tirto.id - Polisi menetapkan Dhio Daffa Syadilla sebagai tersangka pembunuhan satu keluarga di Dusun Prajenan, Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia meracuni minuman ketiga kerabatnya itu dengan racun.
Abbas Ashar dan Heri Iryani, orang tuanya; serta Dhea Chairunnisa, kakaknya, tewas karena minuman campur racun yang diberikan si anak bungsu itu. Polisi telah menerima pengakuan Dhio dan memiliki alat bukti, sehingga pemuda 22 tahun itu resmi jadi tersangka. Meski mengakui ulahnya, polisi merasa ada kejanggalan ketika menelusuri perkara.
“Kejanggalan-kejanggalan dari TKP yang ada korban meninggal karena keracunan, biasanya ada sisa muntahan. Tetapi saat kami temukan di TKP (rumah Dhio) klir tidak ada,” kata Plt Kapolresta Magelang AKBP M. Sajarod Zakun sebagaimana dilansir Antara.
Bahkan ketika hendak diautopsi, Dhio menolak. Sementara kerabatnya mempersilakan tim medis untuk melakukan bedah mayat itu. Motif Dhio nekat melakukan itu karena diduga sakit hati lantaran menanggung kebutuhan keluarga.
Dua bulan lalu orang tua Dhio pensiun, sedangkan kebutuhan rumah tangga banyak, ditambah perlu biaya berobat bagi orang tua. Dhio merasa kakaknya tidak diberikan tanggung jawab untuk menyelesaikan kebutuhan-kebutuhan itu, tapi malah dia yang pengangguran yang diminta untuk turun tangan.
Dhio juga pernah mencoba menghabisi nyawa orang tua dan kakaknya, yakni mencampurkan racun ke dalam dawet ketiganya. Usai diminum, ketiganya hanya mual dan pusing. Racun pun ia beli secara daring.
Mendalami Motif dan Kejiwaan Si Bontot
Dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, Reza Indragiri Amriel berpendapat, sakit hatinya pelaku merupakan kombinasi antara perasaan tidak berdaya dan persaingan saudara sekandung. Ditambah oleh mudahnya akses untuk mendapatkan instrumen kejahatan, yaitu racun.
“Perkiraan, perasaan-perasaan negatif itu sudah menumpuk sekian lama. Jangan-jangan, walau pelaku berusia 22 tahun (usia kronologis), tapi usia mentalnya jauh di bawah itu,” ucap Reza ketika dihubungi reporter Tirto, Rabu, 30 November 2022.
Karena itu, kata dia, pemikiran pelaku tentang situasi berisiko menjadi sangat tumpul, gampang mencapai keputusan tentang hal yang sesungguhnya berat. Bukan tekanan yang baru saja dia alami.
“Kasus ini punya penjelasan lebih rumit ketimbang potret sederhana tentang anak durhaka,” sambung dia.
Reza menilai tak usah mencandu dengan tes kejiwaan pelaku, tapi periksa sederhana saja dahulu, misalnya ketika penyidik membuat berita acara pemeriksaan.
Sementara itu, Dosen Psikologi Universitas Gunadarma sekaligus anggota Asosiasi Psikologi Forensik, Meity Arianty mengatakan, berdasarkan pengalamannya ‘orang sehat tidak bakal bunuh diri atau membunuh orang’, sebab jika berpikiran negatif kepada diri sendiri atau orang lain artinya ia sangat putus asa.
Putus asa biasanya dialami orang yang mengalami depresi berat. “Jadi, tak ada orang sehat yang bunuh diri atau bunuh orang lain, pasti orang tersebut ‘sakit’ jika dari segi kesehatan mental,” terang dia kepada reporter Tirto.
Meity mengatakan, seseorang yang berniat bunuh diri atau orang yang bunuh diri biasanya dalam kondisi yang akut, sehingga agresif kepada orang lain atau diri sendiri.
Setiap pelaku pembunuhan pasti memiliki kondisi psikologis yang berbeda-beda dan tak bisa disamakan, namun kebanyakan pelaku pembunuhan memiliki latar belakang dan beberapa hal yang sama, sehingga hal tersebut dianggap sebagai faktor risiko atau penyebab seseorang bisa menjadi pembunuh.
Meity mengatakan bisa dicek saja, bagaimana kondisi psikologis pelaku ini. Sebab, biasanya pembunuh kebanyakan adalah orang yang memiliki masalah mental dan ‘sakit’ secara emosional.
Penyebabnya beragam, bisa karena depresi, putus asa dan kesedihan yang mendalam, kata dia. Hal ini dialami dalam jangka waktu lama dan beruntun sehingga orang tersebut merasa tertekan dan merasa tidak memiliki jalan keluar. Hal-hal itu membuat empati jadi tidak berkembang dengan baik dan dapat membahayakan sisi emosionalnya.
“Coba dicek apakah pelaku ini memiliki riwayat agresi dalam keluarga atau pertemanannya, ada pengalaman diabaikan, memiliki luka batin yang tak kunjung sembuh, bermasalah dalam menjalin hubungan dengan orang lain, kurang memiliki keterikatan emosional, manipulatif, mudah berbohong, merasa tidak dihargai, merasa tidak berharga, merasa tidak aman, mengalami gangguan kepribadian atau gangguan mental?” kata Meity.
Terancam Hukuman Mati
Guna memastikan soal kejiwaan Dhio, Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Nurini Aprilianda menyatakan, bila ada keraguan maka dapat dilakukan tes kejiwaan, karena ini terkait dengan kemampuan bertanggung jawab pelaku sebagaimana diatur dalam Pasal 44 KUHP.
Pasal 44 berbunyi:
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
“Hasil pemeriksaan kejiwaan akan berpengaruh pada putusan hakim,” ucap dia kepada reporter Tirto.
Nurini menilai, Dhio juga bisa dijerat dengan Pasal 340 KUHP ihwal pembunuhan berencana.
Pembunuhan berencana berdasarkan doktrin, memiliki syarat-syarat berencana, yaitu: pengambilan keputusan untuk berbuat atas suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang; sejak timbulnya kehendak pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup; dalam melaksanakan perbuatan dilakukan dalam suasana kondisi yang tenang.
“Jika syarat tersebut ada, maka suatu perbuatan dapat dikatakan berencana. Bila dikaitkan dengan kasus (Dhio), pelaku telah merencanakan dan mempersiapkan pembunuhan yang dilakukan dengan menggunakan racun,” kata Nurini.
Pasal 340 KUHP menegaskan siapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord), dengan hukuman mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lama 20 tahun.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz