tirto.id - Minggu pagi, 27 Maret 2016, sekitar pukul delapan, udara terasa dingin di kota Matamoros, negara bagian Tamaulipas, Meksiko. Lalu lintas terlihat ramai. Kendaraan keluar masuk jembatan Brownsville & Matamoros Express International Bridge, jalur penghubung menuju negara bagian Texas, Amerika Serikat.
Trotoar tak kalah ramai, padat oleh pejalan kaki dan pedagang. Dalam keramaian itu, seorang wanita berusia 56 tahun, bernama Miriam Elizabeth Rodríguez Martínez, berjalan seorang diri mengenakan topi baseball dan mantel. Sedangkan suaminya, Luis, tinggal di dalam truk yang ia dikendarai, tidak jauh dari jembatan.
Miriam mencari seorang pria yang dikenalnya sebagai penjual bunga sat ia masih menjalankan usaha toko pakaian Koboi, Rodeo Store, bersama suaminya di San Fernando, Meksiko.
Ia mengamati wajah orang-orang di sekitarnya. Usia memaksanya menepi beberapa kali untuk mengatur napas sambil membuka obrolan dengan para pedagang, menanyakan keberadaan pria penjual bunga yang dicarinya.
Meski telah menunjukkan foto si pria penjual bunga, para pedagang yang ditanyainya tidak satu pun yang mengetahui. Tak putus asa, ia melanjutkan pencarian hingga membawanya masuk ke dalam jembatan.
Si penjual bunga akhirnya tampak dalam pandangannya. Kali ini orang yang dicarinya sedang menjual kacamata. Perlahan dan hati-hati Miriam mendekatinya.
Menyadari ada yang mendekati, si penjual kacamata menjauh. Aksi kejar-kejaran sempat terjadi, sebelum akhirnya Miriam berhasil menarik kemeja si penjual kacamata dan menjatuhkannya di atas trotoar, lalu menempelkan sebuah pistol kaliber .38 ke punggungnya.
"Jika kamu bergerak, aku akan menembakmu, ujar Miriam seperti ditulis Azam Ahmed dalam Fear is Just a Word: A Missing Daughter, a Violent Cartel and a Mother’s Quest Vengeance (2023).
Setelah menunggu satu jam, polisi akhirnya tiba di lokasi dan meringkus si penjual kacamata. Pria itu adalah mantan anggota Los Zetas, kartel narkoba paling berbahaya di Meksiko.
Memburu Anggota Kartel dan Mencari Jasad Karen
Penangkapan itu adalah satu di antara penangkapan lainnya terhadap anggota Los Zetas yang dilakukan secara mandiri oleh Miriam setelah putrinya, Karen Alejandra Salinas Rodríguez, dibunuh pada 23 Januari 2014.
Sebelum dibunuh, beberapa anggota Los Zetas mencegat Karen yang tengah mengendarai truk di kota San Fernando, Tamaulipas, Meksiko, dalam perjalanan pulang dari toko pakaian koboi, Rodeo Store, yang diwariskan kedua orang tuanya.
Ketika anaknya diculik, Miriam sedang bekerja sebagai pengasuh anak di McAllen, Texas. Ia mendapat telepon dari salah seorang anggota Los Zetas yang memintanya uang tebusan. Tanpa pikir panjang, ia memenuhi tuntutan tersebut dengan meminjam uang ke bank.
Setelah itu, suaminya bergegas mengantarkan uang tebusan dan meletakkannya di suatu tempat yang telah ditentukan, dekat sebuah klinik kesehatan di San Fernando. Namun, upaya itu sia-sia. Nyatanya Karen tak kunjung dikembalikan.
Hari-hari berikutnya, Miriam memberanikan diri menghubungi Los Zetas untuk mengadakan pertemuan langsung di restoran El Junior. Tanpa ia sangka, permintaan itu disetujui.
Setelah pertemuan, seorang anggota Los Zetas berkata kelompoknya tidak mengetahui keberadaan Karen, dan sebelum meninggalkan tempat pertemuan ia menawarkan bantuan kepada Miriam untuk menemukan putrinya dengan biaya sebesar $2.000.
Meski ragu, Miriam terpaksa menerima tawaran. Minggu berikutnya, ia kembali menerima panggilan dari anggota Los Zetas lainnya yang meminta dana tambahan untuk pencarian Karen, sebesar $500.
Miriam kembali memenuhinya. Nahas, setelah segala harta dan bisnis miliknya habis untuk memenuhi permintaan uang tebusan, Karen tidak kunjung kembali. Dengan perasaan sedih yang bercampur amarah, suatu pagi ia berkata kepada putri sulungnya, Azalea, bahwa adiknya kemungkinan besar sudah meninggal.
Ia berkata kepada Azalea bahwa dirinya tidak akan beristirahat sampai dia menemukan orang yang telah mengambil Karen. Dia akan memburunya, satu demi satu.
Sejak saat itu, ia mulai menghabiskan waktu berjam-jam menelusuri media sosial untuk mencari informasi tentang orang-orang yang terhubung secara langsung maupun tidak langsung dengan kartel Los Zetas.
Pencarian pertamanya diawali dengan mengetik nama Sama di kolom pencarian Facebook. Nama itu ia ingat dari suara kecil walkie talkie seorang anggota Los Zetas lainnya saat bertemu di restoran El Junior.
Suatu hari pencariannya menemui titik terang. Miriam menemukan sebuah unggahan foto wanita mengenakan seragam pegawai toko es krim di kota Ciudad Victoria bersama seorang pria yang disematkan tag dengan nama Sama.
Selanjutnya ia mengintai toko es krim itu selama berminggu-minggu dan mempelajari jadwal kerja wanita itu. Suatu hari Sama muncul dengan si wanita, lalu Miriam mengikutinya. Ia berhasil mencatat alamat rumah keduanya.
Mengutip Daily Mail, dalam penyelidikan berikutnya, guna menghindari kecurigaan, ia mengubah penampilan. Rambutnya ia cat dengan warna merah.
Tak jarang ia melakukan penyamaran dengan mengenakan seragam Kementerian Kesehatan--bekas tempat kerjanya--untuk mengorek informasi lebih lanjut dengan jajak pendapat palsu terhadap orang-orang yang tinggal dekat dengan targetnya.
Merasa sudah mendapat informasi yang jelas, ia kemudian mendatangi kepolisian negara bagian Tamaulipas untuk membantunya menangkap Sama. Namun, ia tidak mendapat respons yang diharapkan. Hanya satu anggota polisi federal yang bersedia membantunya.
Selain itu, ia juga mendatangi setiap tingkat pemerintahan di negara bagian Tamaulipas. Namun, ia ditanggapi secara lambat, sehingga ketika surat penangkapan dikeluarkan, Sama telah pergi meninggalkan kota.
Pada 15 September 2014, putra Miriam yang bernama Luis Héctor, menyadari keberadaan Sama yang melihat-lihat topi di toko miliknya di Ciudad Victoria. Setelah menelpon ibunya, Luis mengikuti Sama hingga akhirnya ditangkap polisi di alun-alun kota.
Saat diinterogasi, Sama menyebut nama-nama kawannya dalam kasus pembunuhan Karen, salah satunya, Cristian Jose Zapata Gonzalez, seorang remaja berusia 18 tahun yang tidak lama kemudian berhasil ditangkap.
Dari Cristian diketahui bahwa Karen dibunuh di sebuah peternakan yang sudah lama ditinggalkan pemiliknya. Tak lama kemudian polisi menuju lokasi pembunuhan. Lusinan tulang belulang ditemukan. Namun, salah seorang agen forensik pemerintah mengklaim bahwa kerangka Karen tidak ditemukan.
Hal itu membuat Miriam geram dan menentang pernyataan si agen forensik.
"Ia (Miriam) menemukan syal Karen dan bantalan kursi dari truknya [di lokasi pembunuhan],” pungkas Azam Ahmed dikutip dari The New York Times edisi 13 Desember 2020.
Mengutip Diario de Nolicias, naluri seorang ibu ternyata tidak salah. Dalam pemeriksaan forensik berikutnya, sebuah kerangka tulang bagian paha teridentifikasi berasal dari jasad putrinya.
Ditembak di Hari Ibu Meksiko
Hari-hari berikutnya, Miriam terus menelusuri media sosial dan melakukan penyelidikan terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan putrinya. Ia kemudian dikenal sebagai aktivis pencarian orang hilang.
Bersama 600 orang yang kehilangan anggota keluarganya, ia membentuk dan memimpin sebuah organisasi pencarian orang hilang bernama Colectivo de Desaparecidos de San Fernando.
Aksi dan gerakan yang ia lakukan mendekatkan dirinya dengan ancaman kematian. Hal itu mulai tampak pada Maret 2017 saat dua lusin tahanan--beberapa di antaranya para pelaku penculikan Karen--melarikan diri dari penjara Ciudad Victoria.
Ia segera meminta perlindungan untuk diri dan keluarganya kepada pihak berwenang. Meski demikian, ia tetap melakukan pengintaian selama berhari-hari di dekat rumah seorang remaja putri yang juga terlibat dalam penculikan Karen.
Rabu, 10 Mei 2017, bertepatan dengan peringatan hari ibu di Meksiko, Miriam ditembak di depan rumahnya oleh sekelompok pria bersenjata. 12 peluru bersarang ditubuhnya.
"[Miriam] meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit," tulis Johny Wrate dalam Organized Crime and Corruption Reporting Project.
Meski dua orang penembak berhasil ditahan, Kantor Kejaksaan Agung Tamaulipas belum dapat memastikan dalang utama di balik pembunuhannya. Peristiwa itu seketika menjadi perbincangan nasional dan mendapat perhatian dunia internasional. Tak sedikit yang menyatakan penembakan tersebut merupakan kegagalan pemerintah setempat dalam melindungi warganya.
Mengutip laman United Nation Human Right Office of the High Commisiner, "Para ahli menyerukan kepada Pemerintah Meksiko untuk melakukan penyelidikan yang adil. [...] ini adalah contoh mengejutkan lainnya mengenai kekerasan terhadap mereka yang menyerukan kebenaran dan keadilan di Meksiko."
Beberapa hari kemudian, sebuah plakat diresmikan di alun-alun San Fernando untuk menghormati perjuangan Miriam yang berbunyi: "Saya belajar bahwa keberanian bukanlah tidak adanya rasa takut tetapi kemenangan atas rasa takut. Orang yang berani bukanlah dia yang tidak merasa takut, tapi dia yang mampu mengalahkan rasa takutnya."
Penulis: Andika Yudhistira Pratama
Editor: Irfan Teguh Pribadi