tirto.id - Lion Air memecat 14 pilot yang melakukan demo mogok terbang pada Selasa (10/5/2016). Akibat pemogokan yang terjadi di lima bandara –Sam Ratulangi Manado, Hasanuddin Makassar, Bandara Internasional Lombok, I Gusti Ngurah Rai Denpasar dan Adisutjipto Yogyakarta-- diperkirakan 5.000 penumpang terlantar.
Mereka mengaku mogok terbang karena mengalami gangguan emosi dan psikis, sehingga tidak bisa terbang lantaran hak-haknya sebagai pekerja diabaikan oleh menajemen perusahaan. Selain itu, mereka juga menyebut soal kontrak kerja dengan Lion yang belakangan justru menguntungkan perusahaan.
Bagaimana respon pihak Lion Air Group? “Saya biayain kamu sekolah, saya keluarin satu miliar. Lalu kita sepakat, minta kamu bekerja 10 tahun. Dalam 10 tahun itu saya hitung, kalau kamu jalani sampai selesai, ya kamu tak perlu balikin satu rupiah pun. Fair tidak? Fair dong,” kata Edward Sirait, CEO Lion Air Group, saat dihubungi tirto, pada Kamis (11/8/2016). Berikut wawancaranya:
Bagaimana mempertahankan Lion Air sebagai maskapai low cost carrier terdepan?
Sebenarnya bukan mempertahankan. Bahasanya bukan begitu ya, kita terus memperbaiki dan menstandarisasi pelayanan. Itu yang kami lakukan. Kalau dikatakan mempertahankan, tentu dalam konteks pasar terbuka. Apalagi sekarang masyarakat diberi pilihan bebas dan dapat menilai. Bagaimana Lion bisa memperbaiki terus kinerja, khususnya menyangkut pelayanan dan ketepatan waktu. Itu yang kami lakukan.
Berapa persen Lion memegang pangsa pasar penerbangan di Indonesia?
Saya pikir itu tidak menjadi penting, karena siapa yang punya armada banyak pasti dia angkut lebih banyak. Karena kan kita negara archipelago, negara kepulauan. Kalau orang buat armada banyak, ya nanti dia akan angkut banyak juga. Cuma memang dalam hal airlines kan ada banyak aturan. Banyak hal-hal yang tidak memudahkan untuk mendatangkan armada. Dalam kapasitas itu tidak mudah. Tidak sesederhana moda transportasi lain.
Berapa total armada yang dimiliki Lion?
Lion punya 130 armada, tidak termasuk Batik dan Wings. Kalau Lion Group pesawatnya sudah 250 armada termasuk yang di Thailand dan Malaysia.
Kalau kita kaitkan dengan demo dan pemecatan pilot belakangan, apakah ada penurunan jumlah penumpang?
Kalau dengan masalah yang terjadi, sejauh ini penumpang kami masih jalan terus. Kita belum melihat ada data yang signifikan terkait itu. Jadi kembali lagi, masalahnya masyarakat tetap membutuhkan alat transportasi dan kita tetap berusaha perbaiki.
Bisa Anda jelaskan soal pemecatan pilot?
Tidak, saya tidak mau jawab itu. Biarkan saja apa yang menjadi ketentuan di negara ini berjalan, karena sebenarnya itu tidak layak dipolemikkan.
Anda bilang penumpang terus jalan. Maksud Anda pemecatan pilot tidak ada dampak?
Kalau saya bilang tidak, orang akan punya penilaian pro, kontra, atau netral. Itu kan sama seperti ketika kami -duh jadi ngomong kan saya- ajukan yang berkompeten (Dirjen Perhubungan Udara) ke lembaga hukum (Bareskrim Mabes Polri). Karena kami punya kepentingan dengan para investor. Bukan semata-mata hubungan kami dengan mereka, tapi investor minta kepastian. Sebenarnya ada apa sih? Apa memang ada yang jeblok?
Berarti kan kami harus ke lembaga yang kompeten. Itu yang terjadi. Bukan kami menginginkan konfrontasi dengan pegawai. Tapi investor kami, lembaga keuangan, mitra kami, mereka bertanya,"Whats wrong?"
Jadi tidak sekadar hanya orang mengatakan,”Oh..., ini pegawainya diadukan". Bukan seperti itu. Sebab waktu itu lembaga teknisnya (Dirjen Perhubungan Udara-DPU) juga langsung memberikan hukuman. Jadi ke mana kami? Padahal waktu itu, kami berharap perhubungan (DPU) yang lebih dulu mengklarifikasi, menetralisir dan menyatakan sikap. Kalau perlu bahkan dia menjewer orang yang dia keluarkan sertifikasinya. Tapi ternyata tidak. Kan kita langsung dihajar. Lalu ke mana kita pergi?
Jadi ya seperti itu. Hanya saya tak mau berbicara lebih dalam. Biarlah itu berjalan seperti apa adanya. Mereka (pilot) kan profesi. Kalau di luar profesi memang mengikuti UU Nomor 13 (UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan). Tapi kan mereka profesional.
Apa benar ada pilot dikontrak sampai 20 tahun?
Saya tidak mau ngomong itu lagi.
Kalau memang ada kontrak, kan bisa saja para pilot itu tidak tanda tangan?
Ya begini. Namanya juga ikatan profesional. Bagaimana mungkin orang diminta tanda tangan dengan dipaksa? Memang mau? Lagian siapa yang berhak paksa? Tapi apa isi kontraknya kan harus dibaca. Tentunya kalau mau 100 tahun, 10 tahun, 5 tahun, tetap ada dasarnya.
Analoginya, apa beda kontrak apartemen dengan kontrak rumah? Kalau apartemen, pemilik minta jaminan. Kalau setuju ya tanda tangan, bayar. Kalau rumah, kadang tidak minta jaminan kan? Beda kan?
Nah, kalau misal Anda mau kontrak 30 tahun, pasti dia minta jaminan lebih banyak daripada kontrak tiga tahun. Anda mau ya tanda tangan. Jadi kalau menurut saya, bukan persoalan 20 tahun atau 1.000 tahun.
Maksud Anda, kalau mereka memang tidak mau, harusnya tidak ada tanda tangan?
Nah, intinya begitu karena profesional. Kalaupun ada sesuatu hal di dalam yang menurut mereka tidak lagi mengandung unsur ketidakprofesionalan, ya mereka tinggal keluar. Nah proses keluarnya kan juga mengandung apa yang disebut keprofesionalan juga kan? Pilihan ada pada mereka kan?
Artinya benar, kalau pilot mengingkari kontrak penaltinya bisa miliaran?
Lha sekarang kalau Anda meninggalkan rumah orang dengan dihancurkan, bayar nggak? Kan kita juga mengeluarkan biaya untuk mereka training? Kalau soal biaya kan relatif. Tidak mungkin tiba-tiba muncul angka Rp200 juta atau Rp500 miliar. Tidak ada yang tiba-tiba.
Boleh dong misalnya begini, saya biayain kamu sekolah, saya keluarin satu miliar. Lalu kita sepakat, minta kamu bekerja 10 tahun. Dalam 10 tahun itu saya hitung, kalau kamu jalani sampai selesai, ya kamu tak perlu balikin satu rupiah pun. Fair tidak? Fair dong.
Tapi kalau kamu tiba-tiba keluar sebelum jangka waktu 10 tahun, saya boleh bilang ganti Rp5 miliar. Sebab selama perjalanan 10 tahun, kalau kamu wanprestasi, dalam hitungan saya satu miliar itu sudah jadi lima miliar. Benar nggak? Tapi kalau kamu lakukan kewajibanmu, saya tidak ambil sepeserpun.
Jadi logika pihak Lion seperti itu?
Lha karena mereka datang dengan berbagai versi. Ada yang nol (pengalaman), ada yang sudah setengah atau seperempat. Jadi beda-beda. Kembali lagi itu soal kesepakatan. Sekarang contohnya, ada seorang dokter umum yang disekolahkan rumah sakit untuk menjadi spesialis. Boleh dong diikat kontrak oleh rumah sakit? Kalau ternyata training spesialisnya mahal, boleh nggak dibikin kontraknya 10 tahun? Kalau ternyata dia sekolah spesialisnya murah, boleh tidak dikontrak hanya 5 tahun? Kan ada diskusinya. Jadi sebenarnya seperti itu.
Jadi bagaimana kelanjutannya?
Sebenarnya saya sudah tidak mau membahas dengan mereka. Bagi saya, sudahlah kami kan lembaga, mereka perorangan. Mereka bisa baca, bukan buta huruf. Terus apa iya perikatan bisa semau kami? Kan enggak juga. Ketika itu kan mereka diberi kesempatan membaca. Setelah dibaca, mereka selalu yang duluan tanda tangan, setelah itu baru kami tanda tangan. Kalau dia tidak tanda tangan, ngapain kami tanda tangan?
Misalkan kamu datang, ya kamu duluan yang baca. "Ini lho, kita punya standar. Kamu baca dulu ya." Nanti kan ada jawaban dari kamu,"Oke, saya setuju” Atau,”Oke, tapi koreksi ini deh." Kalau sudah setuju ya kita koreksi, baru tanda tanda tangan. Ya kan?
Artinya, pihak Lion sudah mempertimbangkan dengan cermat memecat 14 pilot yang mogok pada 10 Mei 2016?
Jadi ada kepentingan yang lebih besar. Masa tega begitu sih? Kan semuanya rusak. Kami rugi material. Penumpang yang ditelantarkan juga rugi material. Pegawai kami juga harus berbenturan dengan penumpang. Kemudian negara juga rugi karena jelek di mata dunia.
Hal yang lebih parah, yang mereka omongkan adalah hal-hal yang silly. Berarti kan di balik itu ada agenda khusus. Kan dasar yang mereka sampaikan jadi aneh. Pertama, mereka bilang sedang dalam kondisi unfit. Kalau unfit ngapain dia ke daerah? Masa bisa barengan unfit sampai 17-20 orang? Kan berarti ada agenda.
Lalu mereka bilang, "Oh, itu kan kami terbang lagi." Lha untuk apa? Makanya sebenarnya yang namanya profesi harus diatur. Ada pemberitahuan. Kenapa kami bilang sabotase? Ya karena tak ada pemberitahuan. Kalau mau demo kan ada aturannya. Ini kan tidak ada laporan ke perusahaan, pemberitahuan juga tidak ada. Temannya yang tidak terbang menghasut. Menyebarkan berita yang tidak pada tempatnya.
Jadi kita bilang ini sabotase, bukan lagi demo. Kalau demo kan ada pemberitahuan. Kalau dibilang kami melarang mereka berorganisasi, itu salah karena sebagian pilot kami ada yang ikut asosiasi pilot di Malaysia. Berarti kan boleh.
Apalagi keberatan perusahaan?
Hal lain yang kami permasalahkan, kalau Anda pakai logo perusahaan, ya mbok kulonuwun. Jadi kalau pakai nama perusahaan, ya ngomong sama yang punya perusahaan atau manajemennya. Buktinya mereka tidak ngomong. Sekertariatnya ada di luar kantor. Kalau yang benar, organisasi yang merupakan kesepakatan kan di kantor, di alamat kantor. Lha ini sekretariatnya tidak tahu di mana. Yang kami permasalahkan, kenapa pakai logo Lion tanpa sepengetahuan dan seizin kami?Bukan masalah mau berorganisasi atau apa. Silahkan, bukan urusan kita.
Hal yang lebih seru lagi, mereka mengatasnamakan banyak pilot. Buktinya pilot kami banyak yang saat itu terbang. Dari 200 penerbangan pagi itu (10 Mei 2016), hanya 17 yang tidak terbang. Ketika kejadian kita kumpulkan. Ada kapten yang datang menyesali perbuatannya mengatakan, "Aduh, kami baru sadar yang kami lakukan tidak tepat." Ya sudah, kita bina. Mereka sekarang terbang lagi.
Yang mengaku menyesal 20-an lebih. Jadi jangan bilang dipaksa. Mereka itu sudah bapak-bapak, sudah dewasa, masa dipaksa? Sudah punya landasan hukum. Jadi sudahlah, kalau memang mereka mau keluar ya monggo. Jangan juga memperkeruh suasana menjadi lebih rumit. Tapi itu hak mereka mau mengemukakan hal apapun.
Berapa kerugian Lion akibat pemogokan pilot?
Saya tak mau mengatakan nominalnya karena sulit diukur. Kerugian material yang langsung mencapai puluhan miliar. Pertanyaannya, saya bisa gugat mereka, tapi apa kami lakukan? Atau mereka mau paksa kami lakukan? Sebab kita bisa buktikan bahwa dia tidak terbang kok. Itu faktanya ada. Makanya orang lembaga konsumen bilang, ulah mereka malpraktik karena tidak memenuhi unsur undang-undang tentang apa yang seharusnya mereka lakukan.
Makanya kami bilang sabotase. Kalau memenuhi aturan undang-undang, ya kita juga tahu itu. Tidak usah jauh-jauh. Anda mau demo ke Monas saja harus izin polisi dan kasih tahu siapa yang mau didemo. Paling tidak harus ada dua unsur itu. Lha ini tidak.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Kukuh Bhimo Nugroho