tirto.id - Dua pekan lalu lalu (20/6/2017), pucuk pimpinan perusahaan berbagi tumpangan Uber, Travis Kalanick, mengundurkan diri dari jabatannya sebagai CEO. Kalanick yang juga turut melahirkan Uber mundur akibat beratnya desakan investor perusahaan tersebut.
Investor memang punya segudang alasan untuk mendesak Kalanick mundur. Dalam beberapa bulan terakhir ini Uber bagaikan pesawat yang terkena turbulensi kuat. Skandal pelecehan dan diskriminasi, hubungan dengan Presiden Trump, ketegangan yang kurang harmonis dengan pengemudi, sengketa dengan Waymo (perusahaan mobil tanpa kemudi Google), serta manajemen yang buruk membuat Uber terus-menerus mendapat sorotan.
Akhirnya, seperti ditulis dalam laporan The New York Times, lima investor utama Uber meminta Kalanick untuk mundur secepatnya. Permintaan yang disampaikan lewat surat bertajuk “Moving Uber Forward” itu pun dituruti Kalanick.
Selepas meninggalkan posisinya, Kalanick mengungkapkan perasaannya. “Saya mencintai Uber lebih dari apa pun di dunia ini dan ini adalah saat yang sulit dalam hidup saya. Saya menerima permintaan dari investor untuk mundur yang bisa membuat Uber kembali membangun alih-alih terdistraksi oleh pertarungan lain.”
Mundurnya Kalanick menambah daftar panjang hengkangnya eksekutif Uber. Sebelum Kalanick mundur, 13 eksekutif lainnya sudah lebih dahulu meninggalkan Uber. President Uber Jeff Jones, SVP of Business Emil Michael, serta Head of Finance Gautam Gupta, adalah pejabat-pejabat tinggi yang yang lebih dahulu hengkang dibandingkan Kalanick.
Mundurnya Kalanick merupakan babak baru bagi perusahaan itu. Pasalnya, Uber dan Kalanick merupakan paket yang selama ini tidak terpisahkan. Memang, paket tersebut kerap dianggap sebagai paket yang penuh dengan kontroversial.
Tentu dicopotnya Kalanick dari Uber, bukanlah terjadi lantaran serangkaian alasan-alasan yang baru-baru ini saja mereka peroleh. Kasus pelecehan dan diskriminasi hanyalah pintu bagi investor-investor Uber untuk menarik mundur Kalanick yang mereka anggap telah membuat perusahaan itu terhimpit masalah cukup serius. Kalanick didepak dari Uber lantaran perusahaan itu menghadapi masalah kusut keuangan.
Sebagaimana diketahui, hingga kini, Uber masih terus-terusan merugi dan membakar uangnya untuk menjalankan perusahaan sekaligus menarik jumlah pengguna.
Pada tahun 2016 lalu misalnya, sebagaimana dilaporkan Bloomberg, Uber merugi hingga $2,8 miliar. Padahal perusahaan tersebut memperoleh pendapatan bersih sebesar $6,5 miliar. Pendapatan yang cukup besar itu mereka peroleh selepas memperoleh pemesanan yang mencapai angka $20 miliar.
Bukan hal yang memberatkan bagi Uber untuk memperoleh nilai pemesanan sebesar itu. Data yang dikutip Fortune menunjukkan di bulan Oktober tahun lalu mereka telah memiliki 40 juta pengemudi. Dengan besarnya jumlah pengemudi, Uber dikabarkan telah membayar $1,5 miliar hingga $2 miliar pada para pengemudinya.
Kerugian pada 2016 dan tahun-tahun lalu semenjak kelahirannya di 2009 diprediksi belum akan berhenti. Pada 3 bulan pertama yang mengawali tahun 2017 ini misalnya, Uber, sebagaimana dikutip CNN, bahkan mencatatkan lagi kerugian hingga senilai $708 juta. Kerugian yang diderita Uber salah satu alasannya adalah senangnya perusahaan tersebut membakar uang. Paling tidak, semenjak berdiri, Uber telah membakar uang sedikitnya sebanyak $8 miliar.
Soal membakar uang ini, Uber diprediksi belum akan mengakhirinya tahun ini. Mereka bahkan mengungkapkan bahwa masih memiliki uang kontan senilai $7 miliar yang bisa sewaktu-waktu mereka gunakan untuk menghangatkan perusahaan itu.
Serangkaian rumitnya masalah keuangan itu tentu membikin posisi Uber semakin terdesak. Padahal, semenjak perusahaan itu berdiri, Uber, sebagaimana dikutip The New York Times, telah menerima uang investor senilai $14 miliar. Dan secara keseluruhan, valuasi Uber bahkan dikatakan mencapai $69 miliar. Uang-uang dari investor itu jelas harus segera diubah oleh Uber untuk menjadi keuntungan bagi para investor yang percaya dengan visi perusahaan ride sharing tersebut.
Memang, mengenai nilai valuasi ini, ada beberapa kalangan yang meragukan besaran nilainya. Dalam laporan di Bloomberg, Aswath Damodaran, profesor dari Stern School of Business, New York University mengungkapkan bahwa valuasi Uber seharusnya sebesar $28 miliar, bukan sebagaimana valuasi yang seperti saat ini.
Akibat serangkaian ketidakberuntungan finansial tersebut, Uber seakan-akan memutar kembali memori dunia investasi digital yang pernah ambruk gara-gara gelembung dotcom. Gelembung dotcom atau dotcom bubble merupakan masa di mana ekuitas melesat gara-gara penuhnya investasi terhadap perusahaan berbasis internet pada akhir dekade 1990an silam.
Perusahaan-perusahaan dotcom gemuk karena uang investor, bukan karena keuntungan dari operasional mereka. Pada akhirnya, gelembung dotcom tersebut pecah dan menghancurkan uang-uang yang disetorkan investor. Bahkan, akibat fenomena tersebut, gelembung dotcom dianggap sebagai pembelajaran investasi senilai $1,7 triliun.
Suka atau tidak, Uber tengah menggelembung akibat penuhnya dana investor pada perusahaan itu. Menurut data yang disajikan Crunchbase, Uber dipenuhi oleh 81 investor yang percaya terhadap visi misi perusahaan itu.
Selain masalah yang disebutkan di atas, masalah lain yang dialami Uber adalah penuhnya perusahaan tersebut dengan kontroversi. Terutama dari kalangan transportasi konvensional.
Uber, sebuah aplikasi revolusioner dalam bidang transportasi, memang penuh dengan demonstrasi dari para pemain di bisnis transportasi konvensional. Kemunculan layanan itu di kota-kota besar di seluruh dunia, diiringi dengan karpet merah demonstrasi terutama oleh para pengemudi taksi. Kalangan transportasi konvensional, terutama taksi, menganggap Uber mematikan usaha mereka. Selain mengambil penumpang mereka, Uber dianggap bermain curang karena tidak melalui jalur perizinan seperti yang dilakukan transportasi konvensional.
Uber dan layanan sejenis seperti Grab maupun Go-Jek memang selalu mengatakan bahwa mereka adalah perusahaan teknologi, bukan transportasi. Uber bahkan lebih mengharapkan layanannya digunakan oleh pengendara sebagai kerja sampingan, sebagai layanan dengan prinsip sharing economy, bukan sebagai layanan yang mengharapkan pengemudinya menjadikan Uber sebagai pekerjaan utama.
Dan suka atau tidak, Uber perusahaan-perusahaan ini menghadirkan fenomena tersendiri di dunia transportasi dan teknologi. Mundurnya Kalanick, tentu tak begitu saja membalikkan peruntungan Uber. Kalanick, sebagaimana dikutip dari Time, bahkan mengungkapkan bahwa jika mereka ingin bekerja di Uber 2.0 alias Uber baru, mereka “membutuhkan Travis [Kalanick] yang juga 2.0 untuk menjadi pemimpin yang dibutuhkan perusahaan itu.”
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Maulida Sri Handayani