tirto.id - Dalam kurun empat hari ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla tiga kali memberi pernyataan yang cukup kontroversial terhadap program pemerintah dan Joko Widodo. Komentar Jusuf Kalla memunculkan kembali anggapan keretakan hubungan yang sempat mencuat selama keduanya memimpin pemerintahan.
Pada Jumat (11/1/2019), pria yang karib disapa JK ini mengomentari proyek LRT yang dianggapnya terlalu mahal serta tak efisien.
Selang tiga hari kemudian, Senin (14/1/2019), JK mengomentari pemberlakuan aturan uang muka 0 persen yang diberlakukan Otoritas Jasa Keuangan terhadap kredit kendaraan bermotor. Pada hari yang sama, ia mengomentari dukungan alumni UI terhadap Jokowi yang dianggapnya tak perlu membawa nama universitas.
Kritikan JK ini dinilai Eva Sundari, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf, sebagai kritik biasa. Ini karena JK dianggapnya sebagai orang yang kritis dan punya tanggung jawab.
“Pak JK biasa sangat kritis untuk urusan apapun. Karena beliau mengemban tanggung jawab juga,” kata Eva saat dihubungi reporter Tirto, Senin (14/1/2019).
Pada sisi lain, kata Eva, kritikan tersebut juga menunjukkan sistem demokrasi berjalan di internal pemerintah. Kondisi ini dianggapnya sehat buat perkembangan pemerintah. Ia pun meminta kritikan tersebut tak perlu dipolitisasi karena JK memang biasa memberikan masukan kritis.
“Track record beliau selalu kritis. Jadi buka sesuatu hal yang baru kalau Pak JK menyatakan hal yang beda dengan mainstream, itu memang karakter beliau. Jadi biasa aja, enggak usah ada politisasi,” ucap Eva.
Pait Manis Hubungan Jokowi-JK
Eva boleh saja menganggap komentar JK biasa saja. Namun analis politik sekaligus Direktur Riset Populi Centre, Usep S. Ahyar memandang kritik itu mengindikasikan hubungan JK dan Jokowi sedang renggang.
Usep berpendapat demikian karena kabar ketidakharmonisan ini memang sudah lama muncul. Ketidakharmonisan ini pun dipicu banyak alasan seperti reshuffle kabinet dan Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017.
“Mungkin saja dan kabar ketidakharmonisan itu memang sudah lama terdengar. Beberapa “orangnya” Kalla, kan, diganti. JK mendukung pasangan Anies-Sandi dan Jokowi di pasangan yang berbeda,” kata Usep kepada reporter Tirto, Selasa (15/1/2019).
Selain itu, Usep berpendapat, peran JK di pemerintahan Jokowi tampak tidak begitu dominan. Ini berbeda dengan kondisi saat JK menjadi Wakil Presiden untuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode 2004 hingga 2009.
Saat itu, JK banyak ambil peran dan banyak yang menyebutnya sebagai "the real president". Situasi-situasi ini, dinilai Usep, yang menjadikan JK bersikap kembali kritis, terlebih dia bakal segera lengser menjelang akhir tahun ini.
“Kemungkinan lain adalah bahwa JK sedang mempersiapkan untuk pensiun secara "gagah" dengan menunjukkan karakter aslinya yang selama ini seperti teralienasi, terkunci,” kata Usep.
Pendapat Usep sejalan dengan Ubedillah Badrun, dosen sosiologi politik UNJ. Menurut Ubed, hubungan JK dan Jokowi kerap dibumbui perbedaan pendapat salah satunya terkait pembentukan Kantor Staf Kepresidenan di awal masa pemerintahan mereka.
Terkait pembentukan KSP ini, JK bahkan mengaku tak diajak bicara Jokowi tentang pembentukan KSP yang kala itu dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan.
Ubed pun merasa janggal dengan sikap tersebut. Ia balik menduga, sikap JK ini mengindikasikan ada perubahan dukungan dari sang wapres terhadap Jokowi pada pilpres mendatang.
“Karena dia [JK] bagian dari pemerintah. Berarti di tingkat elite politik enggak clear. Ada potensi JK membelot dari kubu Jokowi,” kata Ubed, sapaanya kepada reporter Tirto.
Namun soal yang terakhir ini, Usep berbeda dengan Ubed. Menurut Usep, JK adalah Ketua Dewan Pengarah TKN dan tentunya ia memegang teguh komitmennya. “Ini tidak mengubah dukungannya di pilpres nanti,” ucap Usep.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Mufti Sholih