Menuju konten utama

Mission: Impossible - Fallout: Yang Terbaik dari 5 Film Sebelumnya

Tom Cruise melakukan adegan berbahaya terbaiknya: menerbangkan helikopter, terjun payung hingga ketinggian rendah, melompati gedung sampai kakinya patah.

Mission: Impossible - Fallout: Yang Terbaik dari 5 Film Sebelumnya
Tom Cruise dalam Mission Impossible: Fallout. FOTO/Paramount Pictures

tirto.id - Tom Cruise punya reputasi serupa dengan yang Jacky Chan raih: kerap meniadakan bantuan stuntman saat menjalankan adegan berbahaya. Risiko yang ia terima barangkali belum separah Jacky. Tapi kecelakaan di Mission: Impossible – Fallout cukup membuat saya agak kagum: retak pergelangan kaki.

Cruise menjelaskan detailnya saat menjadi tamu di The Graham Norton Show. Ia masih memerankan Ethan Hunt. Selama bincang-bincang ia ditemani lawan main utamanya: Rebecca Fergusson yang memerankan Ilsa Fault, Simon Pegg sebagai Benji Dunn, dan Henry Cavill sebagai August Walker.

“Dalam adegan mengejar Herny lewat atap, saat meloncat ke gedung lain, memang dimaksudkan untuk menghantam ujung tembok. Sayangnya kakiku membentur tembok dengan keras. Aku langsung tahu pergelangannya patah, tapi aku tetap berdiri dan lanjut lari,” katanya.

Kejadian pada bulan Agustus 2017 itu membuat produksi berhenti sementara. Lebih tepatnya selama delapan bulan, dan dipakai Cruise untuk memulihkan diri. Profesionalisme Cruise membuat sang sutradara Christopher McQuarrie memasukkan rekaman adegan kecelakaan ke trailer resmi di kanal Youtube.

Tak disangka, responnya cukup untuk memancing rasa penasaran publik, sekaligus keinginan untuk menonton filmnya. Musibah tersebut tidak mengganggu jadwal tayang film pada Juli 2018. Bahkan Cavill menilai kecelakaan itu berdampak positif bagi kru, pemeran, dan hasil akhir.

“Saat itu terjadi dan kami mesti menghentikan syuting dalam jangka waktu yang cukup lama, kami justru berpikir ini waktu yang baik untuk mengisi ulang tenaga. Kami bisa beristirahat dan memastikan segalanya sempurna saat kami kembali ke lokasi syuting,” katanya kepada CinemaBland.

Ramalan Cavill terbukti. Sejak penayangan hari pertama, antusiasme penggemar waralaba Mission: Impossible membludak di bioskop-bioskop. Mereka, dan juga saya, cukup terhibur dengan rangkaian aksi yang dikemas Cruise dkk dari tiga benua.

Kritikus ramai-ramai memberikan pujian. Beberapa di antaranya, yang kemudian saya setujui, bahkan berani mengklaim bahwa Mission: Impossible – Fallout adalah yang terbaik di antara lima film Mission: Impossible lain.

Mission: Impossible – Fallout diawali tugas baru Hunt untuk memburu tiga inti plutonium yang telah dicuri dari kelompok teroris bernama The Apostles. Kelompok anarkis ini punya hubungan dengan grup The Syndicate yang bikin gara-gara sejak Mission: Impossible – Rogue Nation (2015).

Oleh organisasi tempat Hunt bernaung, Impossible Mission Force (IMF), ketiga inti plutonium dikhawatirkan akan digunakan untuk membuat bom atom. Targetnya diperkirakan tiga pusat religi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, yakni Mekah, Roma, dan Yerusalem.

Sayangnya, Hunt gagal menjalankan misi. Ia dihadapkan pada pilihan sulit: mengamankan ketiga inti plutonium atau menyelamatkan rekannya, Luther Stickell (Ving Rhames). Ia memilih keamanan jiwa Luther. Keputusan yang membuat situasinya kian pelik sebab makin banyak pihak yang terlibat.

Di momen tersebut McQuarrie seakan ingin menunjukkan apa yang mendasari kerja-kerja Hunt. Motivasi utama James Bond adalah Ratu Inggris dan negara. Jason Bourne digerakkan misi pribadi. Sedangkan Hunt selalu memprioritaskan teman, timnya, dan hubungan dengan orang dekat yang telah terbangun lama.

Atas motif sentimentil itu pula Hunt masih terbayang-bayang mantan istri yang masih dicintainya, Julia Meade-Hunt (Michelle Monaghan). Di tidurnya Hunt masih sesekali bermimpi tentang kegagalan melindungi Julia, sehingga memaksa Julia harus hidup terasing dari Hunt.

Ada sejumlah plot twist yang pelan-pelan membongkar misi rahasia beberapa tokoh. Mereka yang sedari awal membantu Hunt ternyata punya tujuan lain, atau bahkan sesungguhnya berperan menyukseskan visi kelompok antagonis.

Mission: Impossible – Fallout masih menghadirkan kejutan-kejutan terkait bagaimana Hunt menipu para penjahat atau saat ia menjalankan misi yang rumit namun bisa selesai dengan tepat waktu, sesuai rencana, dan meraih keberhasilan 100 persen bersama rekan-rekan satu tim.

Klise, tetapi elemen itulah yang membuat serial Mission: Impossible mampu menarik penonton setia sejak film pertamanya pada tahun 1996.

Penonton diajak mengikuti petualangan Hunt melakukan hal-hal yang dirasa mustahil, terutama bagi orang awam, namun mampu menyelesaikannya dengan tuntas.

Tom Cruise selalu memakai rumus “nyaris” di film-film aksinya. Nyaris kena tembakan peluru lawan, nyaris terserempet mobil yang melaju kencang, nyaris jatuh dari helikopter, nyaris jatuh dari jurang terjal, dan momentum di ujung tanduk lainnya. Susah mati, mirip Bruce Willis di waralaba Die Hard.

Rumus ini membuat penonton menahan nafas, atau boleh jadi turut mendoakan keselamatan Cruise. Apalagi ditambah pengetahuan bahwa Cruise melakukan adegan berbahaya sendirian atau dengan sedikit bantuan dari stuntman.

Infografik Misbar Mission Impossible fallout

Waralaba Mission: Impossible menjual thrill itu, sehingga selalu menempatkan Ethan Hunt dalam satu situasi yang pelik ke situasi pelik lainnya. Di Mission: Impossible – Fallout, wahana permainan nyawa Hunt sebagian besar berada di Paris.

Kota yang konon paling romantis itu jadi latar Hunt kejar-kejaran memakai sepeda motor, membelah lalu lintas yang macet oleh mobil-mobil pribadi, disusul tembak-menembak, lalu kejar-kejaran lagi dengan kendaraan yang berbeda.

Sekali lagi, klise. Namun bukankah film laga hampir tak mungkin menyenangkan untuk ditonton tanpa hadirnya klise?

Fallout bagi saya menjadi yang terbaik sepanjang waralaba Mission: Impossible sebab menjabarkan definisi film laga dengan layak.

Ia mirip dengan Mad Max: Fury Road, misalnya, yang berhasil membuat penonton duduk manis selama lebih dari dua jam untuk menantikan aksi lanjutan setelah aksi sebelumnya ditutup dengan janji “akan ada kejutan yang lebih besar”.

Cruise memenuhi janji tersebut dengan mengorbankan pergelangan kakinya. Juga dengan berupaya keras mendapatkan surat izin agar bisa menerbangkan helikopternya sendiri, atau berlatih selama satu tahun penuh agar mampu mempraktikkan High Altitude Low Opening (metode buka parasut di ketinggian rendah) dengan sempurna.

Mission: Impossible – Fallout juga menyajikannya lanskap visual yang terbaik dibanding para pendahulunya. Sinematografernya adalah Rob Hardy, yang sebelumnya menuai pujian sampai diganjar nominasi di British Society of Cinematographers 2015 melalui kontribusi di film Ex Machina (2014).

Buat saya, Mission: Impossible – Fallout adalah puncak pencapaian Cruise sebagai aktor sekaligus produser. Nama sekaligus kariernya di Hollywood melambung berkat waralaba Mission: Impossible.

Keberhasilannya membawakan sosok seorang agen rahasia diduplikasi di sejumlah film aksi-petualangan lain seperti Jack Reacher (2012) dan sekuelnya, atau yang dibumbui komedi seperti Knight and Day (2010).

Tak seperti Cruise di era 1980-an dan 1990-an yang masih menjamah film-film drama, dalam dua dekade terakhir ia memang lebih banyak bermain di film-film laga. Evolusi yang aneh, mengingat di saat menua ia justru makin sibuk berkutat dengan adegan-adegan berbahaya nan menguras tenaga.

Hingga kini ia masih dianggap sebagai salah satu selebriti tipikal vampir. Penampilan serta kebugaran fisiknya masih seperti Cruise di era muda. Padahal usianya kini sudah kepala lima, akan tetapi belum ada tanda-tanda untuk pensiun dari gelanggang film laga.

Baca juga artikel terkait FILM HOLLYWOOD atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Film
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf