tirto.id - Di sebuah tembok di pinggiran jalan Yogya, tertempel sebuah poster besar bergambar wajah Munir dengan sebuah pesan yang sangat kuat: MENOLAK LUPA. Pesan yang menohok untuk kita yang melupakannya. Rasanya ingin berbuat sesuatu tapi apa?
Banyak yang merasa terbebani jika diajak untuk mengenang Munir. Beberapa mengira mengenang Munir berarti harus menjadi seperti Munir, berjuang meraih keadilan untuk orang lain, turun ke jalan menghadapi aparat, mendampingi korban pelanggaran HAM, dan mempertaruhkan nyawa melawan para penguasa. Padahal tak semua orang memiliki kecintaan pada bidang ini seperti Munir.
Beberapa lagi mengira mengenang Munir berarti harus berbuat sesuatu agar masyarakat selalu mengingat sosok Munir. Membuat gerakan, menciptakan karya seni atau mengkritisi pemerintah yang tak kunjung memberikan keadilan untuknya. Padahal tak semua orang memiliki waktu dan kemampuan menciptakan sebuah gerakan atau karya seni.
Mengenang Munir tak harus menjadi pejuang keadilan seperti Munir. Mengenang Munir juga tak selalu untuk mengingatkan masyarakat tentang kasus Munir. Mengenang Munir dapat kita lakukan dengan cara yang sederhana: meniru sosoknya, menjadi ada dan dikenang karena apa yang kita lakukan.
Ada karena Membela
Seorang wartawan Jepang pernah bertanya kepada Munir, “sebutkan satu kata dalam Bahasa Indonesia yang paling Munir.” Munir sedikit kaget dan bingung. Beberapa kali ia menggaruk dahinya, salah tingkah. Ia membuat teman-temannya tertawa. Namun setelah nyengir lebar, ia menjawab dengan mantap, “keadilan.”
Jauh sebelum menjadi pejuang HAM, Munir telah memperjuangkan keadilan sejak masih duduk di bangku SMP. Saat itu ia sedang berjalan kaki bersama adiknya dan menemukan mayat tetangganya terbunuh ditusuk obeng. Ia shock dan lari memberitahu tetangga-tetangganya yang lain. Semua orang datang dan mayat itu langsung dikubur. Tak ada kerabat korban yang datang dan korban dianggap tidak waras. Beberapa jam setelah itu, ia bertemu kakaknya yang saat itu sudah SMA. Ia pun menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada kakaknya. Kakaknya marah, “kenapa kau nggak lapor polisi? Kau biarkan pembunuhan itu terjadi?”
Sebagai anak kecil hal ini membuatnya takut dan bingung. Dia mengaku peristiwa itu menciptakan konflik psikologis dalam dirinya. Separuh dirinya takut namun separuh dirinya ingin melapor karena dorongan kakaknya. Pada akhirnya ia memilih pergi ke kantor polisi bersama adiknya dan melaporkan kesaksiannya. Tentu saja polisi kaget, ada dua anak kecil datang melaporkan kasus pembunuhan. Esoknya, berkat laporan darinya, polisi menangkap pelaku yang diduga pembunuhnya. Munir mengaku kejadian itu adalah pendidikan yang menarik baginya. Nilai yang ia pelajari adalah kita tidak boleh membiarkan ada peristiwa pembunuhan dan membiarkan orang langsung menguburnya tanpa mencari keadilan.
Sejak saat itu ia mulai ingin membela keadilan walaupun pada awalnya tidak berjalan dengan baik. Seperti saat ia berkelahi untuk membela teman sekolah yang tak berbuat apapun namun dikeroyok oleh suatu kelompok. Sejak kecil ia sudah tidak respect dengan penindas. Atau saat ia tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan ke kampus membawa celurit untuk berkelahi dengan orang-orang yang anti-Soeharto. Saat itu ia menganggap apa yang ia lakukan adalah perang agama.
Pandangannya menjadi berubah berkat teman akrabnya saat kuliah, Bambang Sugianto. Bambang adalah teman pertama Munir saat masuk kuliah. Ia seorang aktivis, demonstran, sangat berbeda dengan Munir yang saat itu masih konservatif. Namun Bambang suka sekali mengajak Munir berdebat, saling bertukar pandangan dan perspektif mereka yang berbeda. Dari sini mulailah Munir membaca buku-buku dan keluar dari mainstream.
Dari buku yang ia baca, ia menemukan sebuah buku berjudul “Cile, Revolusi Buruh” oleh Arief Budiman. Munir mulai tertarik untuk mengurus dan membela buruh. Ia menyukai mata kuliah Hukum Perburuhan dan memilih lari ke pabrik-pabrik untuk berkenalan dan nongkrong dengan para buruh. Sejak saat itu ia jadi pembela buruh dan para korban pelanggaran HAM.
Ada karena Melawan
“Aku kadang-kadang lebih memilih nggak punya teman dalam satu keadaan, dikeroyok orang banyak untuk mempertahankan apa yang menurutku benar” - Munir
Suatu hari di tahun 1998, Munir mendapat telepon dari kantornya di LBH. Katanya ada yang mengaku temannya datang ke kantor dan kakinya pecah. Munir yang saat itu sedang bersama istrinya langsung lari ke kantor. Ternyata ada dua orang yang kakinya pecah karena bom Tanah Tinggi dan keduanya anak PRD (Partai Rakyat Demokratik). Munir langsung mengambil keputusan untuk melindunginya. "Aku nggak akan menyerahkan dia ke tentara walaupun tentaranya minta. Risikonya, ya aku bisa ditangkep,” kata Munir dalam sebuah wawancara. Padahal petinggi LBH yang lain bersikeras untuk menyerahkan anak PRD itu ke tentara. Mereka bertikai dan memutuskan adanya deadline kapan dua anak PRD itu harus keluar dari kantor.
Selama berhari-hari ia, istrinya, dan beberapa temannya yang setuju pada keputusannya itu merawat dan menyembunyikan kedua anak PRD di dalam kantor LBH. Di luar gedung kantor ada Kopassus yang sudah curiga di dalam kantor ada kedua anak yang sedang diumumkan lagi dicari oleh pemerintah itu. “Stres aku,” kata Munir. Namun dengan keberaniannya ia berhasil melindungi orang lain.
Atas perlawanannya dan perjuangannya membela para korban pelanggaran HAM, pada tahun 2015, namanya menjadi nama sebuah jalan di Kota Den Haag, Belanda. Jalan dengan nama dirinya dikelilingi nama-nama pejuang HAM dunia lainnya, seperti Mahatma Gandhi dan Salvador Allende.
Ada karena Mendampingi
Masyarakat di era Orde Baru adalah masyarakat penakut. Mereka tidak berani menyuarakan haknya atau apa yang mereka inginkan. Jangankan menyuarakan hak asasi dirinya, menyuarakan cara guru TK mengajar anaknya pun masyarakat saat itu tidak berani. “Bagaimana orang mau membangun suatu sistem sosial yang kuat kalau hanya ditopang oleh orang-orang yang takut?” tutur Munir.
Realitas bahwa bangsanya adalah bangsa yang penakut membuat Munir gelisah. Ia kemudian memilih mendampingi bangsa untuk menjadi bangsa yang pemberani. Seperti yang ia lakukan kepada Ibu Tuti, seorang ibu yang sudah satu tahun kehilangan anaknya namun tak pernah melapor kepada polisi. Saat diajak Munir untuk melapor ke Polsek, Ibu Tuti menolaknya, “Lah nanti kalo saya lapor ke Polsek, sayanya juga hilang bagaimana? Kalo nanti saya laporin lagi, terus kakaknya hilang bagaimana?” Setelah didampingi, dibimbing, dan diberi nasehat hukum oleh Munir, Ibu Tuti akhirnya mendatangi polisi dan melaporkan kehilangan anaknya. “Aku sangat senang melihat prosesnya,” kenang Munir.
Saat Ibu Tuti ditanyai oleh wartawan mengenai apa yang ia peroleh setelah berkenalan dengan KontraS, ia menjawab, “saya jadi berani berpidato.” Media saat itu sinis menanggapi jawaban itu. Mungkin output yang diharapkan masyarakat dari perjuangan keras KontraS seharusnya lebih dari sekedar bisa berpidato. Tapi menurut Munir, bagi masyarakat bisu, berpidato itu luar biasa.
Tak hanya Ibu Tuti, Munir juga telah mendampingi orang-orang Priok yang selama 16 tahun takut bicara mengenai kasusnya dan jadi berani bersuara lagi. Atau keluarga mahasiswa Trisakti yang sampai berani mendatangi rumah Wiranto. “Ini proses yang menurut saya penting: menjebol rasa takut,” kata Munir.
Dedikasinya mendapatkan apresiasi dari Livelihood Award dan berhak menerima hadiah ratusan juta rupiah. Saat mendapatkan uang itu, ia berkata, “Aku dikenal orang karena penderitaan korban pelanggaran hak asasi manusia. Jadi aku serahkan uang itu kepada KontraS agar bisa terus membela para korban. Aku minta sedikit saja. Biar aku bisa punya rumah sendiri di Malang.”
Ada karena Mencintai
“Bagiku ini dunia lain, ya. Aku kayak menemukan sesuatu, lalu aku memutuskan untuk hidup di situ,” ujar Munir mengenai kecintaannya dalam membela korban pelanggaran HAM.
Hidupnya ia dedikasikan untuk para korban yang takut berbicara dan tak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk memperjuangkan haknya. Dimanapun ia berusaha untuk membangkitkan keberanian di masyarakat. Ia mendidik orang di sekitarnya, pedagang pasar, wartawan, dan para korban, bahwa jika kita melawan bukan berani kita akan habis. “Media massa dulu takut mewawancaraiku,” katanya. Karena dia selalu mengangkat isu orang hilang. Akhirnya sedikit demi sedikit media mencoba menggunakan perlawanan KontraS untuk mengukur seberapa besar toleransi negara terhadap media yang meliput isu sensitif seperti itu. Media pun semakin berani.
Kapanpun ia juga akan selalu lari meninggalkan kepentingan pribadinya untuk mendatangi para korban yang membutuhkan pertolongannya. Seperti saat ia mengetahui istrinya positif hamil, dia senang dan mengajak istrinya makan enak di restoran. Namun kemudian dia ditelepon LBH, katanya ada yang mengaku temannya datang ke kantornya dan kakinya pecah. “Larilah aku ke kantor, bawa istri,” katanya.
Masyarakat dapat merasakan cinta Munir terhadap keadilan dan menghormati atas segala yang ia lakukan. Sampai-sampai ketika seorang maling mengetahui bahwa motor curiannya milik Munir, motor itu dikembalikan. Bahkan seorang maling tak sampai hati mencuri motor bebek dari seseorang yang dikenal memperjuangkan keadilan.
Anda Ada karena Apa?
Di pinggir jalan Brooklyn New York, pernah ada papan bertuliskan, “You exist only in what you do.” Seperti Munir, ia ada karena membela, melawan, mendampingi, dan mencintai. Bukan ada karena apa yang ia miliki atau apa yang ia kenakan.
Menolak melupakan Munir dapat dimulai dengan menjadi seperti dirinya. Seperti Anda ada dan dikenang karena Anda seorang ibu rumah tangga yang sangat menyayangi anak unconditionally. Atau karena Anda sedang mendesain berbagai infografik untuk menyebarkan informasi ke masyarakat. Atau karena Anda seorang guru yang selalu menginspirasi anak didiknya untuk meraih ilmu setinggi-tingginya. Atau karena Anda baru saja menyelamatkan kucing jalanan dari bahaya. Atau karena Anda seorang murid yang baru saja meraih nilai tinggi di sekolah. Atau karena Anda memenangkan kompetisi lari maraton. Atau karena Anda seorang jurnalis yang melawan arus. Atau karena Anda seorang sopir Go-Jek yang semangat mengantarkan makanan kepada para pelanggan. Atau sesederhana karena Anda seseorang yang selalu mampu membuat orang lain tertawa dengan sejuta cara.
Itu adalah orang-orang hebat yang ada dan dikenang karena apa yang mereka lakukan dan menjalaninya dengan sungguh-sungguh. Seperti Munir. Walaupun telah dibunuh 12 tahun lalu, namun ia akan selalu ada.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.