Menuju konten utama

Menutup Kantong Bolong Pemerintah & BUMN dari Bangun-Jual Proyek

Limited Concession Scheme (LCS) atau skema kerja sama pengelolaan aset terbatas ditujukan bagi proyek infrastruktur yang sudah tersedia, termasuk yang dikembangkan oleh BUMN.

Menutup Kantong Bolong Pemerintah & BUMN dari Bangun-Jual Proyek
Pekerja menyelesaikan pembangunan jembatan Holtekamp, di Jayapura, Papua, Rabu (11/4/2018). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

tirto.id - “Kita harus membuka seluas-luasnya pembiayaan investasi yang bersumber dari non anggaran pemerintah, baik yang bersifat dari swasta murni, baik yang berasal dari BUMN, dan juga dari PPP (Public Private Partnership) dengan jaminan non anggaran pemerintah,”

Presiden Jokowi membuka pengantar pada rapat terbatas “Pembiayaan Investasi Non APBN” di Kantor Presiden, Jakarta, akhir Oktober 2016 lalu. Skema yang sudah sering dicanangkan oleh pemerintah terdahulu ihwal urusan mendapatkan uang pembangunan. Hitungan di atas kertas memang sangat mustahil kantong pemerintah sanggup membiayai target proyek infrastruktur Rp4.900 triliun untuk lima tahun.

“Kalau kita lihat di APBN kita perkiraan dalam 5 tahun hanya Rp 1.500 triliun. Sehingga kekurangan itulah yang harus diisi oleh swasta, oleh BUMN, oleh PPP,” kata Jokowi.

Istilah PPP atau Public Private Partnership alias kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU) sempat jadi formula pemerintahan sebelum Jokowi untuk membiayai pembangunan, contoh yang memakai skema ini adalah proyek pembangunan PLTU Batang 1.000 MW, Jawa Tengah. Skema ini terkendala karena pembebasan lahan, artinya saat uang ada, tapi lahan tak beres, maka proyek ini sempat mandek bertahun-tahun.

Kini, ada skema baru untuk membiayai infrastruktur dengan nama Limited Concession Scheme (LCS) atau skema konsesi aset terbatas. Artinya investor tak disodorkan proyek "mentah" tapi yang sudah jadi, investor bisa meneruskan pengelolaan atau konsensi dengan menyetorkan uang sejak awal. Ini sama saja, setelah proyek usai dibangun oleh pemerintah atau BUMN, maka konsesinya bisa dijual ke investor lain untuk meneruskan pengelolaan.

Skema pembiayaan infrastruktur ini merupakan upaya baru pemerintah dalam menarik minat dan dana dari para investor swasta baik nasional maupun internasional. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah memfinalisasi rancangan Peraturan Presiden (Perpres) skema ini.

Payung hukum LCS sebagai sumber pembiayaan baru untuk pembangunan proyek infrastruktur ini, sudah disampaikan kepada Sekretariat Kabinet dan memasuki tahap akhir.

Ketua Tim Pelaksana Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) sekaligus Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Wahyu Utomo menjelaskan, dalam praktiknya LCS akan ditujukan bagi proyek infrastruktur yang sudah tersedia atau terbangun, atau juga disebut sebagai proyek brownfield.

Konsesi aset secara terbatas akan diberikan kepada pihak swasta yang disertai dengan service level agreement (SLA) berupa kewajiban atau keharusan untuk melakukan pengembangan infrastruktur tersebut.

“Kelebihan LCS bagi investor adalah bisa menjalankan bisnis di proyek infrastruktur di bidang tersebut dan lebih ada kepastian. Karena investor swasta bisa melihat performance bisnis seperti apa dan sudah tahu kelebihan serta kelemahan proyek infrastruktur tersebut, yang diyakini oleh investor bisa ditingkatkan. Sehingga, lebih pasti bagi investor untuk menghitung peluang bisnisnya ke depan,” jelas Wahyu kepada Tirto

Wahyu Utomo menyebut bahwa proyek infrastruktur yang bisa dimasukkan dalam LCS adalah proyek yang sudah berjalan selama 2-3 tahun. Posisi pemerintah hanya menawarkan proyek infrastruktur yang sudah memiliki data performa atau portofolio, sehingga proyek tersebut juga tidak ditawar murah oleh investor. Sehingga, pemerintah juga memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam kerja sama pengelolaan dan pengembangan proyek infrastruktur.

Hingga saat ini, proyek infrastruktur yang masuk kajian untuk pengelolaan LCS adalah bandar udara (bandara). Investor swasta nasional maupun asing, dapat melihat kinerja atau lalu lintas bandara yang masuk skema LCS. Selanjutnya, investor pun dapat menilai pengembangan apa saja yang bisa dilakukan di bandara itu, guna mendorong peningkatan nilai investasi.

Sebagai konsekuensi atas hak pengelolaan aset terbatas proyek infrastruktur milik pemerintah ini, investor swasta harus memberikan pembayaran di muka atau upfront payment. Nantinya, dana hasil pembayaran dari investor bisa digunakan pemerintah untuk membiayai pembangunan proyek infrastruktur lainnya.

Skema LCS salah satunya dapat diterapkan di Bandar Udara Hang Nadim. Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan berencana untuk menjual hak pengelolaan atau operasionalisasi bandara tersebut kepada investor swasta. Bandar Udara tersebut saat ini sudah jadi dan sudah beroperasi lama. Pemerintah maupun investor, sama-sama bisa menghitung profit yang akan dihasilkan dari proyeksi lalu lintas udara. Nah, perhitungan lalu lintas tersebutlah yang menjadi acuan pembayaran di muka oleh investor.

Setelah proses LCS selesai, investor tak hanya duduk manis dan mendapat keuntungan begitu saja. Investor memiliki kewajiban untuk mengembangkan bandara seperti misalnya penambahan jumlah terminal sesuai rencana bisnis. Skema LCS memang menjadi harapan baru di tengah terbatasnya kantong pemerintah maupun BUMN menggarap proyek infrastruktur.

Salah satu negara yang sukses dalam menerapkan skema LCS adalah Turki sejak 2005. Saat itu, pemerintah Turki ingin membangun sejumlah proyek infrastruktur tapi kekurangan dana. Mereka pun menawarkan bandara internasional Ataturk untuk dikelola oleh investor swasta termasuk asing dengan skema LCS.

Apakah LCS menarik investor?

Hariyadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menuturkan, LCS juga menarik ditawarkan bagi investor swasta dalam pengelolaan konsesi proyek jalan tol. Sebab, investor pun dapat menghitung lalu lintas kinerja bisnis proyek ini. Menurutnya, LCS maupun skema pembiayaan sebelumnya PPP memiliki ketertarikan tinggi bagi investor swasta.

Dalam konteks skema PPP, yang dipertanyakan investor swasta justru kesiapan dari pemerintah dalam persiapan dan perencanaan pembangunan proyek infrastruktur. Pembiayaan pembangunan proyek infrastruktur rata-rata memiliki nominal yang besar sehingga bersifat jangka panjang. Dengan tenor yang panjang itu, investor akan berhitung risiko dari berbagai skema pembiayaan yang ditawarkan pemerintah serta kepastian dari proyek infrastruktur.

Selain itu, meski skema LCS menjamin investor tak dihadapkan oleh persoalan-persoalan pembangunan proyek yang didanai tapi ada aspek lain yang tak kalah penting, yaitu soal kepastian. Misalnya adalah pembiayaan proyek infrastruktur yang membuat investor swasta menjadi ragu adalah investasi proyek infrastruktur listrik. Hitungan pemerintah pada proyek listrik 35.000 MW yang meleset sehingga pasokan listrik berlebih membuat investor dapat tekanan untuk menurunkan pasokan listrik.

“Ini adalah contoh risiko yang membuat investor lebih berhati-hati dalam menentukan skema pembiayaan proyek infrastruktur yang akan dipilih. Akhirnya investor jadi agak takut dengan kepastian hukum karena bisnis bisa diintervensi di tengah jalan. Ini menjadi salah satu yang menjadi kendala investasi swasta,” jelas Hariyadi.

Infografik Skema Infrastruktur Swasta

Skema LCS dan Nasib BUMN

LCS merupakan skema pemberian konsesi dengan jangka waktu tertentu kepada badan usaha untuk mengoperasikan dan/ atau mengembangkan infrastruktur yang sudah tersedia. LCS (PDF) bertujuan untuk menyediakan sumber dana segar dengan cepat untuk pembangunan infrastruktur yang sangat mendesak.

Skema ini dilatarbelakangi keterbatasan dana pemerintah dan BUMN serta kebutuhan pemenuhan target konstruksi pada tahun 2018, sementara pendanaan proyek belum siap. LCS merupakan salah satu skema dalam mekanisme pendanaan pengadaan melalui Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) dalam merealisasikan pembangunan program strategis nasional.

Pada 2017, terdapat penambahan 55 proyek yang masuk ke dalam PSN. Dengan demikian secara akumulatif terdapat 245 PSN di tahun 2017. Dalam perjalanannya, sebanyak 10 proyek selesai sedangkan 14 proyek dikeluarkan dari daftar. Jumlah PSN sampai akhir 2017 sebanyak 221 PSN. Pada 2018, pemerintah menambahkan satu proyek ke dalam daftar PSN berupa pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia dan satu program ekonomi tambahan. Dengan demikian, hingga kuartal II-2018 terdapat 222 proyek dalam daftar PSN dan tiga program ekonomi.

Dari beberapa proyek strategis itu, sebagian digarap oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti infrastruktur tol. Namun, BUMN pun tak sanggup seluruh biaya, maka BUMN tentu harus mencari pendanaan, di antaranya dengan berutang. Namun, rasio utang yang menumpuk juga dapat membahayakan keuangan para BUMN. Ini seperti analisis yang dipaparkan oleh Xavier Jean, analis dari S&P Global.

Dalam paparannya berjudul “Is Indonesia’s Infrastructure Buildout Weakening SOE Balance Sheets? Short Answer: Yes” menyebutkan neraca keuangan BUMN sudah melemah sejak awal dekade, lantaran pertumbuhan investasi yang sangat cepat.

Akibat pertumbuhan investasi tersebut, S&P Global mencatat nilai utang BUMN tumbuh dua kali lipat dalam enam tahun terakhir ini. Pada saat bersamaan, pertumbuhan arus kas BUMN justru melemah. Yang menarik, dari 20 BUMN Indonesia yang dianalisis S&P Global, debt to EBITDA ratio para BUMN konstruksi tercatat rata-rata tumbuh paling tinggi, atau menonjol dari BUMN yang lain.

Utang yang besar bagi BUMN untuk menggarap proyek memang akan menjadi sumber pendapatan baru para BUMN di masa depan. Namun, bukan berarti tanpa risiko, proyek yang sudah jadi dan tak memberikan pemasukan yang maksimal akan menjadi persoalan baru bagi BUMN. Apalagi proyek-proyek infrastruktur dasar seperti tol butuh balik modal jangka panjang.

Skema LCS memang tak hanya bisa menambal kantong bolong pemerintah dalam membiayai proyek infrastruktur, tapi juga bisa jadi penyelamat bagi BUMN yang banyak menggarap proyek infrastruktur untuk menekan risiko tak sanggup bayar utang, karena dengan LCS risiko bisa dibagi ke investor baru dan BUMN bisa terus berlanjut menggarap proyek berikutnya dengan dana segar dari investor lain.

Baca juga artikel terkait INFRASTUKTUR atau tulisan lainnya dari Dea Chadiza Syafina

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dea Chadiza Syafina
Penulis: Dea Chadiza Syafina
Editor: Suhendra