tirto.id - Atas nama mudik lebaran, pada pertengahan tahun 2017 ada hampir 30 juta manusia yang bergerak dari kota-kota besar menuju berbagai pelosok wilayah Indonesia. Kalikan 10, tambahkan 85 juta, maka Anda mendapat jumlah warga Republik Rakyat Cina (RRC) yang melakoni mudik Tahun Baru Imlek.
Periode mudik di Cina untuk merayakan Imlek sekaligus liburan bersama keluarga itu disebut chunyun. Chunyun bermula sejak 15 hari sebelum hari H. Total arus mudik dan balik berlangsung kurang lebih 40 hari. Jadi, untuk Tahun Baru Imlek yang jatuh pada Jumat (16/2/2018) ini, pergerakan mudiknya sudah berlangsung sejak awal bulan Februari.
Chunyun kerap didaulat sebagai migrasi temporer-tahunan paling akbar di dunia. Menurut laporan China News yang dikutip Statista, akan ada 385 juta peserta mudik Tahun Baru Imlek 2018 di Cina. Jumlah ini mengalahkan mudik perayaan Thanksgiving di Amerika Serikat pada tahun 2017 yang diikuti sekitar 50 juta orang.
Menurut laporan Xinhua, Chunyun tahun ini akan menghasilkan hampir tiga miliar (tepatnya 2,98) perjalanan. Jumlah fantastis ini dihasilkan dari perhitungan satu orang biasa mengambil lebih dari dua perjalanan selama arus mudik maupun balik.
Menurut Komisi Pembangunan dan Reformasi Nasional RRC yang dikutip Forbes, hampir tiga miliar perjalanan juga terjadi pada Chunyun tahun 2017. Jumlahnya naik 2,2 persen Chunyun tahun 2016. Sebanyak 2,5 miliar atau mayoritas di antaranya memakai perjalanan darat. Sebanyak 356 juta menumpang kereta, 58,3 juta menggunakan pesawat terbang, dan 43,5 juta memanfaatkan kapal.
Chunyun juga menjadi tradisi yang dikenal oleh masyarakat keturunan Cina luar RRC. Di kawasan Asia Timur, misalnya, fenomena chunyun juga terlihat di Korea Selatan atau Taiwan tiap menjelang Tahun Baru Imlek.
Para pemudik di Taiwan bergerak dari wilayah urban di sebelah Utara menuju kampung halaman di wilayah Selatan. Mayoritas perjalanan juga ditempuh menggunakan jalur darat. Dalam beberapa tahun terakhir kira-kira ada tiga juta mobil pribadi dan kendaraan umum yang memadati jalanan Taiwan untuk tradisi Chunyun.
Di Cina Daratan, para pemudik memadati stasiun-stasiun kereta untuk membeli tiket. Banyak yang memesan jauh-jauh hari, dan kasus kehabisan kuota jamak dialami para pemudik tiap tahunnya. Dalam skenario terburuk, kehabisan jatah tiket memaksa para pemudik beralih transportasi ke bus atau kendaraan roda empat lain.
Kereta adalah salah satu moda transportasi paling murah bagi kalangan buruh berpendapatan rendah hingga rata-rata. Perjalanan mudik di Cina cukup melelahkan mengingat wilayahnya yang amat luas membuat jarak dari kampung halaman dan kota tempat bekerja juga merentang jauh. Untungnya pembangunan layanan kereta api jadi salah satu program yang digalakkan pemerintah Cina sejak beberapa tahun terakhir.
Progres pemerintah cukup menakjubkan. Dalam laporan CNN tahun 2017 silam, jaringan kereta api cepat di Cina sudah mencapai 20.000 kilometer atau menjadi yang terpanjang di dunia. Total panjang jalur kereta api di Cina diperkirakan mencapai 121.000 kilometer atau yang terpanjang kedua di dunia setelah Amerika Serikat.
Perjalanan panjang yang melibatkan jutaan orang, serupa mudik Lebaran, menimbulkan pengalaman-pengalaman-pengalaman yang tak menyenangkan.
Lazim jika para pencopet kian aktif menjaring korban selama Chunyun berlangsung. Namun yang lebih umum lagi adalah frustasinya para calon penumpang kereta atau bus yang berdampak pada sikap saling serobot antrian. Ada pula pertengkaran-pertengkaran kecil antar penumpang atau penumpang dengan petugas layanan transportasi.
Intensitas perjalanan mudik dan balik sepanjang Tahun Baru Imlek di Cina meningkat tiap tahunnya. Pada 2016 rata-rata pemudik menempuh jarak sejauh 410 kilometer atau setara jarak antara D.I. Yogyakarta-Bandung. Sedangkan total perjalanan dari seluruh pemudik mencapai 1,2 miliar kilometer atau setara dengan jarak antara Bumi ke Saturnus, demikian menurut Telegraph.
