tirto.id - Tesis Carlo Ancelotti saat menyelesaikan studi master di Sekolah Kepelatihan Coverciano di Firenze, Italia pada 1997 cukup sederhana. Il Futuro del Calcio: Piu Dinamicita atau “Masa Depan Sepak Bola: Lebih Dinamis”.
Dari tesis itu tampak betapa Ancelotti sangat percaya bahwa keseimbangan adalah segalanya. Keseimbangan inilah yang menjadi ramuan jitu yang menghasilkan gelar Liga Champions tiga kali dalam karier kepelatihannya yang hebat.
“Kata terpenting dalam sepak bola adalah keseimbangan. Tetap bermain bagus saat menguasai maupun kehilangan bola,” ujar Ancelotti
Gagasan ini kemudian diaktualisasikan pada bagian terpenting dalam sepakbola: transisi. Baik transisi dari bertahan ke menyerang, maupun transisi dari menyerang ke bertahan. Ia menjadikannya sebagai rumus: bahwa sebuah tim yang memenangkan pertandingan seringkali ditentukan dari tim mana yang lebih baik saat melakukan transisi.
Pakem ini sudah dihafal betul oleh Ancelotti. Semua tim yang pernah dilatih Ancelotti—kecuali Reggina di awal karier—seperti Parma maupun klub-klub besar macam AC Milan, Real Madrid, maupun Bayern Munchen, selalu memiliki catatan pertahanan dan penyerangan yang sama baiknya. Sejak menyelesaikan tesisnya, saat itu ia masih bekerja untuk Parma, tak pernah sekalipun tim yang diasuhnya mengalami rataan kebobolan lebih dari satu gol per laga. Rataan kebobolan tim-tim yang diasuh Ancelotti selalu nol koma, dan itu berlangsung dalam 20 tahun terakhir.
Di sisi lain, meskipun Ancelotti adalah orang Italia tulen, ia juga tidak melupakan produktivitas gol. Buktinya, saat membesut Chelsea, Ancelotti adalah pelatih pertama dalam sejarah Premier League yang mampu membawa timnya mencetak lebih dari 97 gol dalam semusim. Pada musim 2010, Chelsea mencetak 103 gol, enam gol lebih banyak dari rekor sebelumnya yang dipegang Manchester United pada musim 1999-2000.
“Saya percaya bahwa masa depan evolusi sepak bola adalah meningkatkan solusi ofensif dengan lebih banyak waktu yang didedikasikan untuk taktik, namun pada saat yang sama juga menjaga keseimbangan antara bertahan dan menyerang,” kata Ancelotti.
Babak Pertama yang Didominasi Ancelotti
Sayangnya, gagasan tersebut tidak—atau belum—ampuh untuk menghadapi Zinedine Zidane. Pelatih Real Madrid yang harus menjadi lawannya pada laga pertama perempatfinal Liga Champions 2016/2017 (13/4). Menjamu mantan klub yang pernah diasuhnya di Allianz Arena, Munich, Ancelotti benar-benar menguasai laga pada babak pertama. Akan tetapi kehabisan daya saat Zidane tiba-tiba mengubah pendekatan pertandingan di masa istirahat. Hasil akhir 2-1 untuk Madrid, menggambarkan hal tersebut.
Bayern sempat unggul pada menit ke-34. Arturo Vidal membuat Nacho harus terjerembab karena tidak mampu mengikuti pergerakannya saat menyambut sepak pojok Arjen Robben. Bola sundulan Vidal mengarah tepat ke arah Keylor Navas. Sayang, respons penjaga gawang Madrid ini tidak cukup cepat menghalangi gol pertama dalam pertandingan tersebut.
Sepanjang babak pertama, Madrid kesulitan menembus lini tengah Bayern. Bahkan kegagalan-kegagalan membangun serangan ini menjadi awal mula lahirnya serangan-serangan Bayern yang mengancam gawang Navas. Menit demi menit berlalu, build-up Madrid sering gagal karena Bayern bermain sangat solid saat bertahan dan di saat bersamaan begitu cepat membangun serangan kala berhasil merebut bola.
Peluang Madrid sempat hadir di awal-awal pertandingan, namun lambat laun ritme pertandingan dikendalikan oleh Bayern. Bahkan sekalipun saat bola masih dikuasai lawan, Bayern masih mampu mengantisipasi varian serangan pemain Madrid dengan kerapatan yang terjaga dengan baik. Praktis sejak setengah babak pertama sampai berakhir, Madrid hanya punya peluang yang lahir dari tendangan Cristiano Ronaldo di luar kotak penalti.
Absennya Marcelo dan Carvajal dalam mendukung Ronaldo dan Gareth Bale di kedua sisi semakin membuat serangan Madrid tumpul. Hal ini pun ada alasannya. Dua bek sayap Madrid tidak bisa sembarangan melakukan overlap karena, pada babak pertama, Robben dan Frank Ribery begitu mudah menemukan ruang kosong untuk membuka jalur serangan Bayern.
Bahkan karena begitu seringnya bola mampir ke kotak penalti Madrid, Bayern sempat dihadiahi tendangan penalti kontroversial pada menit-menit akhir babak pertama. Tendangan Ribery mengarah ke dada Carvajal, namun entah mendapat petunjuk dari mana, Nicola Rizzoli, wasit yang memimpin pertandingan saat itu langsung menunjuk titik putih. Meski di tayangan ulang, bola tidak mengenai tangan namun dada/bahu.
Beruntung bagi Madrid, Vidal melakukan tendangan kelewat bertenaga dan gagal menambah keunggulan Bayern jadi 2-0 usai babak pertama. Kegagalan yang tentu akan disesali sejak peluit babak kedua dimulai.
Murid yang Mengalahkan Guru
Melihat babak pertama yang hampir berat sebelah, Zidane mutlak membutuhkan pendekatan berbeda pada babak kedua. “Saya tahu dia (Ancelotti) dengan baik dan dia tahu saya dengan baik, tapi itu tidaklah menjelaskan semuanya,” jelas Zidane sebelum laga.
Zidane dan Ancelotti sudah saling mengenal satu sama lain. Sejak di Juventus, saat Zidane masih aktif sebagai pemain, Ancelotti adalah pelatih yang membantu Zidane berkembang menjadi yang terbaik di dunia selama dua musim sejak 1999. Perkembangan yang kemudian membuat Zidane menjadi pemain termahal sejagat saat dibeli Madrid pada 2001.
Pertemuan keduanya semakin lekat saat Zidane menjadi asisten Ancelotti di Real Madrid. Kombinasi keduanya melahirkan gelar Liga Champions pada 2014 dan menjadi gelar ke-10 bagi Madrid. Musim berikutnya Ancelotti sempat menjajal atmosfer Liga Prancis dengan melatih Paris Saint Germain (PSG) sebelum berlabuh ke Bayern. Posisi Ancelotti di Madrid kemudian digantikan Zidane.
Seolah memahami benar mantan rekan kerja sekaligus gurunya, Zidane segera melakukan pendekatan yang berbeda. Beberapa kebiasaan Ancelotti pun dicarikan anti-tesisnya oleh Zidane untuk menjalani babak kedua. Paling tidak ada dua poin kebiasan Ancelotti yang bisa dimanfaatkan Zidane dan terbukti berhasil.
Pertama, Ancelotti adalah pelatih yang selalu membutuhkan satu penyerang murni tipe bomber dalam komposisi taktiknya. Di AC Milan, Ancelotti pernah punya Hernan Crespo sampai Filippo Inzaghi, di Chelsea ada Didier Drogba, di Real Madrid kadang memainkan Alvaro Morata sekalipun sudah memiliki Karim Benzema, di PSG Zlatan Ibrahimovich, dan di Bayern ada Robert Lewandowski.
Masalahnya, Lewandowski mengalami cedera, dan terpaksa Ancelotti memainkan Thomas Mueller sebagai penyerang tunggal di depan. Sendirian menjadi ujung tombak. Penugasan yang sebenarnya sudah terlihat keliru sejak babak pertama. Mueller memang lihai mencari ruang dan mencari peluang, tapi ia kurang bagus saat harus berduel satu lawan satu. Mueller hampir tidak memainkan sepakbola sama sekali malam itu karena umpan yang mengarah padanya akan cepat hilang. Posisinya yang statis menjadikan potensi terbesarnya dalam mengeksplorasi ruang hilang begitu saja.
Hal ini membuat Zidane hanya perlu mengatasi dua sayap Bayern dan pergerakan berbahaya Vidal dan Thiago pada babak kedua. Hal ini tidak akan jadi masalah karena tekanan untuk Mueller bisa dilakukan dengan secukupnya, dan sisa pemain bertahan bisa dinaikkan untuk menambah jumlah pemain di lini tengah. Ini menghasilkan tembok yang lebih kokoh dengan kemenangan jumlah di lini tengah.
Kedua, Ancelotti merupakan pelatih yang lebih suka pergerakan bola secara vertikal daripada horizontal. Arah serangan cepat yang memiliki progres ke depan lebih sering diusahakan Ancelotti daripada perpindahan antarsisi lapangan. Inilah yang membuat Bayern mendadak jadi ahli dengan serangan balik pada musim ini.
Hal ini juga jadi alasan kenapa Robben dan Ribery lebih dipilih daripada Douglas Costa dan Kingsley Coman. Karena dua nama pertama lebih punya kemampuan untuk melakukan tusukan daripada dua nama terakhir yang lebih memiliki kecepatan sebagai opsi tambahan perpindahan sisi lapangan. Tugas yang biasanya diemban Costa dan Coman pada era pelatih sebelumnya, Josep Guardila, akhirnya diserahkan pada David Alaba dan Phillip Lahm.
Gol penyama kedudukan pada dua menit babak kedua adalah bukti betapa lemah Bayern-nya Ancelotti menghadapi perpindahan sisi serangan secara tiba-tiba. Carvajal yang menerima umpan diagonal ke ujung sisi kanan dari ujung sisi kiri pada menit ke-47, benar-benar bebas karena Alba malah terlalu rapat dengan Jerome Boateng. Bebas penjagaan selama tiga detik ini benar-benar fatal karena membuat Carvajal punya cukup waktu untuk melepaskan umpan silang dengan akurasi yang sempurna. Membuat Ronaldo tanpa ampun menyambarnya menjadi gol ke-99 dalam kariernya di Liga Champions.
Setelah gol terjadi, keadaan sebenarnya masih sama kuat dengan serangan silih berganti. Namun, kali ini Madrid lebih bisa merebut bola saat serangan Bayern masih dalam proses. Hal yang kemudian membuat Javi Martinez terpaksa melakukan dua pelanggaran beruntun untuk menghentikan kecepatan serangan balik Ronaldo akibat seringnya build-up Bayern kandas sejak di lapangan tengah. Martinez pun mendapat kartu merah pada menit ke-60.
Keadaan ini semakin memperburuk keadaan. Terutama karena keberadaan Mueller yang tidak memiliki kontribusi saja sudah membuat Bayern seperti bermain dengan 10 pemain sejak babak pertama, kali ini malah harus benar-benar bermain dengan 10 pemain secara harfiah.
Praktis sejak dikeluarkannya Martinez, Ancelotti hanya diselamatkan oleh kemampuan luar biasa Manuel Neuer yang berkali-kali menggagalkan peluang gol Madrid. Namun, sehebat apapun seorang Neuer jika diserang secara terus-menerus dengan intensitas yang tinggi, tetap saja akan jebol juga.
Dengan skema umpan silang yang sama, dari sisi sebaliknya, umpan Marcelo mampu disambar oleh ujung kaki Ronaldo. Gol! 2-1 untuk Madrid. Gol yang tidak hanya mengukuhkan posisinya sebagai pemain yang mampu mencetak 100 gol di ajang Liga Champions atau membuat peluang Madrid ke semifinal terbuka lebar, namun juga membuat seorang murid bisa membuktikan kepada gurunya, bahwa ilmu yang pernah diajarkan ternyata sudah benar-benar dikuasai sang murid.
Zidane telah mengalahkan gurunya.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS