tirto.id - Aksi massa pendemo yang mengepung peserta “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” di gedung LBH Jakarta, Minggu (17/9/2017) berakhir ricuh. Mereka mulai mendorong aparat kepolisian dengan pentungan dan lemparan batu dan botol-botol bekas. Untuk mendorong mundur kerumunan massa tersebut, polisi menembakkan water canon dan gas air mata.
Baca juga:
- Aksi Demo di LBH Jakarta Berakhir Ricuh
- Yang Terjadi di LBH Sebelum dan Sesudah Massa Pendemo
- Kronologi Penyerangan Kantor LBH Jakarta
Karena beberapa efek kesehatan, penggunaan gas air mata kerap menuai kontroversi. Penggunaannya dilarang di zona peperangan, tapi tetap diperbolehkan untuk mengendalikan massa warga sipil.
Sebenarnya apa itu gas air mata dan bagaimana efeknya terhadap kesehatan?
Gas air mata secara formal diistilahkan sebagai agen lachrymator, dan juga sering dikenal dalam istilah mace. Istilah tersebut berasal dari bahasa Latin "lacrima," yang berarti ar mata.
Gas air mata sebenarnya bukan gas. Bentuknya solid, tepatnya serbuk bertekanan tinggi yang dikemas dalam kaleng. Saat ditembakkan atau diaktifkan, serbuk ini akan menyebar dan menggantung di udara dengan kepadatan yang tinggi. Serbuk ini akan berikatan dengan kandungan air yang terdapat di mata, kulit, dan tenggorokan sasarannya.
Agen lachrymator sendiri termasuk dalam senjata kimia yang dapat menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan bagian pernapasan. Hal ini terkait dengan komposisinya, yaitu pepper spray (OC gas), chlorobenzylidene malononitrile atau yang dikenal sebagai gas CS, gas CR , gas CN (phenacyl chloride), nonivamide, bromoacetone, xylyl bromide, syn-propanethial-S-oxide dan mace.
Gas air mata bekerja dengan cara mengiritasi selaput lendir di mata, hidung, mulut dan paru-paru, dan menyebabkan tangisan, bersin, batuk, sulit bernapas, nyeri di mata, dan kebutaan sementara.
“Gejala tersebut dimulai dari 20 sampai 30 detik pertama setelah terpapar, namun dapat normal kembali sekitar 10 menit kemudian setelah orang yang terpapar tersebut dapat menemukan udara segar,” kata Neil Gibson, seorang analis IHS Jane's, sebuah publikasi intelijen dan keamanan, seperti dikutip BBC.
Craig Rothenberg dalam penelitiannya yang berjudul "Tear Gas: an Epidemiological and Mechanistic Reassessment" yang dipublikasikan tahun 2016 menyatakan bahwa penyebaran gas air mata yang mulai dilakukan dengan menggunakan drone di beberapa kerusuhan di kawasan Amerika Serikat telah menyebabkan beberapa risiko kesehatan. Studinya mengungkapkan bahwa gas air mata dapat menyebabkan cedera paru-paru, kulit, mata, serta risiko mengalami komplikasi.
“TRPV1 dan TRPA1 yang bekerja dalam gas air mata dapat melokalisasi neuron sensorik penginderaan sensoris rasa sakit dan dapat menyebabkan nyeri akut, batuk, asma, cedera paru-paru-paru, dermatitis, gatal, dan neurodegenerasi,” jelas Rothenberg dalam risetnya.
Secara umum, tidak ada obat penyembuh khusus untuk gas air mata. Namun, untuk mengurangi paparannya bisa dilakukan dengan melepaskan segala hal yang terpapar dan terkontaminasi oleh bahan kimia ini, seperti pakaian, kacamata, lensa kontak, sarung tangan. Untuk mengurangi iritasi pada mata, dapat digunakan diphoterine, larutan yang bisa membantu mengatasi paparan gas air mata.
Menurut Zack Williams, peneliti dari University Hospitals Birmingham NHS Foundation Trust, Inggris Raya, dalam risetnya, diphoterinetelah digunakan secara global sebagai agen pertolongan pertama.
“Diphoterine adalah agen untuk pengobatan karena iritasi bahan-bahan kimia dan dengan cepat menetralisir asam dan alkali lebih cepat dibanding air saja,” jelas Williams.
Baca juga:
Biasanya, gas air mata digunakan dalam mengendalikan masa/huru-hara dan pelatihan angkatan bersenjata (berlatih dengan masker gas). Karena efeknya yang berpengaruh pada kesehatan dan berdampak langsung ketika terpapar, penggunaan gas air mata dilarang dalam peperangan.
Gas air mata juga tidak diizinkan penggunaannya dalam peperangan, seperti halnya senjata kimia lain, oleh berbagai perjanjian internasional, salah satunya oleh Chemical Weapons Convention Egypt. Ganeva Protocol juga melarangnya.
"Efeknya sangat berbeda dalam dosis tinggi, meski risikonya tidak parah pada konsentrasi yang lebih rendah,” kata Neil Gibson.
Risiko dalam dosis tinggi tersebut bisa terjadi jika gas air mata ditembakkan di tempat-tempat lebih kecil dan dalam jangka waktu lama. Namun, terlepas dari konsekuensi tersebut, penggunaan gas air mata ini umumnya ditujukan untuk meminimalisasi kerusuhan dengan senjata yang lebih mematikan.
"Penggunaannya [gas air mata] adalah untuk menghindari penggunaan peluru fisik atau peluru yang lebih fisik [amunisi]," kata Alastair Hay, profesor toksikologi lingkungan di University of Leeds.
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani