tirto.id - Polisi Argentina sedang menyelidiki kematian seorang anak berusia 12 tahun di kota Ingeniero Maschwitch dekat Buenos Aires. Anak perempuan itu meninggal dengan cara gantung diri di halaman belakang rumah orang tuanya. Rekaman yang ditemukan sebelum kematiannya menunjukkan seolah-olah ada orang yang menyuruh si anak untuk mengambil nyawanya sendiri.
Kematian anak itu diduga ada kaitannya dengan Momo Challenge yang sedang jadi tren belakangan ini. Buenos Aires Times menulis, jika benar anak itu tewas karena Momo Challenge, maka ia adalah korban pertama di Argentina dari tren berbahaya yang menyebar via WhatsApp itu.
Momo Challenge muncul beberapa minggu lalu di seluruh dunia. Tantangan Momo dimulai ketika seseorang ditantang untuk menulis pesan melalui WhatsApp ke sebuah nomor tak dikenal dengan nama Momo. Administrator nomor itu kemudian akan mengirimkan pesan dan gambar-gambar yang mengancam.
Administrator juga akan menyuruh pengirim pesan untuk melaksanakan tugas tertentu, jika tidak dilakukan, maka pengirim akan terus diteror dengan berbagai ancaman. Setiap selesai melakukan tantangan, pengirim akan diminta mengunggah videonya di Facebook atau Instagram. Salah satu bentuk tantangan yang diberikan adalah bunuh diri.
Seperti diwartakan International Bussines Times, jika pengirim pesan tak menjalankan tantangan, ia akan dihantui mimpi buruk Momo, sosok wanita bermata besar menonjol dengan senyum lebar yang aneh. Wanita ini juga digambarkan memiliki tubuh seperti kaki ayam.
Psikolog Anak Novita Tandry menilai, tren semacam Momo Challenge ini sangat rentan menimpa anak dan remaja. Sebab mereka sedang memasuki masa peralihan dan tak lagi tunduk dan taat atas otoritas orang tua. Perkembangan anak dalam masa ini cenderung didominasi teman dan lingkungan.
"Anak-anak akan menunjuk temannya sebagai acuan, sebagai contoh. Dengan adanya Momo Challenge ini anak ditantang oleh temannya dan menganggap mereka akan kehilangan teman jika tak melakukan tantangan," ujar Novita kepada Tirto, Senin (6/8/2018).
Menurutnya, usia remaja adalah usia di mana anak takut kehilangan teman, takut di-bully dan dimusuhi teman.
"Ini yang membuat mereka tanpa berpikir, tanpa pertimbangan matang, yang penting terima dulu deh, konsekuensi belakangan," kata Novita.
Ia melanjutkan, keadaan akan lebih parah jika orang tua menganggap anak-anak sudah dewasa. Anak remaja, dari segi fisik memang terlihat tumbuh pesat, padahal secara psikologis mereka belum siap menuju masa dewasa.
Apalagi, anak usia 11-17 tahun cenderung suka memberontak dan merasa mampu mengurus diri sendiri. Jika dalam masa peralihan anak ini orang tua tidak paham dan cenderung meninggalkan anak, maka dominasi teman, lingkungan, dan media sosial akan masuk dengan mudah.
Untuk mencegah anak-anak terjerumus dalam efek negatif media sosial, Psikolog Anak Monica Sulistiawati menilai, orang tua harus waspada terkait isu apapun yang dapat dengan mudah diakses atau viral di media sosial.
"Jadilah orang tua yang mengikuti perkembangan zaman. Ikuti kemajuan teknologi. Cari tahu medsos-medsos apa saja yang sering diikuti anak-anak dan follow account mereka," ujar Monic.
Tujuannya, agar orang tua lebih mudah mengawasi aktivitas pergaulan anak di medsos, misalnya siapa saja teman-temannya, apa saja yang menjadi topik pembicaraan anak, konten apa saja yang sering diakses anak, dan sebagainya.
"Selain itu, anak-anak juga akan lebih berhati-hati dan waspada meng-update status atau mengunggah foto apabila mereka mengetahui ada orang tua di dalam daftar pertemanan mereka," tandas Monic.
Orang tua juga harus mengingatkan anak-anak bahwa medsos dan internet adalah pedang bermata dua: dapat memberikan banyak manfaat kepada penggunanya namun juga dapat menjadi sumber masalah. Untuk itu, menurut Monic, anak perlu diajak bersikap bijak dan berpikir kritis dalam penggunaannya.
Monic melanjutkan, orang tua sebaiknya menjadi sahabat anak. Dengan demikian, akan lebih mudah bagi orang tua untuk mencari keterangan tentang aktivitas sehari-hari anak dan anak pun dapat bersikap lebih terbuka tentang pertemanannya.
Terkait challenge-challenge yang ada, seperti Momo dan Kiki Dance Challenge, Monic berpendapat, orang tua dapat memberikan pengarahan kepada anak, challenge seperti apa yang boleh atau tidak boleh diikuti. Orang tua bisa mencari tahu informasi mengenai challenge tersebut bersama-sama dengan anak dan tanyakan pendapat anak mengenai challenge tersebut.
"Jika ada pendapat atau idenya yang keliru, berikan koreksi disertai alasan yang logis sehingga anak mampu mengembangkan kemampuan berpikirnya sendiri tentang baik/buruknya challenge tersebut," pungkas Monic.
Editor: Dipna Videlia Putsanra