Menuju konten utama

Menunggu "Letupan" Bisnis Senjata di Indonesia

Pemerintah selalu mengklaim perkembangan pesat industri senjata nasional. PT Pindad memang berhasil melaup laba besar dalam beberapa tahun terakhir. Meski begitu Pindad belum bisa memasok kebutuhan industri senjata dalam negeri. Sebabnya karena pemerintah lebih memilih senjata-senjata impor untuk kebutuhan angkatan perang negeri sendiri.

Menunggu
Seorang anggota Kopassus memegang senjata jenis senapan serbu buatan PT Pindad ketika acara peluncuran di Kementerian Pertahanan, Jakarta, Kamis, (9/6). PT Pindad meluncurkan 4 jenis senjata baru diantaranya senapan yang diperkenalkan adalah senapan serbu (ss) ss3, senapan serbu ssz subsonic 5,66 mm, sub machine gun pms, dan pistol c52 premium. tirto/andrey gromico

tirto.id - Dalam bisnis industri senjata, inovasi adalah kunci. Hal itulah yang mesti dilakukan PT Pindad (Persero) agar bisa terus eksis dalam industri senjata dunia. Setelah merilis senapan serbu SS2 pada 2012 lalu, Pindad kembali merilis dua senjata baru yang masih pengembangan dari SS2 lewat senapan Serbu SS3 dan Senapan Serbu SS2 subsonic 5,66 mm.

Untuk jenis SS3, Dirut PT Pindad Silmy Karim menuturkan senjata ini memakai amunisi berkaliber 7,62 mm. SS3 didesain memiliki akurasi tinggi, dengan jarak tembak efektif hingga 400 meter mekanikal, dan 800 meter optikal. Sebenarnya ini bukanlah pengembangan SS2 yang baru.

Pada 2011, Pindad sempat membuat SS3 atau SS2 versi bulpup yang diperuntukkan anggota Kopassus. Sedangkan pada SS3 yang dirilis baru-baru ini, bentuknya mirip SS2-V5, dengan laras yang lebih pendek ketimbang SS2 versi-versi sebelumnya.

Sementara senapan SS2 subsonic didesain khusus dengan peredam (silencer) dan amunisi subsonic (di bawah kecepatan suara) 5,56 mm, sehingga cocok untuk operasi khusus yang membutuhkan kemampuan pergerakan senyap.

Tak hanya bermain di tipe assault riffle, Pindad pun merilis senjata Sub Machine Gun PM3 pengembangan dari PM2 serta Pistol G2 Premium kaliber 9 mm yang diperuntukan para atlet menembak di kalangan militer dan sipil.

”Empat senjata baru dari Pindad ini merupakan persembahan industri pertahanan kepada rakyat Indonesia umumnya, kepada TNI, Polri, insan olahraga, dan lembaga pengguna. Juga untuk mendukung fungsi pasukan,” ucap Silmy saat peluncuran di Kementerian Pertahanan, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Penjualan senjata api adalah satu bisnis yang membuat PT Pindad bisa tetap eksis, ketimbang berjualan kendaraan taktis seperti Anoa, Komodo dan badak. Ini dikarenakan senjata yang diproduksi laku di pasaran global ketimbang kendaraan taktis yang konsumennya didominasi oleh TNI dan Polri.

Meskipun banyak perusahaan swasta yang bergelut di bisnis alutsista di Indonesia, tetapi Pindad tetap jadi ujung tombak mempromosikan industri pertahanan ke dunia luar. Dengan mengekspor senjata, Pindad sukses membawa nama besar itu. Senapan serbu SS2 kini dibeli oleh Bangladesh, Uni Emirat Arab, Brunei, Irak, Laos dan Myanmar.

Untuk merujuk penjualan senjata bertipikal small arms kita bisa merujuk data dari NISAT (Norwegian Initiative on Small Arms Transfers)

Tak hanya menjual senjata, amunisi Pindad pun ternyata laku di pasaran, terutama produk shotgun cartridge. Singapura merupakan salah satu negara peminatnya. Pada 2013, mereka membeli senilai $120 ribu. Pada 2014, angka itu melonjak tajam jadi $3,6 juta. Tak hanya Singapura, negara-negara Eropa seperti Jerman, Belanda, Inggris dan Perancis pun tercatat membeli produk amunisi dan peledak dari Pindad, hanya saja penjualan di bawah $500 ribu dolar.

Pindad mengklaim pada 2014 meraup untung hinggaRp205 miliar. Namun, kita tak tahu pasti berapa persen kontribusi dari bisnis senjata, mengingat Pindad pun bergerak di bidang konstruksi.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan yang menilai rataan ekspor senjata berkisar $4 juta dolar membuktikan bahwa pemasaran senjata-senjata lokal kita masih belum optimal. Hal ini sejalan dengan data NISAT dan Small Arms Survey terkait negara-negara pengekspor komponen small arms seperti amunisi, pistol, light weapons dll.

Hasil ironis muncul karena Indonesia sama sekali tak masuk dalam list Top 40. Hal ini terjadi lantaran ekspor small arms Indonesia tak bisa lebih dari $10 juta, kalah dari negara-negara kecil lain seperti Filipina, Peru, Siprus, Slovakia, dan Taiwan.

Di saat nilai ekspor masih kecil, nilai impor kita malah relatif besar. Dalam soal impor, Indonesia masuk dalam kategori tier 3 yang mengimpor senjata berkisar $50-99 juta.

Jika menelisik lebih dalam laporan NISAT itu, nilai impor Indonesia mencapai $106 juta yang mestinya membuat Indonesia masuk dalam kategori 2, bersama dengan Kanada, Jerman, Uni Emirat Arab, Australia, Perancis, dan Norwegia.

Tingginya nilai kebutuhan impor pertanda bahwa industri senjata dalam negeri belum begitu digdaya di tanah sendiri. Ketimbang bersaing di pasar global dengan pesaing-pesaing yang berpengalaman alangkah baiknya Pindad gencar melakukan inovasi dan evaluasi demi mengikis besarnya kebutuhan impor. Di saat pasar dalam negeri berhasil dikuasai, maka ekspansi global secara besar-besaran bisa dilakukan.

Indonesia bisa meniru Rusia dan Kroasia. Dalam posisi sebagai negara eksportir, kedua negara tersebut masuk dalam ketegori 2, dengan jumlah transaksi berkisar $100 juta hingga $499 juta. Namun, dalam soal posisi negara pengimpor, angka impor small arms dua negara ini tak lebih dari $10 juta.

Menjadikan industri senjata untuk menggenjot pendapatan negara itulah yang dilakukan Rusia dan Kroasia. Hampir 20 persen pendapatan mereka didapat dari industri senjata. Untuk mencapai itu tidaklah mudah. Butuh kehadiran negara yang memaksa penggunaan komponen small arms lokal pada angkatan perang.

Baca juga artikel terkait SENJATA atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Bisnis
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Aqwam Fiazmi Hanifan