Menuju konten utama

Menyaksikan Pacarku Menang dan Kalah di Jogja Gelut Day (Bag. 2)

Lawan pacar saya di pertandingan kedua sangat meyakinkan. Jebolan sasana MMA profesional di Kota Solo. Hati saya berdebar.

Menyaksikan Pacarku Menang dan Kalah di Jogja Gelut Day (Bag. 2)
Atlet Tarung Bebas MMA (Mixed Martial Arts) tampak merintih kesakitan usai bagian kakinya cidera saat latihan rutin di SIAM Training Camp, Jakarta Selatan, Kamis (19/4/2018). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Artikel sebelumnya: Begini Rasanya Menonton Pacarku Gelut di Oktagon

Pukul 12.45 WIB panitia mulai membuka bagian registrasi. Dari tempat saya duduk, saya akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa saja para petarung yang akan berlaga. Salah seorang peserta berbadan agak bantet dengan rambut batikan mencuri perhatian saya.

Wajahnya sedikit panik sewaktu namanya dipanggil panitia. Ternyata, dia tidak lolos uji kesehatan karena tekanan darahnya tinggi. Panitia sempat memberinya kesempatan beberapa kali sebelum keputusan final diambil. Saya menghitung waktu, lebih dari 15 menit berlalu dan pria itu masih tertawan di meja panitia. Keputusan akhir dibuat ketika registrasi ditutup: dia terpaksa gugur sebelum bertanding. Saya melihatnya balik badan, menjauh dari meja panitia dengan wajah kecewa.

Menjelang penutupan registrasi, situasi di barisan meja pendaftaran juga sempat memanas. Sejumlah nama peserta dipanggil untuk masuk ke arena tapi tak ada batang hidung yang nongol. Terakhir, ada dua nama yang dipanggil dan baru nongol tepat di detik-detik terakhir.

Salah seorang panitia, laki-laki, dengan suara yang amat lantang bahkan sempat berteriak, “Cepat!”

Saya jadi merasa sedang dimarahi senior meski bukan saya yang diteriaki. Omelan saya keluar waktu menyaksikan kejadian kecil ini. Bukan mengomeli panitianya tetapi mengomeli dua peserta yang datang terlambat.

“Sudah tahu mau tanding kok datangnya nggak dari tadi. Atlet mosok nggak disiplin," keluhku.

Karena masuk di kelas 70 kilogram, pacar saya ada di urutan kedua setelah kelas 65 kilogram. Jadi masih ada cukup waktu untuk pemanasan. Saya menyaksikan beberapa pendamping mengikatkan tali hand wrap ke para peserta yang akan bertanding. Kelihatan sangat caring. Saya ingin menirunya tapi karena nggak paham saya cuma nyengir kuda ke muka pacar. Sebaliknya, pacar saya kelihatan khusyuk mengikatkan tali yang membungkus telapak tangannya. Hati saya berdesir sewaktu melihatnya mengikatkan tali. Saya ingin mengelus pipinya tetapi saya tahan.

Sekitar pukul 14.15 WIB nama pacar saya dipanggil. Jantung saya mendadak mau copot. Panggilan itu sangat tiba-tiba hingga membuat pacar saya langsung berjingkat masuk ke dalam gedung tanpa membawa botol minum. Saya pun cuma bisa meneriakinya dari kejauhan.

“Semangat sayang!”

Persis sebelum pertandingan pertama dimulai, seorang kawan kami datang. Saya jadi makin bersemangat. Kami menonton melalui layar gawai. Saya harus menunggu sampai beberapa pertandingan selesai sebelum pacar saya masuk ke dalam oktagon. Begitu mendengar namanya dipanggil, saya seperti kesetrum.

Dari layar gawai yang kecil, saya menyaksikan dia bertarung. Saya cuma tahu dua teknik: jab dan strike. Dia memburu lawannya seperti orang kesetanan. Tidak sampai setengah menit, wasit menyatakan dia menang. Di luar gedung, saya menyambutnya dengan gembira. Pacar saya menang di pertandingan pertama dalam waktu yang sangat singkat dan tanpa pukulan balasan sama sekali. Tapi saya kemudian sadar, ada andil keberuntungan seorang pemula dalam kemenangannya. Lawannya sama sekali tak sepadan. Masih terlampau muda.

“Kenapa kamu bernafsu sekali tadi?”

“Aku pikir dia di awal tadi kelihatan meyakinkan.”

Infografik HL Indepth MMA Mixed Martial Arts

Infografik HL Indepth MMA Mixed Martial Arts

Setelah pertandingan pertama, kami sempat santai sebentar. Kami makan buah apel yang sudah saya potong kecil-kecil dan saya simpan di dalam kotak makan. Kawan kami bilang kami seperti orang sedang piknik dan saya tertawa. Tidak sampai satu jam, nama pacar saya kembali dipanggil.

Pertandingan kedua!

Lawan pacar saya di pertandingan kedua sangat meyakinkan. Jebolan sasana MMA profesional di Kota Solo. Hati saya berdebar. Sepanjang menonton pertandingan kedua, mulut saya komat-kamit: jangan sampai main ground!

Sebelum bertanding, berulang kali pacar saya mengungkap kecemasannya yang paling akut: dia tak bisa main bawah. Pacar saya punya keterampilan dasar bertarung dari pencak silat. Dia tahu rasanya dipukul dan pukulannya juga bertenaga.

Suatu kali saat pulang dari latihan muay thai, dia pernah bercerita kalau pukulannya dapat pujian dari pelatih. Wajahnya berseri-seri waktu menceritakannya. Berbeda saat menceritakan kalau dia tak bisa dan tak punya dasar jiu-jitsu. Keahliannya nol besar kalau soal kuncian.

Dua menit pertama telah lewat. Pacar saya masih berdiri tegak. Tetapi, entah ada angin apa dia tiba-tiba melayangkan tendangan hingga membuat lawannya terjatuh. Bukankah itu undangan untuk main ground? Saya sempat melihat dia melayangkan pukulan bertubi-tubi dengan kondisi lawan terjatuh. Tetapi setelah berontak dengan sengit, lawannya berhasil membalik situasi.

Dalam kondisi terkunci, jelas saja dia langsung tak berkutik. Sejurus kemudian, wasit memisahkan mereka kemudian mengangkat tangan lawannya tinggi-tinggi. Pacar saya kalah menjelang ronde pertama berakhir.

Di luar gedung, saya menyambut kedatangan pacar saya dengan canda tawa. Wajahnya sama sekali tak menyiratkan kesedihan. Dengan napas tersengal-sengal dan keringat bercucuran, dia mengaku puas dengan pertandingan kedua.

“Kekalahan yang nggak bikin malu,” katanya.

Kami mengobrol dengan seru setelahnya. Saya ajukan pertanyaan yang teramat penting: “Kenapa kamu menjatuhkan lawanmu padahal kamu tahu nggak bisa main bawah?” Dia bilang, sebenarnya dia berniat menunggangi lawannya kemudian memukuli wajahnya sampai KO. Tapi malah dia yang kalah karena gerakannya ragu-ragu.

Sekitar pukul empat sore, kami memutuskan untuk pulang. Di jalan dia terus mengoceh, tahun depan dia akan ikut lagi sambil menetapkan target.

“Tiga bulan sebelum pertandingan, aku harus sudah belajar Brazilian Jiu-jitsu,” katanya.

Saya mendengarkannya dengan welas asih. Kami mampir ke warmindo sebelum pulang ke rumah. Dia hanya memesan segelas es Good Day Freeze sedangkan saya memesan sepiring indomie goreng lengkap dengan telur. Perut saya keroncongan dan energi saya nyaris habis.

Meski dia yang bertanding, tetapi ternyata saya yang berakhir kelaparan. Tahun depan, saya tahu, kecemasan yang sama masih akan menyergap lagi. Tapi setahun waktu yang cukup untuk menyaksikan segala kemungkinan terjadi.

Baca juga artikel terkait MMA atau tulisan lainnya dari Ruhaeni Intan

tirto.id - Olahraga
Kontributor: Ruhaeni Intan
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Nuran Wibisono