tirto.id - Saya menghabiskan siang bersama Myra Sadino, putri sulung Bob Sadino. Sosok Myra mengingatkan saya pada penampilan nyentrik bapaknya. Kami bersantap di Bob Bistro, yang ada di dalam Kem Chicks Kemang, toko swalayan yang didirikan Bob.
Sepiring chicken wings jadi menu makanan pembuka kami. Sesaat setelah pelayan menaruh piring di atas meja, ingatan Myra tertuju pada tempat kami duduk yang dulu merupakan rumahnya. Waktu itu akhir 1970-an dan Myra tinggal di sebuah rumah yang menyambung dengan toko penjualan telur ayam broiler.
Bob membeli tanah di Kemang pada akhir 1960-an. Lokasi tersebut masih hijau, sepi, dan dekat dengan tempat tinggal anggota keluarga besar Bob. Di kawasanyang telah dihuni sejumlah ekspatriat ini, Bob memutuskan untuk berjualan telur ayam broiler.
Saat itu, telur dari jenis ayam tersebut sulit didapat. Bob meminta bantuan seorang kawan yang menetap di Belanda untuk memberinya sejumlah ayam broiler guna diternakkan.
Setiap pagi, Bob bersama isteri mengantar telur-telur ke sejumlah rumah ekspatriat yang tinggal di Kemang menggunakan sepeda. Jumlah pelanggan dan pesanan terus bertambah. Ketika mobil Datsun masuk ke Indonesia, Bob membeli tipe mobil pick up untuk mengantar telur-telur ayam broiler tersebut ke rumah kliennya.
“Bapak dulu selalu menyebut toko kami sebagai warung,” kata Myra. Warung itu kini telah menjadi salah satu supermarket yang menjual berbagai jenis barang impor harga premium dan jarang ditemui di supermarket lokal. Myra mengeluh sejenak dan berkata bahwa kini barang-barang yang ada sudah tidak seistimewa dulu. Terutama sejak sang ayah meninggal pada 19 Januari 2015, tepat hari ini tiga tahun lalu.
Kami berbincang di deretan kursi yang sama dengan tempat Bob menghabiskan hari-hari selagi masih hidup. Tepat duduk Bob kini tak ubahnya kursi makan biasa bagi pengunjung bistro yang mayoritas orang asing. “Ada yang hilang sejak dia pergi. Tidak ada lagi yang menyapa para tamu. Jiwa tempat ini terasa berbeda,” tutur Myra.
Foto-foto Bob dan sejumlah kata motivasi yang pernah ia ungkapkan dipajang pada berbagai sisi dinding. Rangka-rangka kayu yang jadi langit-langit restoran masih mengingatkan saya pada potret Kem Chicks zaman 1970-an.
Nuansa restoran itu turut menyiratkan kecintaan Bob pada berkuda. Ia tidak melakukan olahraga ini sejak muda. Ketika Santi, puteri keduanya, menekuni profesi sebagai atlet berkuda, Bob lantas mencoba olahraga tersebut. Untuk anaknya, ia mendirikan stable di halaman rumah seluas 2,5 hektar yang terletak di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Setelah Kem Chicks kian membesar, Bob membeli tanah di kawasan Lebak Bulus untuk jadi rumahnya. Di sana ia sempat memelihara delapan kuda. Di waktu luang, Bob mengasah keterampilan menunggang kuda. Ia kerap terjatuh dan terluka. Tapi toh tak membuatnya kapok. Momen jatuh itu terkesan ringan bila dibandingkan dengan hal yang pernah dilaluinya dulu.