Menuju konten utama

Menyingkap Fakta Husband Stitch: Istilah Sumir dalam Dunia Medis

Tidak semua informasi yang terkesan merugikan perempuan adalah benar. Kita perlu menelaah lebih lanjut, alih-alih terprovokasi dan menggulirkan bola panas.

Menyingkap Fakta Husband Stitch: Istilah Sumir dalam Dunia Medis
Ilustrasi Wanita Husband Stitch pasca melahirkan. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Bayangkan Anda sebagai perempuan tengah kepayahan menahan rasa sakit-mulas saat pembukaan persalinan. Begitu si bayi lahir, Anda pikir perjuangan di fase itu telah berakhir, tapi ternyata tenaga kesehatan memutuskan memberi jahitan lebih pada vagina Anda demi kepuasan seksual suami.

Anda belum juga usai memberi Inisiasi Menyusui Dini (IMD) yang menjadi hak pertama si buah hati. Namun, kepentingan “seksualitas” para laki-laki seolah menyerobot dan menjadikan proses sakral persalinan tak lebih penting dari hasrat mereka.

Membaca narasi seperti itu rasanya ingin marah saja. Perempuan lagi-lagi seakan menjadi korban dari ego laki-laki lewat praktik husband stitch. Pembahasan ini sempat ramai diperbincangkan di berbagai platform media sosial karena beberapa perempuan mengamini diri sebagai korban dari praktik husband stitch.

Di sisi lain, para tenaga kesehatan menolak istilah dan tindakan tersebut. Bisa jadi ada gap informasi antara nakes dan pasien sehingga mereka saling menepis argumen satu sama lain. Karena itu, artikel ini akan mengupas cerita dari kedua sisi untuk menemukan celah misinformasi yang jadi perdebatan panas selama beberapa waktu belakang.

Kurnia Rachmawati, seorang ibu berusia 32 tahun, yakin seyakin-yakinnya telah menjadi salah satu korban praktik husband stitch oleh seorang bidan. Ceritanya bermula saat dia melahirkan anak kedua pada September 2021 lalu.

Saat itu, memang ada kemungkinan sobek karena banyak faktor. Mengejan terlalu kencang, banyak gerak, atau tidak sengaja pinggul naik,” kata Nia. Pada persalinan anak pertama, Nia juga pernah menerima jahitan sebanyak tiga kali.

Karena itulah, Nia tahu ambang sakitnya tidak mentolerir nyeri jahitan pascapersalinan pervaginam. Pada persalinan kedua, Nia sudah mewanti-wanti bidan penolongnya agar membuatnya lebih rileks. Tapi, ternyata dia justru mendapat trauma ganda.

Tidak ada komunikasi dan kesepakatan terkait jahitan jalan lahir, sampai kemudian Nia bertanya perihal tindakan itu. Bidan mengatakan dia akan mendapat dua jahitan. Saat dijahit, dia bisa merasakan sakitnya jarum menusuk kulit dan nyeri benang ketika ditarik.

Nia sempat minta anastesi atau setidaknya diberi waktu jeda untuk menarik napas, menenangkan dan mempersiapkan diri, namun ditolak.

Nggak, nggak. Yang ikhlas, Mbak. Ini dijahit biar hasilnya bagus, nanti suami suka.”

Nia sebetulnya tidak tahu pasti, apakah provider persalinannya menjalankan praktik husband stitch. Tapi, kalimat si bidan membikin asumsinya mengarah ke sana. Ditambah, sampai sekarang, dia selalu merasa “tak nyaman” setiap kali berhubungan seksual.

Ketika penetrasi, awal-awal rasanya nyeri. Sekarang tidak nyaman karena seperti ada simpul yang mengganjal, mengganggu,” aku Nia.

Tak Ada Bonus Jahitan dalam Dunia Medis

Husband stitch atau daddy stitch dimaknai secara harfiah sebagai jahitan tambahan pada persalinan pervaginam. Beberapa literatur menyebut “bonus” jahitan itu bertujuan untuk mengencangkan vagina seperti kondisisebelum melahirkan sehingga meningkatkan kenikmatan pria saat berhubungan seksual.

Prosedur ini kabarnya diinisiasi pria sebagai pasangan dan tenaga kesehatan, tanpa melibatkan persetujuan perempuan sebagai pasien. Namun sejauh ini, tidak ada penelitian atau dokumen medis yang memverifikasi jumlah korban atau setidaknya kebenaran dari isu medis ini.

Yassin Yanuar, dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang aktif memberi edukasi soal reproduksi, mengamini bahwa istilah husband stitchsebenarnya tidak ada dalam dunia medis. Menurutnya, tak ada istilah maupun tindakan medis legal yang menjurus kepada definisi husband stitch.

Ini imajinatif sekali. Prinsip kami (tenaga kesehatan) itu ‘tidak melukai’ dan membuat kualitas hidup ibu menjadi baik. Istilah ini sudah menyalahi semua prinsip,” tepis Yassin dalam siaran langsung di media sosialnya.

Tenaga kesehatan hanya akan menjahit robekan jalan lahir dengan tujuan meminimalisasi komplikasi persalinan atau pendarahan. Bahkan ketika hanya terjadi robekan minor, mereka tak akan melakukan intervensi jahitan.

Robekan tak terkontrol saat persalinan perlu dijahit agar kerusakan jaringan kulit tidak menyebar. Dengan menyejajarkan robekan kulit, upaya penyembuhan alami akan berjalan lebih cepat. Sebaliknya jika terdapat renggangan, tarikan kulit akan terganggu dan membikin pendarahan.

Hal-hal semacam ini tampak nyata di media sosial, tapi faktanya tidak ada,” tegas Yassin.

Infografik Husband Stitch

Infografik Husband Stitch. tirto.id/Quita

Keterangan Yassin Yanuar itu diamini pula oleh Bidan Yesie Aprilia, pelatih gentle birth sekaligus pemilik Klinik Bidan Kita. Sulit baginya memvalidasi dugaan praktik husband stitch karena istilah ini sangat sumir dalam dunia medis.

Sebenarnya ini bukanlah prosedur tetap ataupun prosedur yang dianjurkan,” jawabnya merespons pertanyaan dari Tirto.

Jika pun benar praktik itu terjadi dan memakan korban, Yesie mengatakan bahwa tenaga kesehatan yang memfasilitasi tindakan itu bisa masuk kategori malapraktik. Ketika dilakukan tanpa persetujuan pasien, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan seksual pada perempuan.

Namun, lantaran belum ada bukti ilmiah yang memperkuat dugaan praktik husband stitch, kita tak bisa meletakkan sebuah isu medis sebagai perdebatan panjang. Apalagi menambah informasi tersebut dengan bumbu sentimental terhadap gender tertentu—dalam hal ini laki-laki.

Rasanya tidak adil ketika mereka harus menanggung hujatan akibat kesalahan yang belum tentu dilakukan. Yang dapat diperbaiki saat ini adalah cara berkomunikasi antara tenaga kesehatan kepada pasien, begitu juga sebaliknya.

Bidan Yesie menyarankan sebelum tindakan, pasien harus memastikan semua prosedur dilakukan dengan persetujuan. Tak luput, nakes juga haris mawas diri agar tidak mengeluarkan kalimat provokatif, misoginis, dan melecehkan saat membantu persalinan.

Ketika provider persalinan mengatakan hal semacam cerita Nia, sejatinya bukan salah pasien juga jika berpikir telah menjadi korban. Alih-alih bilang “supaya suami suka”, nakes mestinya memberi sugesti positif supaya pasien jadi tenang dalam persalinan dan seluruh tindakan turunannya.

Baca juga artikel terkait MELAHIRKAN atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Fadrik Aziz Firdausi