tirto.id - Zinedine Zidane baru saja meraih apa yang hanya bisa diimpikan oleh pelatih-pelatih sepakbola. Minggu (25/5/18) lalu, ia berhasil mengantarkan Madrid mengangkat gelar Liga Champions dalam tiga musim secara berturut-turut (2016, 2017, dan 2018).
Sir Alex Ferguson, Jose Mourinho, Pep Guardiola, hingga Carlo Ancelotti bahkan tidak bisa melakukannya. Sementara itu pelatih-pelatih legendaris seperti Arrigho Sacchi, Bob Paisley, juga Helenio Herrerra, hanya bisa mendekati pencapaiannya itu.
Publik sepakbola Spanyol, yang sempat meremehkannya sebagai “clap-your-hands coach”, sebuah sindiran bagi pelatih yang hanya bisa menyemangati tim dengan bertepuk tangan, tentu saja merasa tertampar dengan keberhasilan itu. Apalagi, ia berhasil meraih tiga gelar Liga Champions tersebut hanya dalam 2,5 tahun.
Belum lagi, jumlah gelar Zidane lainnya yang tak sedikit. Dalam kurun waktu tersebut, selain mempersembahkan tiga gelar Liga Champions, Zidane juga berhasil mempersembahkan 1 gelar La Liga musim 2016-2017, 1 gelar Supercopa de Espana 2017, 2 gelar Piala Super Eropa 2016 dan 2017, serta 2 gelar Piala Dunia antar klub FIFA tahun 2016 dan 2017.
Anggapan bahwa ia merupakan seorang pelatih yang tidak mengerti taktik dan hanya beruntung karena memiliki pemain-pemain kelas satu semakin terlihat mengada-ngada.
Namun, saat sinarnya semakin benderang bersama Madrid, Zidane membuat sebuah kejutan. Hanya seminggu setelah keberhasilan di Kiev, Ukraina, tepatnya dalam sebuah konferensi pers pada Kamis (31/5/2018), Zidane mengundurkan diri dari kursi pelatih Madrid.
“Saya sudah mengambil keputusan untuk tidak lagi melatih Madrid pada musim depan,” kata Zidane seperti dikutip The Guardian.
“Saya berbicara kepada presiden (Florentino Perez) untuk menjelaskan apa yang saya pikirkan. Saya pikir inilah saatnya, bagi saya dan bagi skuat Madrid. Saya tahu ini adalah momen yang aneh, tetapi saya pikir ini adalah saat yang tepat.”
“Ini adalah tim yang harus selalu menang dan butuh perubahan untuk melakukannya. Setelah tiga tahun, diperlukan wacana lain, metodologi kerja yang lain, dan itulah yang membuat saya mengambil keputusan ini.”
Pilihan Tepat
“Apa yang salah dengan Ancelotti? Saya tidak tahu. Tuntutan di Real Madrid memang sangat tinggi.”
Mei 2015 lalu Florentino Perez berbicara seperti itu di depan pers setelah melakukan pemecatan terhadap Carlo Ancelotti. Sekitar enam bulan sesudahnya, ia juga berlagak tak jauh berbeda saat Madrid memecat Rafael Benitez, pengganti Ancelotti.
Pada era Perez, Madrid memang gemar memecat pelatihnya -- Benitez adalah pelatih kesepuluh yang dipecat Madrid pada era Perez. Selain Ancelotti dan Benitez, Jose Mourinho, Mariano Garcia, Manuel Pellegrini, hingga Vicente del Bosque termasuk di antaranya. Beberapa di antara pelatih tersebut memang dipecat karena gagal membawa Madrid berprestasi, tetapi beberapa di antaranya dipecat secara mengejutkan – cenderung tidak masuk akal.
Selama hampir empat tahun menangani Madrid, Vincente del Bosque berhasil memenuhi lemari tropi Madrid dengan 2 gelar La Liga, 2 gelar Liga Champions, 1 gelar Supercopa de Espana, 1 Piala Super Eropa, dan 1 Piala Interkontinental (saat ini bernama Piala Dunia antar Klub FIFA). Namun, sehari selepas meraih gelar La Liga keduanya bersama Madrid, musim 2002-2003, ia mendapatkan kabar buruk: Madrid tidak akan meperbarui kontraknya yang berakhir pada akhir musim.
Alasan Perez: “Del Bosque adalah sosok tradisional.” Presiden Madrid itu kemudian menambahkan, “Kami mencari pelatih baru yang tahu perkembangan taktik, strategi, dan hal lain...”
Lain Del Bosque, lain Pellegrini. Pelatih asal Chile tersebut memang gagal membawa Madrid meraih gelar selama berada di sana pada musim 2009-2010. Namun, di bawah asuhannya Madrid mulai bisa keluar dari bayang-bayang Barcelona yang saat itu tidak hanya mendominasi di La Liga tapi juga di Eropa.
Madrid saat itu finis di peringkat kedua, hanya tertinggal dua angka dari Barcelona. Madrid berada di peringkat kedua dengan meraih 96 angka. Dan dalam 19 pertandingan terakhir mereka di La Liga, Madrid menang 18 kali. Pellegrini tetap dipecat. Perez tidak sabar dengan tim yang dibangun kembali oleh mantan pelatih Villareal itu.
Zidane saat ini memang masih mampu memenuhi harapan Madrid. Namun, berdasarkan pengalaman pelatih-pelatih di era Perez sebelumnya, ia bisa saja didepak kapan saja. Apalagi, Madrid saat ini memang harus melakukan perubahan.
Sebagian besar pemain penting Madrid sudah menua, berusia di atas 30 tahun. Itu artinya, ia harus mulai meregenerasi skuatnya. Jika proses regenerasinya itu masih mampu menghasilkan prestasi, Perez tidak akan mengusiknya. Namun, bagaimana jika Zidane gagal? Apa yang terjadi pada Pellegrini bisa menjadi jawabannya.
Zidane akan Dirindukan
Media-media di Spanyol, terutama yang berbasis di Katalunya, mencoba mengungkap rahasia kesuksesan Zidane bersama Madrid. Karena tidak menemukan sesuatu yang konkret, mereka kemudian mengambil sebuah kesimpulan: Zidane hanya beruntung.
Di bawah asuhan Zidane, Marid memang tak semenarik Barcelona pada era Pep Guardiola. Los Blancos juga tak sedisiplin di bawah asuhan Mourinho yang suka bersikap ketus. Namun, mereka terus menang, membuat Jorge Valdano, mantan pelatih Madrid, mengeluarkan komentar filosofis yang menjadi ciri khasnya, “Tidak ada yang memainkan sepakbola yang buruk sebaik Madrid.”
Lalu, Apakah Zidane memang hanya beruntung?
Dalam tulisannya yang berjudul “How Good Really is Zidane the Manager? Why The Real Madrid Boss Just Keep on Winning”, Thore Haugstad berpendapat bahwa Zinedine Zidane banyak belajar dari Carlo Ancelotti. Ia mengatakan keduanya mirip dalam melakukan pendekatan taktik: mereka sering mengubah formasi dan memainkan sepakbola menyerang.
Haugstad tak salah. Ancelotti dan Zidane sendiri suka mengubah formasinya bukan tanpa sebab. Ancelotti sering mengubah formasinya karena baginya pemain lebih penting daripada sebuah sistem. Jadi asalkan ia mampu memainkan pemain-pemain terbaiknya, ia tak keberatan untuk memainkan formasi yang bisa menunjang para pemainnya.
Zidane juga seperti itu. Ia seringkali memainkan formasi tertentu bukan untuk menyesuaikan gaya permainan lawan, melainkan untuk mengakomodasi pemain-pemain terbaiknya yang sedang dalam kondisi prima. Malahan, ia kadang tak peduli dengan pendekat tim lawan. Pertandingan final Liga Champions 2018 bisa menjadi contohnya. Menghadapi Liverpool yang terkenal dengan gegenpressing-nya, Madrid justru bermain sempit dengan formasi 4-4-2 berlian dan memainkan bola-bola pendek untuk melakukan build-up serangan.
Sayangnya, pendekatan seperti itu tentu saja tidak selalu berhasil dengan baik. Di sinilah kemampuan Zidane yang tak banyak disadari orang ikut ambil bagian: ia pandai membaca permainan. Saat pendekatannya tak bekerja, Zidane sering kali mengubah jalannya pertandingan melalui pergantian-pergantian pemain yang dilakukannya.
Pada babak final Liga Champions musim 2017 lalu, Morata, Bale, dan Asensio yang masuk pada babak kedua membuat Juventus semakin tak berdaya setelah ketinggalan 1-3 – Asensio kemudian memperbesar keunggulan Madrid di akhir laga. Pada leg pertama babak semifinal Liga Champions 2017, Madrid berhasil mencuri kemenangan di markas Bayern Muenchen berkat gol Marco Asensio yang masuk pada babak kedua. Terakhir, Gareth Bale menjadi pahlawan Madrid di final Liga Champions 2014 setelah memulai laga dari bangku cadangan.
Untuk kemampuan Zidane itu, Jonathan Wilson, penulis Inverthing The Pyramid, pun mengakuinya: “Apa yang dinginkan Madrid sebenarnya tidak jelas. Tidak ada filosofi, di samping memiliki uang yang bisa mendatangkan banyak pemain bagus. Tetapi mereka begitu kejam, dan di dalam diri Zidane mereka memiliki seorang pelatih yang, untuk semua keraguan tentangnya, memiliki kebiasaan melakukan pergantian pemain menentukan.”
Dengan pendekatan seperti itu, Florentino Perez boleh tenang dan yakin saat ia memecat 10 pelatih Madrid pada eranya. Namun saat mendampingi Zidane mengumumkan pengunduran dirinya, ia tampak gelisah dan panik. Mungkin, ia tak ingin Zidane menjadi mitos secepat itu.
Yang pasti, Perez sudah biasa memecat pelatih. "Kecuali aku," saya bayangkan begitulah yang dipikirkan Zidane.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti