Menuju konten utama

Mundurnya Kualitas Debat Capres Amerika

Debat capres AS 2020 payah. Debat cawapres lebih substansial.

Mundurnya Kualitas Debat Capres Amerika
Karen Pence dan Wakil Presiden Mike Pence, berdiri di atas panggung bersama calon wakil presiden dari Partai Demokrat Sen. Kamala Harris, D-Calif., Dan suaminya Doug Emhoff setelah debat wakil presiden Rabu, 7 Oktober 2020, di Kingsbury Hall di kampus dari Universitas Utah di Salt Lake City. Justin Sullivan / Pool via AP

tirto.id - Pada tahun 1960, ketika Perang Dingin sedang hangat-hangatnya dan Amerika Serikat tengah bergumul dengan gerakan kebebasan sipil, debat calon presiden disiarkan di televisi untuk pertama kalinya. Kira-kira 70 juta pemirsa menyaksikan debat antara senator muda Demokrat, John F. Kennedy dan wapres petahana Republikan, Richard Nixon yang berlangsung selama 59 menit di studio berita CBS, Chicago.

Seperti disampaikan oleh History, debat Kennedy-Nixon menorehkan dua makna penting dalam sejarah politik Amerika. Pertama, siaran The Great Debates telah berdampak pada hasil pemilu—poling menunjukkan bahwa separuh lebih pemilih suara dipengaruhi oleh program tersebut. Kedua, terlahir era baru yang menempatkan pencitraan publik dan ekspos media sebagai kunci sukses dalam kampanye politik.

Sesi diawali dengan pidato pembuka selama 8 menit dari masing-masing kandidat, diikuti dengan pertanyaan dari empat orang awak media yang dijawab oleh Kennedy dan Nixon secara berurutan. Kennedy tampak segar dan rileks dalam mengutarakan ide-idenya, serta percaya diri di depan kamera. Di lain pihak, Nixon terkesan tegang dan lelah karena kondisi kesehatannya kala itu kurang prima. Terlepas dari karakter pembawaan berbeda, kedua kandidat capres berhasil menyajikan substansi diskusi yang sama-sama berbobot terkait isu ekonomi domestik, program pertanian, layanan kesehatan untuk lansia, subsidi dana pendidikan dan gaji guru, sampai ancaman komunisme terhadap keamanan nasional.

Secara umum, debat Kennedy-Nixon mudah diikuti karena masing-masing dapat menyampaikan isi pikirannya dengan kalimat utuh dan terstruktur. Selain itu, debat terasa nikmat ditonton karena setiap kandidat menaruh perhatian dan respek kepada lawan bicaranya. Misalnya, terlepas dari perbedaan pendapat tentang ekonomi yang mandek, Nixon “setuju sepenuhnya dengan semangat yang diutarakan Senator Kennedy pada malam ini, semangat bahwa Amerika Serikat harus maju”, sementara Kennedy menghormati Nixon sebagai “pemimpin yang efektif di partainya”.

“Debat” pilpres 2020

Enam dekade berlalu sejak televisi mengawali budaya kampanye pilpres di AS. Media daring dan media sosial kini semakin mempermudah politisi menyuarakan aspirasinya sekaligus menawarkan alternatif bagi masyarakat untuk mengedukasi diri tentang politik. Ironisnya, kecanggihan teknologi abad ke-21 tidak berkorelasi dengan kualitas politisi dan etika berpolitik. Mungkin Kennedy dan Nixon akan kecewa apabila diperlihatkan video di kanal Youtube tentang debat perdana antara Donald Trump dan Joe Biden pada bulan September lalu.

Para komentator berita di AS sepakat bahwa debat pilpres 2020 sangat berantakan. George Stephanopoulos dari ABC News menilainya sebagai “debat terburuk” sepanjang kariernya di industri media. Keprihatinan pun muncul dari luar negeri. Dikutip dari Deutsch Welle, Andreas Nick, anggota Komisi Luar Negeri Parlemen Jerman, menganggap debat Trump-Biden sebagai “hal memalukan, dipandang dari segi kurangnya kesopanan, dipandang dari apa maknanya untuk martabat kepresidenan dan proses demokratis”. Hu Xijin, editor utama media pemerintah Cina Global Times mengomentarinya sebagai “kekacauan di puncak politik Amerika yang mencerminkan perpecahan, kegelisahan masyarakat Amerika dan lenyapnya manfaat dari sistem politik Amerika”.

Acara yang berlangsung selama 90 menit di Case Western University, Cleveland tersebut lebih tepat disebut sebagai pementasan komedi, alih-alih debat politik yang intelektual, terhormat, dan beradab sebagaimana bisa diteladani dari siaran Kennedy-Nixon setengah abad silam. Hal paling mencolok sepanjang pertunjukan adalah bagaimana Trump tidak henti-hentinya menginterupsi Biden dan moderator Chris Wallace. Isu-isu kebijakan sama sekali tidak menjadi fokus di atas panggung karena tertimbun oleh serangan personal dan keributan suara dari 2-3 orang yang berbicara pada waktu bersamaan.

Debat dibagi menjadi beberapa segmen topik besar—pencalonan Jaksa Agung, layanan kesehatan, COVID-19, ekonomi—yang dimulai dengan pertanyaan oleh Wallace dan dijawab oleh setiap kandidat secara bergantian selama dua menit, sebelum dimatangkan dengan diskusi terbuka yang difasilitasi moderator.

Wallace mengawali pertanyaannya tentang pencalonan Amy C. Barrett sebagai Jaksa Agung oleh Trump. Setelah masing-masing kandidat mengutarakan pendapatnya, fokus pembahasan mulai tercerai-berai karena Trump mulai menginterupsi Biden. Tepatnya pada menit ke-10 sejak acara dimulai, moderator sampai kesulitan berbicara karena selalu diinterupsi Trump. “Pak Presiden, saya moderator debat ini. Saya ingin Anda mengizinkan saya ajukan pertanyaan lalu Anda bisa menjawabnya,” tegas Wallace. Semenjak itulah perdebatan sudah tak lagi nyaman untuk diikuti.

Tim data dari Factba.se mencatat 1.210 kali pergantian pembicara antara Trump, Biden, dan Wallace. Artinya, rata-rata akan selalu ada satu orang yang berbicara setiap 5 detik. Menurut perhitungan majalah Slate, Trump menginterupsi Biden dan Wallace sedikitnya 128 kali, jauh di atas jumlah interupsi Trump kepada Hillary Clinton pada debat pilpres 2016, yakni 51 kali. Selain itu, Wallace menegur Trump sekurangnya 25 kali agar tidak memotong lawan bicara sekaligus menghormati aturan debat.

Baku Hantam dengan Sindiran

Sepanjang upaya mendominasi sesi acara, Trump berkali-kali mengejek Biden, seperti meremehkan kecerdasan Biden dengan menyindirnya sebagai lulusan di peringkat paling rendah di angkatannya. “Tidak ada yang pintar pada dirimu, Joe. Kau tidak melakukan apa-apa selama 47 tahun,” imbuh Trump.

Pada topik penanganan Covid-19 terkait isu menutup pintu negara—atau istilahnya “shut down”—Trump dengan arogan menggunakan istilah yang sama, namun konteksnya kasar, kepada Biden, “Tunggu sebentar Joe, biarkan aku mematikanmu [shut you down] sebentar…”

Salah satu serangan dari Trump ditujukan kepada keluarga Biden. Wallace bertanya kepada Biden alasan masyarakat Amerika harus memilihnya sebagai presiden. Biden mengawali jawabannya dengan pernyataan bahwa di bawah kepemimpinan Trump, Amerika “semakin lemah, sakit-sakitan, melarat, serta lebih terpecah-belah dan lebih beringas”. Menurut Biden, lemahnya negara berkaitan dengan sikap Trump yang lembek terhadap Putin, sampai-sampai Biden menyebut Trump sebagai “Putin’s puppy” alias anak anjing peliharaan Putin.

Trump pun segera menyerobot dan mengalihkan pembicaraan tentang putra kedua Biden, Hunter. Trump menuduh Hunter memiliki ketergantungan obat, diberhentikan secara tidak hormat dari militer, dan mendapatkan dana miliaran dolar dari kegiatan bisnis di Ukraina, Cina, dan Moskow.

Sebelumnya, Biden sempat mengungkit laporan dari New York Times tentang betapa kecilnya pajak penghasilan yang dibayarkan Trump pada periode 2016-2017. Sayangnya, momen tersebut tidak dimanfaatkan secara optimal oleh Biden untuk memojokkan Trump.

Sejak acara dimulai, Biden sudah terpancing oleh serobotan Trump. Awalnya, Biden menyebut Trump sebagai “pembohong”. Di lain kesempatan, ia menganggap Trump “bodoh” dalam menangani Covid-19, serta memanggilnya “badut” dan “presiden terburuk yang pernah dimiliki Amerika”. Pada topik tentang isu rasialisme, Biden menyebut Trump sebagai “presiden yang telah menggunakan segalanya sebagai ‘peluit anjing’ untuk menyulut kebencian rasis, perpecahan rasis” lantas mengecapnya sebagai seorang “rasis”. Pada akhir sesi tersebut, Trump tampak enggan untuk terang-terangan mengutuk kelompok-kelompok milisi dan supremasis kulit putih, meski sudah diminta berkali-kali oleh Wallace dan Biden.

Salah satu momen menggelikan terjadi ketika Biden mengelak untuk menjawab pertanyaan tentang rencana penjegalan Jaksa Agung Barrett apabila nominasinya disetujui oleh senat Republikan. Lelah karena Trump terus merongrong dan menginterupsinya, Biden dengan raut muka frustasi dan pasrah menyuruh Trump untuk tutup mulut (“Will you shut up, man?”). Pernyataan ini viral dengan cepat, dan tak lama kemudian dimanfaatkan oleh para pelaku bisnis sebagai konten untuk pakaian dan pernak-pernik dagangan lainnya.

Isu Kebijakan yang Terpinggirkan

Di balik keributan interupsi dan aksi saling ejek, bisa ditangkap sedikit bahasan tentang kebijakan. Misalnya, terkait layanan kesehatan, Biden berencana untuk memperluas jangkauan asuransi kesehatan Obamacare, tanpa menghalangi masyarakat yang mau memiliki asuransi swasta. Namun, Trump berkali-kali menuding betapa kebijakan kesehatan yang diusung Biden dan kubu Demokrat tersebut “beraroma sosialis” tanpa menjelaskan apa itu sosialisme. Obamacare dianggap Trump sebagai “bencana” karena biaya preminya terlalu tinggi. Solusi Trump adalah menurunkan harga obat-obatan sampai 80-90 persen lebih murah, sembari mencontohkan bahwa harga insulin nantinya bakal semurah air.

Infografik Kualitas Debat Capres AS

Infografik Mundurnya Kualitas Debat Capres AS. tirto.id/Fuadi

Pada isu lingkungan dan iklim, Trump mengklaim Amerika mempunyai “air dan udara sejernih kristal” dan menghasilkan “karbon paling rendah”. Udara kotor, menurutnya, dihasilkan oleh India, Cina, dan Rusia. Terlepas ia mengakui manusia punya peran dalam pemanasan global, Trump justru menyalahkan tata kelola hutan sebagai penyebab kebakaran lahan di California selama ini. Selain itu, Trump menolak kebijakan-kebijakan energi ramah lingkungan karena mengakibatkan harga bahan bakar jadi melangit.

Berbeda dengan Trump, Biden lebih spesifik tentang rencananya untuk beralih ke energi terbarukan, termasuk mendorong penggunaan kendaraan elektrik yang kelak didukung oleh 500.000 pom listrik dan membangun ekonomi yang bisa meningkatkan kualitas 4 juta bangunan menjadi lebih ramah lingkungan sekaligus menciptakan “jutaan lapangan pekerjaan”. Biden juga optimistis terhadap pencapaian energi terbarukan di Amerika pada tahun 2035. Begitu terpilih nanti, langkah pertamanya adalah mengantar Amerika untuk kembali pada Perjanjian Paris, yang terancam ditinggalkan oleh pemerintahan Trump.

Selain itu, pada isu paling dominan, COVID-19, Biden memborbardir Trump karena “tidak punya rencana” untuk mengatasinya. Biden menegaskan, sejak dini mereka seharusnya menyediakan alat-alat pelindung dan dana yang sudah digelontorkan dari pusat untuk menyokong masyarakat agar bisnisnya tetap bertahan serta membiayai pembukaan sekolah kembali. Pada momen ini pula, Biden berusaha merangkul pemirsa di rumah dengan berbicara langsung menghadap kamera, “Kalian yang ada di rumah, seberapa banyak dari kalian yang bangun pagi ini dan mendapati kursi kosong di meja dapur karena seseorang meninggal karena Covid? Berapa banyak dari kalian kehilangan ayah dan ibu…”

Teknik serupa dilakukan Biden di pengujung acara untuk meyakinkan masyarakat Amerika agar menggunakan hak pilihnya, baik melalui pos ataupun datang langsung ke bilik suara, “Kalian akan menentukan hasil dari pemilu ini. Vote, vote, vote,” tegasnya. Biden juga menunjukkan sikap ksatria dengan mengatakan akan menerima apapun hasil pemilu kelak, sedangkan Trump menutup acara pada malam itu dengan mendiskreditkan proses pemilu dan berkali-kali menyebutnya sebagai “fraud” atau penipuan.

Debat Cawapres Lebih Adem?

Seminggu setelah pentas keributan Trump-Biden disiarkan di seluruh dunia, Kamala Harris dan Mike Pence dipertemukan dalam debat cawapres yang jauh lebih serius dan beradab. Tidak ada serangan personal ataupun hinaan, meskipun segelintir interupsi tetap mewarnai acara. Menurut perhitungan CBS News, Pence menginterupsi Harris 10 kali, sedangkan Harris melakukannya sebanyak 5 kali.

Beberapa kali, Harris menegur Pence karena menginterupsinya. Dalam satu kesempatan, Harris berkata, “Pak Wapres, saya sedang berbicara… Jika Anda tidak keberatan saya selesai bicara, maka kita bisa bercakap-cakap.” Teguran “I’m speaking” dari Harris ini pun tak butuh waktu lama untuk viral dan dijadikan desain pakaian.

Berbeda dengan Trump yang suka menginterupsi dan melontarkan kata-kata merendahkan terhadap lawan bicaranya, wapres Pence lebih menahan diri dan hati-hati. Salah satu sikap profesional Pence ditunjukkan dengan mengucapkan terima kasih atas perhatian dari Harris dan Biden terhadap kesehatan Presiden Trump, yang pada waktu itu tengah dalam proses pemulihan setelah terinfeksi Covid-19. Pence juga memberikan ucapan selamat atas kesuksesan Harris dalam menciptakan sejarah sebagai perempuan kulit hitam sekaligus perempuan Asia-Amerika pertama yang dinominasikan sebagai wapres.

Secara garis besar, Harris dan Pence fokus membela kandidat presiden masing-masing dan semua kebijakannya pada isu domestik terkait COVID-19, ekonomi, pajak, lapangan pekerjaan, permasalahan rasial, dan kebijakan luar negeri seperti relasi dengan Cina. Namun, debat cawapres ini tak lepas dari hujan kritik atas kecenderungan Harris dan Pence dalam menghindar pertanyaan-pertanyaan substansial dari moderator Susan Page. Misalnya, Pence enggan berkomentar tentang tanggung jawab Gedung Putih dalam menyebarkan COVID-19 di lingkaran para pejabat publik, sementara Harris tidak mau menjawab apakah pemerintahan Biden nantinya mau menerapkan lockdown dan mandat nasional untuk memakai masker.

Debat Pilpres Masih signifikan?

Setelah debat Kennedy-Nixon tahun 1960, siaran debat kandidat presiden cenderung tidak terlalu berpengaruh terhadap hasil pemilu. Menurut poling dari Politico/Morning Consult yang dilakukan sebelum pelaksanaan debat perdana Trump-Biden, kurang lebih 86 % pemilih suara sudah bulat dengan pilihannya, sedangkan 14 % sisanya masih pikir-pikir. Acara debat tampaknya justru lebih berguna bagi Harris dan Pence untuk memperkenalkan diri kepada publik, kalau mereka nantinya memang berancang-ancang maju pilpres 2024.

Debat calon wakil presiden sebenarnya relatif kurang semarak di media dan kerap dianggap tidak terlalu penting dalam menentukan hasil pemilu. Hal ini ada kaitannya dengan fungsi marjinal wakil presiden di Amerika Serikat. Mereka tidak punya kewajiban konstitusional selain memimpin rapat senat dan menggantikan presiden yang mengundurkan diri atau meninggal.

Namun demikian, performa Harris dan Pence dalam debat cawapres kali ini tampak lebih disorot. Bukan tidak mungkin, salah satu dari mereka akan meneruskan obor kepemimpinan Trump (74) atau Biden (77), yang merupakan pemegang rekor orang paling tua di kursi kepresidenan. Kesiapan dan kepantasan Harris dan Pence sebagai pendamping presiden semakin diuji terutama ketika pandemi Covid-19 tengah mengancam kesehatan rakyat Amerika, termasuk pimpinan tertinggi negara.

Baca juga artikel terkait PEMILU AS atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Windu Jusuf