Menuju konten utama

Menunggu Tuntutan Jaksa untuk Ahok

Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadwalkan pembacaan tuntutan hukuman oleh JPU terhadap terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam lanjutan sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4/2017).

Menunggu Tuntutan Jaksa untuk Ahok
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok (kedua kiri) berbincang dengan penasehat hukumnya saat menjalani sidang lanjutan kasus dugaan penistaan agama di PN Jakarta Utara, Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Rabu (29/3). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A.

tirto.id - Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjadwalkan pembacaan tuntutan hukuman oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam lanjutan sidang di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Kamis (20/4/2017).

"Jaksa sudah siap, tuntutan (hukuman) sudah selesai seluruhnya," kata Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Hasoloan Sianturi saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis (20/4/2017) pagi, seperti diwartakan Antara.

Sedangkan Humphrey Djemat selaku anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahaja Purnama tak banyak berkomentar menanggapi persidangan dengan agenda pembacaan tuntutan jaksa dalam kasus dugaan penodaan agama yang akan digelar hari ini.

"Untuk sidang esok sama saja. Tidak ada apa-apa. Kalau siap pasti disiapkan untuk agenda tuntutan," jelas Humphrey usai Ahok-Djarot menggelar konferensi pers di Hotel Pullman, Jakarta Pusat, Rabu (19/4/2017).

Sebelumnya, Ketua Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ali Mukartono dalam persidangan kasus penodaan agama dengan terdakwa Ahok meminta jadwal pembacaan tuntutan hukuman ditunda terhadap terdakwa Ahok ditunda karena belum selesainya penyusunan tuntutan. Selain itu juga alasan Pilkada DKI Jakarta, Rabu, 19 April kemarin.

"Memang sedianya persidangan hari ini agendanya adalah pembacaan surat tuntutan dari kami selaku Penuntut Umum, kami sudah berusaha sedemikian rupa bahwa ternyata waktu satu minggu tidak cukup atau kurang cukup bagi kami untuk menyusun surat tuntutan," kata Ali dalam lanjutan sidang Ahok di Auditorium Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (11/4/2017).

Ia pun mewakili tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) meminta maaf soal permintaan ditundanya sidang ke-18 bagi terdakwa Ahok tersebut.

"Kami memohon waktu untuk pembacaan surat tuntutan karena kami tidak bisa bacakan hari ini," ucap Ali saat itu.

Ketua Majelis Hakim Dwiarso Budi Santiarto pun langsung mencecar JPU mengenai alasan jaksa belum menyelesaikan lembar tuntutan.

"Saudara Penuntut Umum ini belum selesai ngetik?" ujar Dwiarso.

Jaksa penuntut pun kembali menegaskan bahwa berkas tuntutan untuk Ahok belum selesai. Hakim kecewa lantaran persidangan terpaksa diundur. Majelis hakim pun mengingatkan bahwa mereka sudah sepakat terkait jadwal persidangan.

Hakim pun menanyakan kesiapan pembacaan tuntutan pada minggu depan. Sayang, jaksa menyebut tentang adanya surat permintaan penundaan sidang Ahok dari Polda Metro Jaya. Surat dari Polda Metro Jaya itu berisi saran penundaan pembacaan tuntutan itu mengingat pertimbangan keamanan menjelang pelaksanaan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.

Jaksa berharap persidangan ditunda hingga usai Pilkada DKI Jakarta. Hakim pun langsung mencecar alasan kenapa persidangan diundur hingga 2 minggu. Hakim mengaku heran dengan alasan tersebut. Setelah menanyakan pada kuasa hukum Ahok, Hakim memutuskan sidang pembacaan tuntutan digelar pada hari ini, Kamis (20/4/2017).

Alasan penundaan sidang pembacaan tuntutan ini telah menimbulkan polemik. Bahkan Jaksa Agung HM Prasetyo telah menyatakan penundaan penuntutan untuk Ahok itu karena faktor yuridis dan tidak terkait masalah politik.

"Rasanya penundaan tersebut tidak ada masalah lain, selain semata karena masalah teknis dan yuridis," kata Prasetyo dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu, 12 April 2017 lalu.

Prasetyo menegaskan penundaan itu tidak terkait dengan adanya surat dari Polda Metro Jaya yang sempat menyarankan penundaan pembacaan tuntutan itu mengingat pertimbangan keamanan menjelang pelaksanaan putaran kedua Pilkada DKI Jakarta.

Padahal dalam sidang sebelumnya, Ali Mukartono telah menambahkan bahwa alasan penundaan sidang pembacaan tuntutan tersebut karena pertimbangan surat saran dari Polda Metro Jaya.

Dalam kasus dugaan penistaan agama ini, terdakwa Ahok dikenakan dakwaan alternatif yakni Pasal 156a dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Perkataan golongan dalam pasal ini dan pasal berikutnya berarti tiap-tiap bagian dari rakyat Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras, negeri asal, agama, tempat asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut hukum tata negara.

Sementara menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Terkait jabatan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta yang masih aktif dan status terdakwa yang akan akan dibacakan tuntutan oleh JPU pada hari ini juga masih mengundang polemik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah yang menjadi terdakwa harus dihentikan sementara. Namun, pemberhentian sementara itu berlaku jika ancaman hukuman yang menimpa kepala daerah di atas lima tahun.

Pada kasus ini Ahok dikenai pasal alternatif, terutama pada pasal 156a dengan ancaman pidana paling lama lima tahun penjara. Akankah Ahok dinonaktifkan jika tuntutan hukumannya lebih dari lima tahun?

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Hukum
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti