tirto.id - Nama Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan kembali terseret kasus dugaan korupsi. Kali ini, Dirut Pertamina periode 2009-2014 itu ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara dugaan korupsi pengadaan gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) Pertamina 2011-2021.
“Menetapkan serta mengumumkan tersangka GKK alias KA selaku Direktur Utama PT Pertamina (Persero) tahun 2009-2014,” kata Ketua KPK, Firli Bahuri di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa (19/9/2023) malam.
Firli menerangkan, kasus ini berawal saat Pertamina melakukan pengadaan LNG sebagai alternatif untuk mengatasi defisit gas. Kala itu, Pertamina di bawah kepemimpinan Karen memprediksi Indonesia akan defisit gas pada 2009-2040 sehingga perlu pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN (Persero), industri pupuk, dan industri petrokimia lain di Indonesia.
Karen pun mengeluarkan kebijakan untuk kerja sama dengan sejumlah supplier LNG di luar negeri, salah satunya perusahaan Corpus Christi Liquefication (CCL) Amerika Serikat. Karen disebut secara sepihak langsung melakukan kontrak kerja sama dengan CCL tanpa kajian dan analisis menyeluruh dalam kerja sama Pertamina-CCL.
Karen juga disebut tidak melaporkan kepada Dewan Komisaris PT Pertamina. Karen pun tidak melaporkan kebijakan kerja sama CCL-Pertamina dalam pembelian gas LNG pada Rapat Umum Pemegang Saham yakni pemerintah.
Firli menambahkan, seluruh kargo LNG yang dibeli Pertamina dari CCL tidak terserap sepenuhnya oleh pasar domestik Indonesia. Hal itu mengakibatkan kargo LNG Indonesia oversupply dan tidak pernah masuk ke Indonesia. Kondisi oversupply itu lantas merugikan bagi Indonesia karena Pertamina menjual oversupply LNG dengan kondisi harga di bawah pasar internasional.
Aksi Karen, kata Firli, dinilai telah melanggar sejumlah ketentuan seperti keputusan RUPS Anggaran Dasar PT Pertamina, sejumlah peraturan BUMN, dan merugikan negara hingga 140 juta dolar AS atau setara Rp2,1 triliun.
“GKK alias KA disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP,” kata Firli.
Karen akhirnya ditahan oleh komisi antirasuah selama 20 hari ke depan, terhitung sejak 19 September 2023 hingga 8 Oktober 2023 di Rutan KPK.
Penetapan Karen sebagai tersangka KPK akhirnya menguak teka-teki kasus dugaan korupsi LNG Pertamina yang sudah lama sidik KPK. Karen, yang divonis lepas dari kasus korupsi investasi pengeboran Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 itu sempat dicegah ke luar negeri oleh KPK pada 8 Juni 2022.
Setelah pencegahan Karen di 2022, KPK terus berupaya meminta keterangan untuk mengungkap kasus yang terjadi medio 2011-2021 itu. Dalam catatan Tirto, selama 2022-2023, lembaga antirasuah memeriksa sejumlah pihak, seperti Senior Legal Counsel I Product, Rina Kartikasari; Operation Manager pada PPT ETS, Bayu Satria Irawan; mantan Direktur Gas PT Pertamina, Yenni Andayani; Direktur Pertagas Gunung S. Hadi; SVP Strategy and Investment SPPU Pertamina, Daniel S. Purba; hingga mantan Senior VP Gas PT Pertamina, Nanang Untung.
Sejumlah nama besar yang dipanggil dalam pendalaman kasus ini, antara lain: eks Wamenkeu Anny Ratnawati; mantan Dirut PLN, Nur Pamudji; mantan Dirjen Migas Kementerian ESDM, Evita Herawati Legowo; mantan Dirut Pertamina sekaligus Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto. KPK juga memeriksa eks Menteri BUMN, Dahlan Iskan pada Kamis (14/9/2023).
Karen, yang keluar dengan mengenakan rompi oranye dari Gedung KPK, enggan menyebut dirinya korban pihak tertentu. Ia hanya mengatakan, aksinya mengikuti arahan pemerintah sesuai Perpres energy mix pada 2006 hingga Inpres Nomor 1 tahun 2010 dan Inpres Nomor 14 tahun 2014. Oleh karena itu, Karen membantah bahwa aksinya adalah aksi mandiri, melainkan mengikuti perintah jabatan sesuai undang-undang.
“Jadi pengadaan LNG ini bukan aksi pribadi, tapi merupakan aksi korporasi Pertamina berdasarkan Inpres yang tadi saya sebut, surat UKP 4 sebagai pemenuhan proyek strategis nasional,” kata Karen, Selasa (19/9/2023) malam.
Karen pun menjawab tudingan kerugian akibat proyek LNG tersebut. Ia mengatakan, perjanjian 2013-2014 dianulir lewat perjanjian pada 2015. Karen juga menjawab dalih bahwa pemerintah merugi pada 2020 dan 2021 atau saat pandemi. Bagi Karen, pandemi atau tidak seharusnya Pertamina untung karena bisa menjual dengan harga yang positif.
“Kenapa itu tidak dilaksanakan? Saya tidak tahu, tetapi year-to-date sekarang, dari mulai frist delivery 2009, sampai 2025 itu sudah untung Rp1,6 triliun,” kata Karen.
Karen juga menekankan bahwa perdagangan LNG berjalan terbuka karena perjanjian dan harga bersifat transparan. Ia sebut, kerugian minim terjadi karena harga komoditas turun. Ia justru menilai, pemerintah seharusnya bisa berhitung momentum volume LNG ditahan maupun dilepas di masa pandemi. Oleh karena itu, Karen bingung bisa merugi. Ia tidak tahu siapa yang bertanggung jawab terkait kasus tersebut.
“Saya tidak tahu siapa pada saat itu yang menjabat 2018, saya sudah resign di tahun 2014,” kata Karen.
Oleh karena itu, Karen yakin pemerintah tahu kebijakan LNG. Ia juga sudah menjalankan sesuai amanat undang-undang, melibatkan 3 konsultan dan disetujui para konsultan tersebut. Ia pun menyebut Menteri BUMN kala itu Dahlan Iskan.
“Pak Dahlan tahu,” kata Karen.
Hal senada diungkapkan kuasa hukum Karen, Rebecca. Ia sebut, Dahlan Iskan sebagai menteri BUMN kala itu, mengetahui situasi pengadaan LNG. Ia pun akan menggunakan regulasi yang disebut Karen sebagai materi pembelaan.
“Bukti-bukti pembelaan diri akan kami ajukan. Yang jelas Perpres dan Inpres yang disebutkan ibu, Selasa malam (19/9/2023) akan menjadi dasar pembelaan,” demikian pernyataan pengacara Rebecca saat dihubungi Tirto, Rabu (20/9/2023).
Rebecca juga menekankan bahwa Pertamina selalu melaporkan kegiatan, termasuk pengadaan LNG kepada Menteri BUMN saat itu. “Kementerian BUMN selalu mendapat laporan dari direksi," ujarnya.
Melalui Rebecca, Karen juga membantah tudingan yang menyebutnya menginisiasi pengadaan LNG atas nama pribadi. Ia menegaskan, proyek LNG dilakukan sesuai Inpres Proyek Strategis Nasional. Rebecca juga menegaskan aksi Karen diketahui pemerintahan kala itu.
Sementara itu, pemerhari BUMN, Herry Gunawan tidak memungkiri bahwa yang dilakukan Karen Agustiawan sebagai aksi perusahaan. Akan tetapi, Herry menyoroti sikap Karen yang tidak melapor kepada Dewan Komisaris.
“Memang betul Bu Karen itu melaksanakan keinginan pemerintah untuk memenuhi pasokan gas di dalam negeri, yang dikhawatirkan terjadi shortage, tapi persoalannya kalau berdasarkan yang saya baca di banyak informasi bahwa ada tata kelola yang tidak dilaksanakan oleh Bu Karen, misalnya, Bu Karen tidak melapor, ini kan aksi strategis, aksi ini biasanya minta persetujuan Dewan Komisaris,” kata Herry, Rabu (20/9/2023).
Herry mengatakan, Dewan Komisaris punya Komite Pemantau Risiko yang bertugas memantau segala rencana strategis. Hal itu supaya memitigasi risiko yang akan muncul dari tindakan yang ditentukan oleh perusahaan.
“Karena Karen tidak minta persetujuan RUPS (rapat umum pemegang saham), maka di sini kemungkinan besar itu Komite Pemantau Risiko tidak bekerja,” kata Herry.
Menurut Herry, ada sejumlah kejanggalan dalam kasus LNG. Pertama, perusahaan Amerika seharusnya punya kajian kebutuhan gas sebelum ada penjualan. Kajian tersebut juga dilakukan oleh pihak independen. Ia menduga, KPK menaikkan status hukum karena masalah oversupply yang berujung dijual kembali sehingga lebih murah daripada saat pembelian.
“Yang menjadi concern-nya KPK, barang itu, gas itu menjadi oversupply, karena oversupply, sehingga dijual kembali dengan harga yang jauh lebih rendah, nah di sini ada potensi kerugian negara,” kata dia.
Herry menambahkan, “Ya ini aksi korporasi yang berdampak hukum.”
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz