tirto.id - Saya mematut diri di depan cermin. Rambut yang masih setengah basah saya biarkan tergerai. Topi warna hitam dengan tulisan One Pride MMA membuat penampilan saya sekilas tampak misterius. Sempurna. Siang itu saya hendak menemani kekasih saya bertarung di turnamen Jogja Gelut Day dan saya ingin terlihat cool dalam artian dingin dan angkuh tetapi juga santai.
Pukul 11.30 WIB saat matahari sedang terik-teriknya, kami memacu sepeda motor ke Jalan Kaliurang. Honda Genio saya menepi ke sepetak lahan terbuka tepat di seberang Rumah Makan Bale Roso. Sudah banyak sepeda motor terparkir sekalipun pertandingan baru akan dimulai sejam lagi. Setelah melepas helm, saya kembali memakai topi milik pacar saya itu, tetapi kali ini perasaan yang saya alami berbeda.
Nyali saya mendadak redup ketika melihat berderet laki-laki memakai celana pendek muay thai dengan lengan berotot. Penampilan mereka meyakinkan, layaknya petarung profesional. Tulisan One Pride MMA yang melekat di topi yang saya pakai justru membuat saya merasa segan. Jangan-jangan mereka tahu kalau pacar saya baru pertama kali mengikuti ajang gelut semacam ini. Setelah mendapat tempat duduk di pojok belakang, saya memutuskan untuk mencopot topi itu.
“Lho kenapa dicopot?” Pacar saya bertanya.
Sambil mengibaskan topi, saya berbohong. “Gerah.”
Belakangan saya sadar, keinginan untuk tampil dingin dan angkuh adalah cara saya untuk menutupi kecemasan. Dibesarkan oleh seorang kakek yang galak, sejak kecil saya sering menyaksikan kekerasan. Dari dua belas cucu kakek saya, hanya dua saja yang perempuan, dan saya salah satunya.
Saya tumbuh di antara para lelaki yang kerap dipukul, ditampar, dan kena gebuk. Meskipun saya sendiri tak pernah kena bogem, tapi memori saya merekam rasa sakit yang dialami sepupu-sepupu saya ketika mereka dididik dengan tangan yang mudah mengayunkan pukulan. Bayang-bayang kekerasan itu segera bangkit lagi saat pacar saya meminta izin untuk mengikuti pertandingan seni bela diri campuran, Jogja Gelut Day.
Sebetulnya, saya sudah was-was sejak pacar saya–yang memang telah rutin angkat beban setahun belakangan–mendadak ikut kelas muay thai. Pacar saya bukan atlet tarung profesional, tetapi dia disiplin dan punya kemauan keras. Sejak ikut kelas muay thai, dia bahkan nekad memotong tongkat sapu hanya untuk memukuli tulang keringnya.
“Untuk apa sih?”
“Ini supaya tendangan lebih keras.”
Saya mengajukan satu syarat untuk meloloskan izin: sebelum masuk oktagon harus punya BPJS Kesehatan. Sebetulnya, selama proses negosiasi, pacar saya sudah menjelaskan kalau peserta bakal dapat asuransi dari BPJS Ketenagakerjaan yang bisa dipakai untuk menanggung biaya pengobatan ketika terluka. Tapi saya bersikeras, saya tidak mau tahu, yang pasti petarung sejati tak akan bersilat lidah. Beberapa minggu kemudian, dia menepati janjinya.
Sambil memasang wajah angker, saya mengedarkan pandangan. Pertandingan siang itu diadakan di gedung bekas latihan gym. Area outdoor yang cukup luas dipasangi tenda untuk tempat duduk para peserta dan pendamping. Khusus babak penyisihan, pendamping tak boleh ikut masuk ke dalam gedung untuk menyaksikan pertandingan. Kami hanya diperbolehkan menonton melalui layanan live streaming via Zoom.
