Menuju konten utama

Michelle Obama untuk Pilpres 2020

Partai Demokrat sudah punya kandidat presiden potensi: Michelle Obama. Mengapa dia? Kata Michelle: Tenang dulu yang di belakang sana.

Michelle Obama untuk Pilpres 2020
Ibu negara Amerika Serikat, Michelle Obama. (AP Photo/Jacquelyn Martin)

tirto.id - Donald Trump baru saja terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat. Trump juga baru mengumumkan rencana kerja 100 hari pertamanya. Tanpa peduli apa isi rencana itu, orang-orang sudah melihat ujung era Trump. Bahkan sejak hari pertama Trump dinyatakan menang dari Hillary Clinton, kandidat perempuan pertama di putaran pemilu Presiden Amerika, mereka sudah tahu perempuan lain yang bisa menggantikan sekaligus memperbaiki Amerika dari Trump.

Dialah Michelle LaVaughn Robinson Obama, Ibu Negara keturunan Afrika-Amerika Pertama. Akrab dipanggil Michelle Obama.

Saat berita kemenangan Trump menyesakkan dada mereka yang berharap punya presiden perempuan pertama, tanda pagar #Michelle2020 sempat melambung jadi menjadi trending di seluruh dunia. Tagar itu digunakan sebagai panggilan kepada Michelle atas keputusasaan separuh Amerika yang tak siap dipimpin Trump.

Seperti diketahui dari pidato-pidatonya selama masa kampanye pemilu lalu, Michelle memang salah satu suara anti-Trump paling vokal. Sejak pidato-pidato itu, polling suara untuknya bahkan terus-terusan bercokol di angka 60 persen, hingga paling tinggi di angka 64 persen. Jauh di atas calon presiden unggulan Demokrat, Time Kaine dan Elizabeth Warren. Bahkan dari unggulan Republikan, Mike Pence dan Paul D. Ryan.

Hasil polling yang tinggi ini dinilai sebagai buah kecerdikan Michelle menjalankan posisinya sebagai Ibu Negara. Christine Matthews, seorang pollster dari Republikan yang biasa mempelajari gender, mengatakan pada New York Times bahwa keputusan Michelle membatasi diri dari dunia politik di saat yang sama menciptakan waduk kepercayaan publik serta popularitas yang menempatkannya selevel dengan Barbara dan Laura Bush yang memang populer. Ia lebih diterima karena menghindari gaya Nancy Reagan atau Hillary Clinton yang dinilai terlalu vokal sebagai Ibu Negara dan malah cenderung memecah belah.

“Dia (Michelle) bisa saja berjalan ke jalan sesat, tapi tidak. Dia malah berkembang bijak,” kata Matthews. “Sayangnya, Amerika punya kacamata gender saat melihat perempuan yang terlalu berambisi pada politik. Publik Amerika tak suka itu ada pada Ibu Negara. Mereka ingin seseorang yang ramah dan berkenan.”

Ibu Negara yang Tak Ingin Dikendalikan Politik

Keduanya persis seperti citra yang ditunjukkan Michelle delapan tahun terakhir sebagai Ibu Negara. Bahkan jauh-jauh hari saat suaminya, Barack Obama masih menjabat Senator di Illinois. Ia memang terkenal sebagai salah satu istri pejabat yang paling enggan terlibat politik.

Pada 2003, saat suaminya kembali Berkampanye untuk kedua kalinya sebagai Senator di Hotel Chicago, Michelle justru tak hadir. Saat suaminya memutuskan maju ke Gedung Putih empat tahun kemudian, dia malah menolak. Namun, akhirnya turut mendukung dengan banyak sekali syarat.

Melissa Winter, Kepala Deputi Staf Michelle, ingat betul bagaimana ketatnya sang bos membatasi diri dari agenda politik. “Saat aku mulai kerja, dia bilang begini: ‘Aku akan kampanye hanya untuk dua hari dalam seminggu. Dan tak akan kerja saat akhir pekan, karena akan bersama anak-anak,’” kata Winter menirukan Michelle pada New York Times.

Ini juga diamini Barrack. Dalam wawancaranya di Jimmy Kimmel’s Late Night Comedy Show ia bilang, “Michelle pernah bilang padaku, ‘Aku coba mengatur hidupku untuk tak terlalu kacau sana-sini, sedangkan politik itu adalah kekacauan dahsyat’.”

Michelle sendiri memang telah mengakuinya. Pernah saat bertemu Laura Bush 2013 lalu, Michelle bahkan menyebut tempat tinggalnya selama delapan tahun terakhir itu sebagai penjara. Walau ia menambahkan kata sifat bagus, sebelum kata “penjara”.

Infografik Michelle Obama

Michelle terlihat tak nyaman dengan dunia politik. Namun, sebenarnya latar pendidikan Michelle tak jauh-jauh amat dari dunia politik. Lulusan universitas kenamaan Princeton dan Harvard ini adalah seorang pengacara bergaji $250 ribu sebelum didapuk menjadi Ibu Negara pada 2003 lalu. Ia terbukti memiliki kemampuan bicara dan bersikap yang sangat andal di depan publik. Kemampuan ini pula yang dinilai banyak pihak sebagai kelebihan Michelle dari Ibu Negara-Ibu Negara pendahulunya.

Pidato-pidatonya dalam beberapa Konvensi Demokrat justru sempat menyelamatkan polling Hillary yang sering kedodoran karena dibantai isu pembobolan surel. Salah satu yang paling terkenang adalah saat suara Michelle bergetar hebat mengeluarkan keterkejutan atas bocornya rekaman pernyataan vulgar Trump kepada seorang perempuan.

“Kejadian itu mengguncang saya hingga ke pati diri, dengan cara yang saya sendiri tak sangka-sangka. Ini sesuatu yang tak bisa diabaikan. Ini tak normal. Ini bukan lagi politik biasa,” kata Michelle, berkaca-kaca. Ia benar-benar tak rela punya presiden berperangai Trump.

Pidato itu pula yang menarik simpati korban-korban pelecehan seksual, para ayah yang khawatir anak-anak bujangnya terpengaruh pola pikir sesat Trump, dan orang tua-orang tua yang mati kebingungan menjelaskan arti perkosaan pada anak mereka yang masih berumur 10 tahun.

Tapi dengan semua dukungan itu, di atas keengganannya berpolitik, maukah Michelle Obama maju pada pemilu Presiden AS berikutnya?

Dalam sejumlah wawancaranya, Michelle terus terang menjawab tidak berkali-kali. Sekali pada 2012, selanjutnya pada 2014. Terakhir, Maret lalu di South by Southwest Festival, dia berkata, “Aku tak akan maju sebagai presiden. Tidak, enggak, tak akan melakukannya.”

Alasannya, ingin punya waktu merawat kedua anak gadisnya. Selain dikenal sebagai Ibu yang amat peduli pada keluarga, Michelle memang turut dikenal sebagai aktivis hak perempuan dan anak. Dua hal ini yang selalu diperjuangkannya dalam rekam jejak sebagai Ibu Negara. Program terakhir yang diupayakannya saja bertajuk, “Lets Girls Learn!”, sebuah inisiatif pemerintah AS untuk membantu seluruh anak perempuan di dunia bisa bersekolah.

Itu sebabnya Michelle gondok besar pada Trump yang cabul. Meski tak ingin mencalonkan diri sebagai presiden, Michelle masih punya waktu empat tahun lagi untuk mengubah pikirannya.

Tapi harapan mengembalikan Obama ke Gedung Putih tampaknya tak sejauh itu. Pada Hari Veteran, 14 November lalu di Amerika, seorang pria menceletuk saat Michele berpidato, “Maju sebagai presiden!”

Lantas ia menjawabnya tak lagi selugas yang lalu-lalu, bahkan cenderung misterius: “Tenang dulu yang di belakang sana,” katanya.

Baca juga artikel terkait MICHELLE OBAMA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Politik
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Zen RS