tirto.id - Tepat tiga tahun lalu Kim Jong-nam menemui ajal. Ia mengira Bandara Internasional Kuala Lumpur, Malaysia, adalah tempat transit sebelum melanjutkan perjalanan ke Pulau Langkawi. Yang ia tidak tahu: di sanalah ia diracun oleh terduga agen rahasia Korea Utara.
Jong-nam adalah hasil hubungan rahasia dari mantan pemimpin tertinggi Korut, Kim Jong-il, dan janda sekaligus aktris utama di North Korea Film Studio, Song Hye Rim. Meski demikian, ia diproyeksikan untuk meneruskan estafet kepemimpinan ayahnya.
Setelah merampungkan pendidikan di luar negeri, Jong-nam muda balik ke Korut untuk menempati sejumlah pos penting di tubuh partai dan pemerintahan.
Keputusan Jong-il berbalik 180 derajat saat Jong-nam menampilkan sifat urakan, bergaya hidup glamor, playboy, serta gemar melancong ke luar negeri. Ia berkali-kali ketahuan memalsukan paspor, dideportasi dari negara tetangga, menjalin relasi tidak sehat dengan sejumlah perempuan.
Namun, yang lebih berbahaya dari semua itu adalah harapannya mengenai proses demokratisasi di Korut. Jong-nam kritis terhadap pemerintahan Korut terutama atas sistem otoritarianisme.
Pada 2012, setahun setelah Korut dipimpin adik tiri Jong-nam, Kim Jong-un, buku berjudul My Father, Kim Jong-il, and Me terbit di pasaran. Buku ini ditulis oleh jurnalis Jepang Yoji Gomi yang mewawancarai Jong-nam dalam beberapa kesempatan. Di dalamnya Jong-nam menyatakan harapan atas tumbangnya kekuasaan Jong-un yang dianggapnya terlalu muda dan belum berpengalaman.
“Tanpa reformasi, Korea Utara akan kolaps, dan saat itu terjadi, rezim juga akan tumbang,” ujarnya.
Jong-nam otomatis dicap pembangkang dan dijadikan target oleh agen rahasia Korut. Otoritas Korea Selatan melaporkan membekuk terduga agen Pyongyang bernama Kim Yong-su pada Juli 2010, yang mengaku akan melancarkan serangan terhadap Jong-nam.
Status Jong-nam sebenarnya cukup aman karena terbiasa hidup sebagai eksil. Terakhir ia dikabarkan tinggal bersama istri dan anaknya di Makau, Cina bagian selatan. Hobi melancong masih ia jalankan, tapi rupanya turut dipakai Pyongyang sebagai kesempatan untuk melancarkan aksi pembunuhan.
Lokasinya terdeteksi di aula keberangkatan Bandara Internasional Kuala Lumpur, sekitar pukul 08.20, pada 13 Februari 2017. Dua perempuan terekam kamera bergerak ke arah Jong-nam, beberapa langkah dari kafe Starbucks, dan salah satunya berdiri di depan Jong-nam untuk mengalihkan perhatian.
Seorang komplotannya mendekat dari belakang, menarik kain yang telah dibasahi racun dari tas tangan biru, dan menerpakannya ke wajah Jong-nam.
Jong-nam seketika lumpuh. Ia dibawa ke Menara Medical Clinic, berada satu lantai di bawah area kedatangan bandara. Jong-nam meninggal di ambulans dalam perjalanan menuju Putrajaya Hospital, merujuk laporan Reuters.
Jejak Berdarah I – Korea Selatan
Plot pembunuhan yang rapi itu segera dicurigai sebagai ulah agen rahasia Pyongyang yang memanfaatkan dua perempuan asal Indonesia dan Vietnam, Siti Aisyah dan Doan Thi Huong, atas nama prank.
Jika benar demikian, aksi di atas sebenarnya bukan pertama kali. Merujuk catatan Guardian, menyingkirkan para pembelot adalah kebijakan Korut sejak 1960-an. Lokasi di luar negeri tak jadi penghalang.
Park Chung-hee adalah Presiden Korsel sejak 24 Mei 1962 hingga 26 Oktober 1979. Pada masa yang sama, Korut dipimpin oleh Kim Il-sung. Setidaknya dua kali Il-sung pernah mengirim agen rahasianya untuk menghabisi nyawa Chung-hee. Kedua upaya itu gagal.
Percobaan pertama terjadi pada 1968: 31 agen rahasia Pyongyang diterjunkan untuk menyerbu ke rumah presiden Korsel, disebut Blue House, di Seoul.
Awalnya, ke-31 agen Pyongyang itu bersembunyi di area pegunungan dekat Blue House. Sayangnya, keberadaan mereka ketahuan oleh sejumlah warga sipil.
Warga sipil itu kemudian ditangkap. Namun, alih-alih dibunuh, mereka justru dikuliahi agen Pyongyang tentang komunisme. Mereka kemudian dibebaskan begitu saja dengan syarat tutup mulut mengenai keberadaan ke-31 agen Pyongyang.
Langkah itu menjadi blunder karena warga langsung melapor ke polisi dan petugas keamanan lokal. Perburuan ke-31 agen Pyongyang segera dijalankan bersama pihak militer Korsel.
Namun, agen Pyongyang punya kemampuan kamuflase yang baik. Mereka memasuki area Blue House dengan memakai seragam tentara Korsel, bahkan ikut berbaris memasuki area kediaman presiden.
Kamuflase hanya efektif hingga jarak 100 meter dari kediaman sang presiden. Tentara Korsel yang curiga menginterogasi mereka. Situasi tiba-tiba berubah mencekam. Terjadi aksi saling tembak.
Ada beberapa agen yang berhasil meloloskan diri. Sebagian berakhir dengan dua nasib: terbunuh atau bunuh diri saat mencoba kembali ke daerah Utara. Presiden Park Chong-hee selamat, tapi aksi tembak-menembak menewaskan 90 personel keamanan Korsel plus beberapa warga sipil.
Percobaan pembunuhan kedua terjadi pada 1974. Pelakunya adalah Mun Se-gwang, warga Jepang pendukung Korut. Ia melakukan aksi penembakan kepada Chung-hee dengan sepucuk revolver. Presiden selamat, tapi istrinya, Yuk Yung-soo, terkena peluru dan meninggal di tempat.
Pada 1997 terjadi aksi pembunuhan terhadap pembelot dari keluarga Kim: Yi Han-yong, keponakan ibu Kim Jong-nam. Ia ditembak mati di luar rumahnya di Seoul. Diduga pelaku adalah agen rahasia Korut sebab Han-yong mempublikasikan buku tentang kehidupan pribadi Jong-nam.
Contoh usaha pembunuhan yang gagal, misalnya, terjadi pada Oktober 2010. Dua agen Korut yang berpura-pura menjadi pembelot ditangkap otoritas Korsel karena merencanakan pembunuhan Hwang Jang-yop, mantan sekretaris Partai Pekerja Korut yang pernah dibimbing langsung oleh Kim Jong-il dan membelot pada 1997.
Jejak Berdarah II – Di Mana-Mana
BBC News melaporkan aksi-aksi berdarah lain yang dilakukan Korut di luar Semenanjung Korea. Pada 1983, misalnya, agen Pyongyang membunuh 21 orang termasuk empat menteri kabinet Korsel dalam serangan bom di Yangoon, Myanmar.
Kejadian ini bertajuk "Myanmar Berdarah". Target utamanya Presiden Korsel Chun Doo-hwan. Ia gagal dibunuh karena bom meledak terlalu cepat. Tiga pelaku kabur; satu terbunuh, dua lain tertangkap.
Contoh lain terjadi pada 1996 di Vladivostok, Rusia. Korbannya diplomat Korsel Choi Duk-ken yang dipukul sampai mati. Aksi ini, menurut media Korsel, adalah aksi balas dendam atas kematian 25 awak kapal selam Korut yang tenggelam saat memasuki perairan Korsel.
Di antara sekian banyak kasus, tragedi pesawat Korean Air Flight 858 pada 1987 adalah yang paling banyak memakan korban. Pesawat saat itu sedang dalam perjalanan dari Baghdad ke Seoul, lalu meledak di atas Laut Andaman. Total ada 115 penumpang pesawat yang meninggal.
Kedua pelaku pemboman dilacak hingga ke Bahrain. Di sana seorang agen rahasia Korut memilih bunuh diri dengan menelan kapsul sianida yang disembunyikan dalam sebatang rokok saat akan dibawa ke rumah tahanan. Agen lain, Kim Hyo-hee, ditangkap saat dalam perjalanan menuju Korsel.
Pembunuhan warga tak bersalah oleh agen Pyongyang kadang terjadi akibat aksi penculikan. Kasusnya marak pada era 1970-1980-an. Korut mengaku pernah menculik sejumlah warga Jepang untuk melatih agen-agen rahasianya tentang kebudayaan dan bahasa Jepang.
Sejumlah korban diculik saat berada di area perairan Jepang. Lainnya di luar negeri. Korban paling muda adalah seorang gadis berusia satu tahun yang diculik dalam perjalanan pulang dari sekolahnya pada 1977.
Pyongyang telah mengembalikan lima dari seluruh korban. Delapan lain diklaim telah meninggal. Jepang tak percaya klaim ini. Mereka menuduh agen Pyongyang menculik lebih banyak orang dari yang selama ini dilaporkan media maupun pemerintah Korea Utara.
Editor: Windu Jusuf