Saya tak paham bagaimana regulasinya, memang sempat kecewa sebab saya sudah berniat membawa pasukan: teman-teman perempuan saya untuk menonton. Saya penasaran dan ingin mendengar bagaimana pendapat mereka saat menyaksikan langsung dua orang berduel.
Di depan kami dan di samping kanan kiri kami, saya nyaris tak melihat ada perempuan. Saya duduk di tengah kerumunan laki-laki yang menunggu giliran untuk saling memukul. Ekspresi mereka beragam. Kebanyakan dari mereka datang bergerombol. Hanya ada beberapa yang datang berdua, termasuk saya dan pacar saya.
Sekelompok laki-laki yang duduk persis di depan kami asyik bergurau. Mereka bahkan menggelar karpet dan membawa aneka makanan, tiga di antaranya yang bisa saya ingat adalah pisang, telur rebus, dan nasi bungkus. Ketiganya makanan penambah energi. Badan mereka sebetulnya tergolong kecil tetapi berotot dengan dada bidang dan pinggul yang kecil.
Saya sangat yakin mereka atlet terlatih. Di antara para petarung ini, salah satunya adalah lawan pacar saya. Maka sembari menunggu registrasi dibuka, saya iseng bertanya. “Menurutmu, yang duduk di depan ini lawan kamu bukan?”
“Kalau yang kecil itu kayaknya enggak. Kalau yang pakai kaos abu-abu ini bisa jadi, masuk kelas 70 kilo,” katanya dengan suara berbisik.
Berat badan pacar saya 68 kilogram dengan tinggi 178 centimeter. Badannya yang jangkung bikin dia kelihatan ramping sekalipun berotot. Sedangkan, pria berkaos abu-abu yang dia maksud jauh lebih pendek dan lebih kekar. Saya membayangkan dengan badan sekekar itu, pukulannya pasti keras. Saya pun terkekeh meskipun diam-diam saya berdoa bukan dia yang jadi lawannya.
Perlahan kecemasan saya memudar. Saya mulai rileks setelah bisa mengenali situasi. Tetapi seperti nasib yang tak bisa ditebak, sejurus kemudian tengkuk leher saya kembali digerayangi kecemasan saat menyaksikan mobil ambulans merapat. Seorang pria turun dari mobil didampingi petugas medis, berjalan tergopoh-gopoh dengan kaki pincang. Kami menduga dia peserta yang bertarung tadi pagi.
“Kamu nanti berdoa nggak?” Pertanyaan itu refleks terlontar.
Pacar saya cuma tertawa.
Saya melirik tato pria berkumis di tangan kirinya. Itu Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang banyak digandrungi abang-abangan. Waktu awal-awal pacaran, saya tertawa melihat tatonya. Laki-laki mana yang mengabadikan wajah Nietzsche di badannya. Sampai sekarang saya masih suka tertawa kalau melihatnya, tetapi lebih ke menertawakan diri sendiri, karena laki-laki yang rela merajah badannya demi memasang tampang Nietzsche ternyata laki-laki yang saya cintai.
“Nanti kamu berdoa aja sama dia.”
Kata-kata itu saya ucapkan sembari memegangi tangan kirinya dan menunjuk muka Nietzsche tepat di bagian hidung. Lagi-lagi pacar saya terkekeh tapi kali ini dia membalas.
“Amor Fati.”
Merestui Pacar Saya Bertarung
Sebetulnya, waktu mengajukan BPJS Kesehatan sebagai syarat, saya tahu tekad pacar saya memasuki oktagon sudah 90 persen. Ada tidaknya BPJS kesehatan tak akan menghentikan langkahnya untuk bertarung. Satu-satunya cara untuk menghadapinya adalah dengan melontarkan alasan yang masuk akal.
“Aku tahu biaya pengobatan bakal ditanggung panitia lewat BPJS Ketenagakerjaan, tapi bagaimana kalau kamu mengalami cedera bagian dalam yang baru ketahuan seminggu setelah adu jotos?” Walaupun begitu, jauh sebelum mengajukan syarat ini, saya sebenarnya sudah merelakannya untuk bertarung.
Sebagai perempuan, saya melihat kekerasan dengan pandangan mata yang berbeda.
Adu jotos, perkelahian, duel–apa saja yang mengandung unsur pertarungan–pernah membawa kegelapan bagi kaum perempuan. Mereka yang pernah menonton serial Game of Thrones pasti tahu Trial by Combat. Ketika dua orang laki-laki bertarung sampai salah satu di antara mereka mati dan kemenangannya akan menentukan siapa yang benar di hadapan pengadilan.
Meskipun GoT cuma fiksi karangan pria brewok bernama George R. R. Martin, tetapi Trial by Combat pernah berlaku pada suatu masa di Eropa. Salah satu kisah nyata yang menceritakan pertarungan ini pernah ditulis oleh penulis Amerika bernama Eric Jager dalam buku berjudul The Last Duel: A True Story of Crime, Scandal, and Trial by Combat in Medieval France.
Buku ini kemudian menginspirasi film The Last Duel (2021), menampilkan Jodie Comer yang sebelumnya mencuri perhatian banyak orang lewat serial Killing Eve. Jodie berperan sebagai Marguerite de Thibouville, istri bangsawan yang diperkosa oleh seorang ksatria.
Marguerite menolak bungkam, dia menceritakan peristiwa itu ke suaminya, Jean de Carrouges yang diperankan oleh Matt Damon. Jean tadinya ragu apalagi dengan adanya desas-desus bahwa istrinya bukan diperkosa tetapi berselingkuh. Dia lantas mengajukan Trial by Combat untuk membuktikan kebenaran cerita istrinya.
Film ini berakhir dengan kemenangan mutlak di tangan Jean. Nama Marguerite kembali bersih dan dia mendapatkan keadilan yang dia inginkan dengan menyaksikan pemerkosanya digantung secara terbalik di hadapan ribuan penonton.
Akhir yang melegakan memang, tapi saya menyaksikan film itu dengan dada yang bergemuruh. Bagaimana bisa kesaksian seorang perempuan dipertanyakan sedemikian rupa dan baru akan dipercaya ketika laki-laki yang membuktikannya? Terlebih pembuktiannya dilakukan dengan cara bertarung sampai mati.
Meskipun peristiwa ini terjadi beratus tahun yang lalu, tapi sebagai perempuan saya menyadari satu hal: kekerasan telah jadi simbol kejantanan sejak berabad-abad lalu dan hal itu masih terjadi sampai sekarang. Di hadapan pemuja kejantanan, segala hal yang lembut dan kemayu akan dianggap lemah dan inilah akar yang meminggirkan peran perempuan.
Saat tahu pacar saya menyukai pertarungan, saya rutin melakukan dialog dengannya. Kesannya memang ndakik-ndakik, tetapi saya perlu mengetahui bagaimana laki-laki yang berpeluang besar menjadi pendamping hidup saya ini memandang kekerasan dan maskulinitas. Salah satu dialog yang akhirnya membuat saya percaya dengannya adalah pandangannya dalam melihat perkelahian di jalanan.
“Bertarung di dalam ring itu lebih aman dilihat dari semua sisi. Ada aturannya, ada alat pengamannya, ada jaminannya. Satu-satunya skill yang bisa dipakai kalau ada orang ngajak gelut di luar ring ya cuma lari.”
Saya ingat betul dia mengatakannya. Berkelahi–meski dengan teknik–di jalanan punya konsekuensi dan buntut yang panjang. Bukan hanya cedera lalu masuk rumah sakit, tapi eskalasinya bisa membesar sampai ke mana-mana: dilaporkan ke polisi, menyulut tawuran, dan tentu saja jatuhnya korban. Pilihannya untuk “lari” membikin saya yakin, nalarnya masih bekerja, dia tidak silau hingga memuja kejantanan sebagai satu-satunya kekuatan absolut di muka bumi.
Penulis: Ruhaeni Intan
Editor: Nuran Wibisono