya bisa kita tingkatkan lagi. Akurat dalam artian data ini bisa mengimbau masyarakat dan untuk keperluan riset. Tapi di satu kota itu infrastruktur pengukuran tidak bisa satu tipe. Kalau kita lihat based practice di negara-negara lain, itu perpaduan low cost sensor ini dengan kita namakan reference station (SPKU Milik Pemerintah), ini yang besar dan bisa harganya miliaran rupiah. Nah, kombinasi antara kedua ini yang memberikan akurasi dan jangkauan yang luas.

Kalau low cost sensor outdoor itu jangkauan pengukuran bisa sejauh apa?

Itu bisa sampai 500 meter sampai 1 kilometer.

Alat low cost sensor outdoor itu biaya sendiri atau ada sponsor?

Alat kita yang outdoor itu kami disponsori sama perusahaan-perusahaan, jadi dari sponsor ini kami beli sensor, kami maintenance, update terus, jadi emang dari swasta harus bantu. Contoh kami mau masang di Medan, kami bekerjasama dengan perusahaan lewat program CSR nya untuk membantu. Rata-rata memang alat sensor outdoor Nafas dari CSR swasta. Awalnya memang susah, karena isunya kurang seksi banget. Pas tahun 2020 ke atas isunya seksi. Jadi ajak peran dari luar untuk membantu.

Selain Nafas, saat ini yang sering menjadi rujukan data dari alat milik AQair. Apa perbedaan SPKU milik Nafas, IQAir dan Pemerintah?

Jadi IQAir perusahaan global dari Swiss, dia mengambil data dari beberapa sumber, satelit, third party, juga ada pemasangan sensor yang mereka jual ke publik, kadang bisa dipasang di rumah, di dalam ruangan, hingga luar ruangan, dan sebagainya, jadi tidak standarisasi. Kalau Nafas ini dari sensor fisik yang kita pasang dari outdoor area, jadi lebih representatif dan lebih akurat. Karena terstandardisasi, artinya kalau mau digunakan untuk keperluan riset atau kebutuhan-kebutuhan lainnya. Jadi perbedaannya terstandardisasi atau tipe sensor yang dilakukan kalibrasi juga secara berkala, sehingga memang dari sisi akurasi lebih tinggi dan real-time. Kan kita kasih lihat tuh data ini kapan diambilnya. Contoh hari ini Senin (11/9) jam 12.35 WIB, jadi lebih real-time juga.

Kalau Nafas sama IQAir mengambil sampelnya sama pakai PM2.5 atau ada yang lain?

Iya benar, tapi kami juga mengambil gas-gas juga. Misalnya di sini ada natrium dioksida dan ozon, jadi ini kami lebih lengkap. Yang paling penting kita mengetahui sumber datanya dari mana, karena jenis sensor yang digunakan, dalam atau ruangan, apa data satelit, itu harus transparansi. Dan Nafas sangat transparan dari alat yang kita pakai dan proses-prosesnya kami sangat terbuka dan kami sharing.

Perbedaan dengan SPKU milik pemerintah?

Jadi yang digunakan KLHK, BMKG, itu reference station, itu adalah sensor yang tingkat akurasinya paling tinggi, juga apa yang diukur paling banyak. Tapi memang biayanya sangat tinggi dan maintenance juga sangat tinggi dan ukurannya besar, sehingga kita tidak bisa menggunakannya terlalu banyak. Tapi memang tidak dibutuhkan sebanyak itu. Jadi reference station ditambah low cost sensor yang itu yang mau kamu dorong. Sebetulnya itu sangat bisa, kita percaya, dan indeks apa yang digunakan dan indeks itu kan sebetulnya mengukur partikel-partikel apa saja, karena indeks-indeks itu beda-beda.

Kalau [pemerintah] Indonesia pakai ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara), kalau kami pakai indeks US (United State). Contohnya kalau kita lihat PM2.5, kalau di angka 35-55 standar internasional itu sudah tidak sehat, tapi kalau di sini [ISPU] masih moderat (Oranye). Jadi kita harus tahu dulu indeks apa yang digunakan, karena indeks itu mencerminkan value-value yang berbeda.

Ada juga rekomendasi buat pemerintah kalau kualitas udara tidak sehat?

Harus ada imbauan ke masyarakat, harus ada satu komunikasi, entah itu lewat sosmed, aplikasi, media, ataupun itu. Dan itu penting sekali terutama ada hari-hari yang levelnya sangat tinggi untuk mengurangi risiko penyakit.

Sejauh ini informasi atau imbauan yang diberikan oleh pemerintah kepada publik sendiri bagaimana?

Sekarang lagi dibangun yang lebih komperhensif, tersingkron dari Kemenkes, dan kementerian-kementerian lainnya. Informasi itu harus tersingkron, tidak bisa yang satu sebut ini, yang satunya lain sebut ini. Tapi sekarang upaya pemerintah besar sekali, tingkat urgensinya tinggi dan itu yang sebenarnya kita harapkan. Di sini Nafas bukannya ingin mengatakan bahwa "Oh data kami 100% akurat". Tidak. Kami hanya mau ini menjadi acuan dan ini menimbulkan rasa kepedulian yang nantinya akan membuat pemerintah termotivasi. Jadi dari Kemenkes, Kemenkomarves, KLHK, DLH semua mereka membuat perencanaan penanggulangan, dari jangka pendek sampai jangka panjang.

Jadinya juga tidak sinkron ya dalam mengambil kebijakan?

Iya benar, makanya perlu data alternatif yang disajikan. Makanya di sini kami bisa membantu pemerintah juga untuk menyatukan informasi, strategi komunikasi yang senada, dan itu penting sih. Kalau dari pemerintah itu harus satu suara lah, tidak bisa saling ada konflik sendiri, ini yang benar yang mana. Jadi tingkat kepercayaan publik juga menurun, dan itu yang sekarang dirasakan. Jadi kami akan mengajak Pemerintah berkolaborasi. Jadi kami mau ajak DLH DKI biar menyampaikan informasi secara senada antara Nafas sebagai swasta dan badan pemerintah itu sama. Biar informasinya juga lebih kredibel dan komperhensif ke masyarakat. DLH DKI yang sebelumnya persepsinya kurang baik, kami juga bisa bantu, supaya ini dijelaskan bahwa DLH DKI sudah melakukan upaya a, b, c, supaya mereka juga bisa dibantu diinformasikan melalui media sosial Nafas.

Apa harapannya ke depan dari Nafas?

Publik ya punya peran yang penting, dulu Eropa punya kondisi polusi udara yang tinggi. Ketika negara berkembang, proses industrialisasi meningkat, pasti polusi udara itu akan menjadi masalah. Tapi di sini dorongan publik yang menjadi akseleran terhadap pemerintah untuk lebih cepat mengambil aksi. Jadi kita ini yang punya akses ke media sosial, hobil baca berita, atau lebih ada akses informasi ini kita tuh harus menjadi suara yang benar-benar keras, agar hal ini tuh dianggap hal yang secara urgensinya tinggi. Jadi rajin-rajin kita posting, sharing ke komunitas kita atau masyarakat RT/RW.

Misalnya ada yang bakar sampah, kita jelaskan bahwa ini tidak sehat bagi warga-warga di sana. Jadi aksi-aksi kecil ini sebagai agregat sebagai cara kita merubah ke masyarakat.

Baca juga artikel terkait POLUSI UDARA atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Restu Diantina Putri