Menuju konten utama

Menyeret Kasus Pembakaran Bendera ke Reuni 212 & Imbas Politiknya

Sikap GP Ansor dan Banser yang enggan meminta maaf dinilai akan merugikan posisi politik Jokowi.

Menyeret Kasus Pembakaran Bendera ke Reuni 212 & Imbas Politiknya
Massa dari Persaudaraan Alumni 212 melakukan aksi damai di Depan Gedung Bareskrim Mabes Polri, Gambir, Jakarta, Jum'at (6/4/2018). ANTARA FOTO/ Reno Esnir

tirto.id - Reuni Akbar 212 yang tahun lalu dihadiri sekitar 300 organisasi massa Islam kemungkinan terulang lagi di awal Desember tahun ini. Kasus pembakaran bendera dan ikat kepala yang dilakukan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) saat peringatan Hari Santri di Garut, Jawa Barat akan diseret ke acara reuni.

Ormas yang hadir dalam Reuni Akbar 212, antara lain Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), GNPF-MUI, Parmusi, Bang Japar, PPMI, PA 212, dan Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Di dalam acara tersebut, tokoh-tokoh pendukung gerakan 212 juga ikut hadir.

Novel Bamukmin, panitia Reuni Akbar Alumni 212 menyatakan ada kemungkinan masalah pembakaran bendera dibahas. Sebab menurutnya peristiwa tersebut menyinggung umat Islam serupa kasus Ahok.

“Bisa saja nanti [kasus pembakaran bendera] masuk dalam orasi-orasi para ulama dan habaib,” tegas Novel dihubungi reporter Tirto, Kamis (25/10/2018).

Menurut Novel pihaknya juga akan memeriahkan reuni 212 dengan mengibarkan ratusan ribu atau bahkan jutaan bendera Ar-Rayah dan Al-Liwa yang bertuliskan kalimat tauhid. Bagi Novel, bendera dan ikat kepala yang dibakar anggota Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama (NU) atau paramiliter Gerakan Pemuda (GP) Ansor, bukanlah atribut Ormas yang dilarang pemerintah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) melainkan bendera bertuliskan tauhid.

“Tidak ada bendera HTI karena HTI tidak punya bendera karena hanya kebetulan bendera Ar-Rayah dan Al-Liwa orang-orang HTI yang sering bawa. Untuk itu kami menyerukan satu bendera tauhid dibakar, maka kibarkan jutaan bendera tauhid di manapun, kapan pun,” ujarnya.

Bukan Cuma Bendera HTI

Novel Bamukmin menyayangkan tindakan Polda Jawa Barat yang meloloskan ketiga pelaku yang terlibat pembakaran bendera tersebut. Menurut Novel, seharusnya polisi tidak hanya menyatakan bahwa bendera dalam rekaman video kasus pembakaran itu adalah atribut HTI, tetapi membuktikannya.

“Dengan polisi tidak menetapkan [tersangka] pembakar bendera tauhid maka sama saja mendukung pembakaran bendera-bendera Tauhid dengan alasan pembakaran bendera HTI,” tegas Novel.

Pendapat Novel ini senada dengan Ketua Prodi Pascasarjana kajian Timur Tengah Universitas Indonesia Yon Machmudi. Bagi Yon, seharusnya aparat penegak hukum bisa membedakan bendera agama dengan bendera organisasi.

“Tidak bisa diklaim itu benderanya Hizbut Tahrir karena awalnya kan bersikap netral, lalu dipopulerkan oleh kelompok Hizbut Tahrir,” kata Yon.

“Harus dibedakan. Tidak serta-merta ini bendera mengacu pada kelompok terlarang, garis keras, dan sebagainya,” imbuhnya.

Yon menjelaskan, tidak hanya HTI saja yang menggunakan bendera dengan Tulisan tauhid tersebut, tetapi juga ISIS, Taliban, dan kelompok Islam lainnya. Masalahnya bendera bertuliskan kalimat Tauhid juga menjadi simbol perlawanan.

“Harusnya dilihat ada kaitan atau tidak antara pemegang bendera dengan benderanya. Kalau orang biasa tidak ada kaitan ideologi ya itu bendera global, universal, bendera agama Islam. Kalau memang ada kelompoknya, tentu identik dengan kelompok bersangkutan,” jelasnya.

Infografik CI Pembakaran Bendera di Garut

Pengajar Jurusan Hubungan Internasional Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Robi Sugara setuju bahwa bendera berkalimat Tauhid itu sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Namun masih menjadi perdebatan soal bentuk tulisan dan warna bendera kala itu.

Robi justru berpendapat bendera tersebut identik dengan HTI. Sebab bila diperhatikan dengan saksama, maka ada kekhasan penulisan pada bendera tersebut.

“Ya ini dimiliki dalam sejarah konteks negara Islam. Tapi masalahnya setiap acara, HTI selalu menggunakan itu, benderanya. Jadi memang dilematisnya begitu, perdebatan di publik kan antara tauhid atau HTI,” kata Robi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (24/10/2018).

“Jadi menurutku itu satu-satunya versi yang digunakan HTI. Jadi itu milik HTI,” imbuhnya.

Misi Politis Reuni Akbar 212

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menyampaikan jika masalah berlanjut panjang sampai pada bahasan di Reuni Akbar 212, maka kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno akan mendapat keuntungan elektoral pada Pilpres 2019.

“Karena seperti kita tahu, oknum Banser yang bakar bendera merupakan keluarga besar NU di mana NU kan mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin,” ucap Ujang kepada reporter Tirto.

Sedangkan Dosen Ilmu Politik Universitas Negeri Jakarta Ubeidilah Badrun mengatakan, isu anti Islam bisa kembali disematkan kepada Jokowi. Masalahnya, menurut Ubeidilah Jokowi belum menunjukkan sikap untuk membereskan kekisruhan akibat pembakaran bendera.

“Kalau misal Pak Jokowi membiarkan perkara ini menjadi liar seperti sekarang. Itu akan muncul lagi sentimen anti Islam. Pandangan sebagian umat akan menguat kembali bahwa Jokowi anti Islam karena membiarkan Banser tidak minta maaf,” kata Ubeidilah saat dihubungi reporter Tirto.

Bagi Ubeidilah, masalah ini baru selesai apabila Banser NU meminta maaf. Masalahnya pihak Banser NU, beserta Gerakan Pemuda Ansor dan PBNU justru merasa menjadi korban provokasi pembawa bendera HTI. Dengan begitu, Prabowo-Sandi tentu bisa mengambil keuntungan.

“Tindakan itu memperkeruh lah suasana pilpres itu menjadi terlalu simbolik dan masalah rakyat tidak jadi disentuh,” lanjut Ubeidilah. “Justru kalau Banser NU minta maaf, maka itu jadi poin baik bagi kubu Jokowi.”

Baca juga artikel terkait PEMBAKARAN BENDERA TAUHID atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Dieqy Hasbi Widhana