Istilah chunyun mulai muncul pada era 1980-an sebagai konsekuensi dari urbanisasi yang tumbuh pesat di Cina. Bagi warga pinggiran, kota-kota besar seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, Shenzhen, Zhengzhou, Hangzhou, Suzhou, dan Dongguan adalah tempat mengadu nasib. Imlek menjadi kesempatan bagi mereka untuk pulang atau berlibur—sebagaimana tercantum dalam aturan ketenagakerjaan di Cina.
Urbanisasi di Cina berlangsung dengan cukup masif hingga kini porsi penduduk di perkotaan sudah melampaui jumlah penduduk di desa. Menurut data Biro Statistik Nasional RRC yang dirujuk People's Daily Online, pada tahun 2016 57,4 persen dari total populasi Cina tinggal di perkotaan. Angkanya naik 4,8 persen sejak akhir tahun 2012 dengan peningkatan 6,5 persen per tahun sejak 2012.
Ada 657 kota di Cina per akhir tahun 2016. Termasuk di antaranya empat kotamadya, 15 kota sub-provinsi, 278 kota setingkat prefektur, dan 360 kota setingkat kabupaten. Kawasan Beijing-Tianjin-Hebei, delta Sungai Yantze dan Sungai Mutiara mengakomodasi 23 persen dari total populasi negara dengan 5,2 persen di antaranya berkontribusi menghasilkan 39,4 persen PDB nasional.
Menurut riset doktoral Xu Win untuk penelitian doktoralnya di National University of Singapore, urbanisasi di China butuh 22 tahun saja untuk meningkat dari angka 17,9 persen menjadi 39,1 persen. Urbanisasi China melampaui Inggris yang butuh 120 tahun untuk persentase yang serupa, juga Amerika Serikat (80 tahun), Jepang (lebih dari 30 tahun).
Pertumbuhan jumlah penduduk di perkotaan di Cina juga mengungguli negara-negara di Asia lainnya. Angkanya pada tahun 2005 kira-kira setara dengan tingkat pertumbuhan urbanisasi kawasan Asia Timur dan Tenggara. Sejak pertengahan tahun 2000-an pula Cina seakan-seakan memiliki target baru, yakni menyamai tingkat urbanisasi negara-negara maju Barat.
Urbanisasi di Cina pernah menurun drastis pada era Revolusi Kebudayaan yakni sepanjang 1965-1975. Anak-anak muda diperintahkan untuk pindah ke desa-desa untuk menyebarkan virus komunisme. Pada tahun 1962-1978 diperkirakan ada 18 juta anak-anak muda urban yang migrasi ke area pinggiran, sehingga lebih memeratakan konsentrasi penduduk sekaligus menghambat proses urbanisasi.
Namun memasuki akhir dekade 1970-an reformasi ekonomi yang lebih liberal digalakkan. Investasi asing membanjiri Cina. Di kota-kota dibangun banyak pabrik baru yang otomatis membutuhkan pekerja baru. Orang-orang di pinggiran kota maupun dari pedesaan pun berbondong-bondong datang ke kota.
Di era 1980-an pertumbuhan urbanisasi Cina berlangsung dengan amat pesat, sementara memasuki 1990-an grafiknya cenderung melambat. Pada pertengahan 2000-an China sudah memiliki hampir 300 kota yang penduduknya mencapai satu juta jiwa atau kurang. Shanghai menjadi kota terbesar dengan populasi spektakuler: 19 juta jiwa, diikuti Beijing dengan 17,4 juta. Penduduk di dua mega-kota di China itu makin bertambah dalam satu dekade setelahnya.
Kementerian Perumahan dan Pembangunan Kota-Desa RRC memperkirakan sepanjang tahun 2010 hingga 2015 akan ada 300 juta warga pedesaan akan pindah ke perkotaan. Pemerintah Cina juga melancarkan kebijakan penghancuran desa-desa dan memindahkan penduduknya ke kota baru yang juga dibangun oleh pemerintah. Visinya untuk mengintegrasikan 70 persen total populasi Cina, sekitar 900 juta, menjadi penduduk urban seluruhnya pada tahun 2025, demikian menurut New York Times.
Jika pertumbuhan urbanisasi tetap naik meskipun pelan, peserta Chunyun juga akan bertambah tiap tahunnya. Pekerjaan rumah yang besar, sebesar pemudik Tahun Baru Imlek, akan selalu menanti otoritas China ke depannya.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf