tirto.id - "JAKARTA SUDAH BERGERAK, MAHASISWA SUDAH BERSUARA KERAS DAN PESERTA AKSI MEGUSUNG TAGAR #TurunkanJokowi MOHON DIVIRALKAN KARENA MEDIA TV DIKUASAI PERTAHANA."
Suhada Al Syuhada Al Aqse mesti berurusan dengan polisi gara-gara mengunggah tulisan itu di akun Facebook. Polisi menilai Suhada telah menyebarkan informasi bohong atau hoaks tentang unjuk rasa yang terjadi di depan gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jumat 14 September 2018 lalu. Ia dianggap memelintir informasi seolah-olah para mahasiswa sedang berunjuk rasa menuntut Jokowi diturunkan. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah unjuk rasa di depan gedung MK itu hanyalah simulasi Ops Mantap Brata yang digelar Polri dalam rangka pengamanan Pemilu 2019.
Selain Suhada polisi juga mengamankan Gun Gun Gunawan, Muhammad Yusuf, Ridho Apriawan, Irwansyah, dan Nugrasius dalam kasus serupa. Mereka ditangkap paksa di Medan, Bandung, Cianjur, Bogor, Jakarta, Bekasi, Samarinda, hingga Medan. Polisi bilang motif mereka selaras yakni ingin memancing mahasiswa dari berbagai daerah turut berdemo dan meramaikan tagar #TurunkanJokowi. Sedangkan Kapolri Jendral Tito Karnavian menyebut dengan terang, tindakan mereka sebagai bentuk black campaign atau kampanye hitam.
Dari hasil pemeriksaan polisi menyebut Suhada adalah anggota anggota Front Pembela Islam (FPI). Namun mereka tak menyebut apakah ada order langsung dari FPI atas tindakan yang dilakukan Suhada.
"Tidak ada instruksi itu. Yang bilang ada instruksi, fitnah," ujar juru bicara FPI Slamet Maarif saat dikonfirmasi reporter Tirto, Selasa (18/9/2018).
Maarif mendukung tindakan polisi yang menindak penyebar video dan informasi hoaks itu. Meski begitu dia menegaskan, akan melakukan pendampingan hukum terhadap anggotanya yang juga turut menyebar informasi palsu.
"Sudah ditangani Badan Hukum FPI. Saya imbau kepada semua anak bangsa stop berita hoaks. Kepada pihak kepolisian tegakan hukum secara adil tanpa tebang pilih," kata Maarif.
Menggerakkan Kekuatan Politik Luar Parlemen
Peneliti politik dari Populi Centre Rafif Pamenang Imawan menganggap para penyebar hoaks punya motif khusus yang bersifat politis. Menurutnya selain bertujuan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi, penyebaran video hoaks juga bermaksud mendorong para pelaku politik ekstraparlementer di Pilpres 2019.
"Masuk akal ketika hoaks sebagai bagian dari kampanye hitam didorong untuk membuka jalan politik di luar parlemen. Tujuannya untuk mendorong elemen lain di luar elemen-elemen gerakan Islam, untuk dapat memobilisasi massa," kata Rafif kepada reporter Tirto.
Rafif menganggap penyebaran hoaks demonstrasi merupakan cara baru berkampanye hitam, karena isu agama diprediksi tak lagi laku digunakan pada pemilu mendatang. Akhirnya gerakan ekstraparlemen coba didorong karena adanya ketimpangan jumlah parpol pendukung antara kubu Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga.
"Ormas bukan peserta pemilu, namun mereka dapat berperan mendorong isu agar dapat diperhatikan publik dan ikut menentukan pilihan politik individu. Hoaks ini bertujuan membuka ruang politik ekstraparlementer dengan basis dukungan gerakan yang diperluas, yakni mahasiswa," tuturnya.
Rafif menduga penyebaran hoaks video demonstrasi di MK itu dilakukan terstruktur, sistematis, dan masif. Akan tetapi belum ada bukti keterlibatan orang-orang atau kelompok yang mendorong penyebaran hoaks secara masif, seperti yang ia kemukakan.
Meski Tito Karnavian telah menyinggung bahwa tindakan menyebar hoaks tersebut adalah bentuk kampanye hitam, Anggota Bawaslu RI Fritz Edward Siregar mengaku belum bisa berkomentar banyak ihwal kejadian itu. Sejauh ini Bawaslu RI hanya bisa menyerahkan semua proses hukum atas penyebaran video hoaks itu ke aparat kepolisian.
Meski tak mau spesifik membahas penyebaran video tersebut, Fritz menjelaskan bahwa tindakan penyebaran hoaks memang dapat diusut pidananya okeh aparat kepolisian. Sebabnya, ada aturan lain yang mengatur keberadaan kampanye hitam dan penyebaran konten terlarang selain di UU Pemilu.
"Ada UU lain yang mengatur mengenai ujaran kebencian. Itu diatur dalam KUHP, UU ITE, UU Anti Diskriminasi juga diatur. Ketiganya itu memiliki implikasi hukum pidana," kata Fritz di kawasan Menteng.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Dieqy Hasbi Widhana