Menuju konten utama

Menunggu Vonis Hakim untuk Ahok

Majelis Hakim akan membacakan vonis terkait kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama.

Menunggu Vonis Hakim untuk Ahok
Terdakwa kasus dugaan penistaan agama Basuki Tjahaja Purnama berjalan memasuki ruang sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (7/3). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - Persidangan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memasuki babak akhir. Hari ini, Selasa (9/5/2017), Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengagendakan sidang pembacaan vonis terhadap terdakwa kasus penistaan agama ini.

Dalam sidang yang berlangsung di Aula Kementerian Pertanian ini, Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Dwiarso Budi Santiarto akan menentukan nasib Gubernur DKI Jakarta ini. Majelis Hakim tentunya akan mempertimbangkan argumentasi kedua belah pihak dalam memutus perkara Ahok tersebut.

Ahok sendiri mengaku siap atas vonis yang akan dibacakan hakim terhadap dirinya terkait kasus dugaan penodaan agama ini. “Udah 21 kali sidang mau ngapain? Besok cuma tinggal dengar hakim, pasrah aja,” kata Ahok di Balai Kota, Senin (8/5/2017).

Menurut Ahok selama ini ia telah berusaha membuktikan bahwa dirinya tak bermaksud melakukan penodaan agama. Karena itu, ia berharap hakim dapat memberikan vonis secara independen.

Sebab, ia meyakini, tuntutan yang menjeratnya selama ini telah dipengaruhi oleh tekanan masa, dan berkaitan dengan politik elektoral yang sedang terjadi di Jakarta.

“Saya bilang itu dipaksakan. Ada perbedaan pendapat di kepolisian kok. Mana ada dalam sejarah hukum kita begitu cepat, hitungan jam, jaksa nggak periksa langsung masukin. Itu kan karena tekanan massa aja,” ujar Ahok.

Selain itu, ia juga mengatakan bahwa seluruh fakta persidangan serta tuntutan jaksa telah membuktikan bahwa dirinya tak bisa dijerat dengan pasal penodaan agama. Karena itu, vonis terhadap dirinya besok bergantung dari hati nurani hakim.

"Ya tergantung nurani hakim, toh sudah terbukti tuntutan jaksa bahwa saya tidak menodai dan menista agama, juga tidak terbukti saya menghina golongan tertentu, itu sudah jelas, dengan tuntutan jaksa, sekarang tinggal hakim," terangnya.

Menyedot Perhatian Publik

Sejak awal, persidangan dugaan penodaan agama ini telah menyedot perhatian publik, terlebih saat sidang ke-19 pada 11 April 2017 dengan agenda tuntutan. Saat itu, Ketua JPU Ali Mukartono meminta agar Majelis Hakim menunda pembacaan tuntutan untuk Ahok karena JPU belum selesai mengetiknya.

Sidang berikutnya, yang berlangsung pada Kamis (20/4/2017) tak kalah menghebohkan. Dalam sidang tersebut, JPU menyatakan Ahok bersalah dalam kasus dugaan penistaan agama. Akan tetapi, mantan Bupati Belitung Timur itu tidak dikenakan Pasal 156a seperti yang diharapkan pelapor. JPU hanya menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP.

Tim JPU berpendapat, dakwaan pelanggaran Pasal 156a tidak layak untuk disematkan kepada Ahok. Jaksa beralasan, perbuatan Ahok di Kepulauan Seribu lebih mengarah pada pernyataan sikap permusuhan.

“Perbuatan saudara secara sah dan meyakinkan telah memenuhi unsur 156 KUHP, oleh karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana 1 tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun,” kata JPU Ali Mukartono di hadapan majelis hakim, di Aula Kementan, Jakarta, Kamis (20/4/2017).

Namun, sikap JPU yang hanya menuntut Ahok dengan Pasal 156 memunculkan protes. Misalnya, usai sidang pembacaan tuntutan, massa ormas Islam mengamuk di depan Kementerian Pertanian. Beberapa peserta aksi melemparkan botol minuman ke arah aparat yang berada di balik barikade.

Beruntung peserta aksi tersebut segera diamankan dan dibawa ke mobil komando aksi. Beberapa peserta aksi pun sempat menunggu komando lebih lanjut terkait langkah yang akan diambil selanjutnya.

David (28), salah satu peserta aksi dari Srengseng, Jakarta Barat, mengatakan meski kecewa dirinya tak mau bertindak apa-apa. “Kalau saya, tergantung komando ulama. Semuanya kan ini persatuan. Enggak bisa sendiri-sendiri,” kata dia di sela-sela aksi.

Kekecewaan juga diungkapkan Basri Pratama (33), peserta aksi dari Kalimantan Barat. Ia mengatakan bahwa penista agama seharusnya dituntut dengan hukuman maksimal agar dapat memberi efek jera bagi pelakunya dan menjadi pelajaran agar kasus serupa tidak terjadi lagi.

“Kita ini kan mau menjaga persatuan. Kalau sesuai dengan pelanggaran, aturan hukum, dia [harus dihukum] lima tahun. Kalau harus segitu kenapa di bawahnya? Ini untuk memberi pelajaran kepada masyarakat Indonesia umumnya,” kata Basri.

Tetap Meminta Ahok Bebas

Meskipun sudah diberikan tuntutan yang jauh lebih ringan, penasihat hukum Ahok tetap bersikukuh bahwa kliennya itu tidak bersalah. Dalam persidangan ke-21, Selasa (25/4/2017), Ahok dan penasihat hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Bhinneka Tunggal Ika telah membacakan pembelaan terhadap tuntutan jaksa.

Anggota Tim Penasihat Hukum Basuki Tjahaja Purnama Fifi Lety meragukan tuntutan jaksa bahwa Ahok telah menodai agama dan melanggar pasal 156 seperti tuntutan jaksa. Menurut Fifi, persidangan Ahok telah mencoreng peradilan karena mantan Bupati Belitung Timur itu dinilai bukan untuk membenarkan suatu pihak.

“Peradilan pidana bukan lah tempat mencari pembenaran dengan cara apapun untuk mendukung seorang terdakwa,” ujar Fifi saat membacakan pledoi di Aula Kementan, Jakarta, Selasa (25/4/2017).

Fifi menilai perkara ini tidak layak untuk memvonis Ahok dari beragam faktor. Ia melihat dari saksi persidangan Ahok selama ini. Fifi meragukan klaim jaksa, yang menjadikan 12 di antara 14 orang pelapor kasus penistaan agama dengan pelaku Ahok, sebagai saksi fakta. Alasan dia, tidak ada satu pun dari pelapor itu mendengar dan menyaksikan langsung pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.

“Mereka mengaku seolah mendengar langsung pidato Ahok, padahal tidak tahu apa yang terjadi di Kepulauan Seribu,” kata Fifi di sidang ke-21 kasus penodaan agama ini.

Ia menyebutkan bukti kredibel suatu saksi. Dalam persidangan, saksi pelapor seharusnya harus hadir sendiri di TKP dan mengetahui langsung apa yang terjadi dalam arti melihat, mendengar secara langsung. Dalam perkara Ahok, pelapor tidak berada di tempat. Bahkan, ada saksi yang mengeluarkan pernyataan bersifat intimidatif seperti Novel Bakmumin.

“Dia enteng bilang orang di Kepulauan Seribu tak beriman. Padahal hanya tuhan yang tahu kadar keimanan seseorang,” ujar dia.

Dengan demikian, pemeriksaan 12 pelapor di kasus ini sebagai saksi fakta melanggar prinsip Testimonium de Auditu sebagaimana diatur dalam Pasal 185 KUHAP. Ketentuan ini mewajibkan saksi fakta harus mereka yang mendengar dan menyaksikan langsung kejadian perkara di lokasi.

“Jadi, tak ada saksi fakta di perkara ini [kasus penistaan agama Ahok],” kata dia.

Dalam pembelaan itu, Fifi menyimpulkan perkara penistaan agama didalangi oleh mereka yang ingin menjegal Ahok di Pilkada DKI Jakarta dengan cara menebar fitnah dan menggerakkan aksi demonstrasi yang memunculkan trial by the mob atau proses hukum karena desakan massa.

Sebaliknya, kelompok yang menganggap Ahok melakukan penistaan agama justru mendesak Majelis Hakim agar memberikan vonis lebih tinggi daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat selama ini para terdakwa penista agama selalu dituntut dengan Pasal 156a.

Namun demikian, semua keputusan berada di tangan Majelis Hakim. Dalam konteks ini, Mahkamah Agung (MA) menjamin bahwa Majelis Hakim yang menangani kasus dugaan penodaan agama ini bisa dipercaya, adil dan bebas intervensi.

"Kami berani menjamin majelis hakim akan berlaku adil dan terbebas dari intervensi apapun bentuknya,” kata Panitera MA, Made Rawa Aryawan menanggapi tuntutan dari massa aksi 55 yang digagas Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI), seperti dikutip Antara, Jumat (5/5/2017) lalu.

Aryawan mengatakan bahwa independensi hakim dalam menangani berbagai kasus dijamin oleh undang-undang, sehingga tidak boleh ada pihak yang ikut campur tangan dalam perkara yang ditangani hakim.

"Intervensi ke hakim bisa dikenakan pidana," ujarnya.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher & Hendra Friana
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz