tirto.id - Lima tahun silam, Indonesia mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terhebat dalam dua dekade terakhir. Menurut catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luasan hutan dan lahan yang terbakar sepanjang 2015 mencapai 2,61 juta hektar atau hampir setara dengan akumulasi luas karhutla sepanjang 2016-2019 yakni 2,78 juta hektar. Gawatnya, 33 persen atau 869.754 hektar dari total cakupan karhutla terjadi di lahan gambut yang merupakan ekosistem terestrial paling efisien dalam menyimpan karbon dan mengelola sumber daya air tawar global. Sementara 67 persen kebakaran terjadi di 1.741.657 hektar tanah mineral.
Kala itu karhutla tersebar di 31 provinsi, kecuali DKI Jakarta, Yogyakarta dan Kepulauan Riau. Cakupan kebakaran terluas terjadi di Sumatra Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Papua. Tak tanggung-tanggung, luas karhutla di Sumatra Selatan bahkan mencapai 646 ribu hektar atau seperempat dari total luasan karhutla pada tahun tersebut. Selain Sumatra Selatan, karhutla yang menimpa Kalimantan Tengah sepanjang 2015 juga tidak kalah mengerikan. Api menghanguskan 583 ribu hektar tanah dan lahan di provinsi terluas di pulau Kalimantan itu.
Karhutla tidak sekedar menghanguskan pepohonan dan merusak ekosistem hutan tapi juga menimbulkan maraknya penyakit pernapasan dan iritasi akibat terpapar kabut asap yang mengandung partikel debu yang sangat tinggi. Data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang termuat dalam “Statistik Lingkungan Hidup 2019” memperlihatkan, menjelang akhir tahun 2015 terdapat 311 kasus pneumonia, 415 kasus asma, 689 kasu iritasi mata, 1.850 kasus iritasi kulit dan 110.133 kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Angka penderita ISPA ini jauh lebih sedikit dari yang dilaporkan Kemenkes pada Juni hingga pertengahan Oktober yang mencapai 425.377 orang.
BNPB sendiri mencatat, bencana karhutla menyebabkan 24 orang meninggal dunia. Dua belas korban meninggal di Sumatra dan Kalimantan, delapan orang tewas di Gunung Lawu dan empat orang lainnya di Ponorogo. Menurut World Bank dalam laporannya “The Cost of Fire: An Economic Analysis of Indonesia’s 2015 Fire Crisis” (2015), kerugian akibat karhutla pada sektor kesehatan disinyalir mencapai Rp2,1 triliun. Angka ini digelontorkan pemerintah untuk menyediakan layanan kesehatan selama karhutla dan bencana kabut asap berlangsung.
Tidak hanya pada sektor kesehatan, karhutla sepanjang 2015 turut berdampak pada sejumlah sektor lain yakni, sektor kehutanan dan pertanian, pendidikan, pariwisata, perhubungan, bisnis serta lingkungan hidup. Dalam laporan yang sama, World Bank menghitung kerugian dan kerusakan akibat karhutla dan kabur asap mencapai 16,1 miliar dolar AS atau Rp211 triliun. Di antara ketujuh sektor, kehutanan dan pertanian menjadi sektor yang paling dirugikan dengan taksiran kerugian mencapai Rp120 triliun.
Kerugian pada kedua sektor disinyalir berasal dari kerusakan infrastruktur dan peralatan serta biaya rehabilitasi lahan yang terbakar untuk penanaman dan pendapatan produksi dan ekspor yang hilang semasa proses rehabilitasi. World Bank memperkirakan, kerugian pada industri pertanian tanaman pangan mencapai Rp23,7 triliun, lebih sedikit dari kerugian tanaman perkebunan yang mencapai Rp42,7 triliun atau hampir dua kali lipatnya. Tidak hanya itu, kajian World Bank menunjukkan, karhutla turut menyebabkan produksi pertanian merosot 4,9 persen pada kuartal ketiga 2015.
Pada bidang pendidikan, krisis kabut asap membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah terpaksa diliburkan hingga 34 hari. World Bank mencatat 24.773 sekolah terpaksa ditutup sementara dan 4.692.537 siswa diharuskan belajar dari rumah selama puncak karhutla pada Oktober. World Bank memperkirakan, jumlah kerugian akibat bertambahnya biaya pendidikan selama krisis kabut asap mencapai Rp540 miliar.
Karhutla juga membuat sektor perhubungan terkendala dan menderita kerugian hingga Rp5 triliun. Kabut asap yang pekat menyebabkan jarak pandang kala itu tidak lebih dari 100 meter dan memaksa banyak bandara dan pelabuhan menutup operasional mereka demi keamanan. Keadaan ini tentunya berdampak pada sektor pariwisata, perdagangan, dan manufaktur. World Bank menghitung proyeksi kerugian pada masing-masing sektor mencapai Rp5,4 triliun pada sektor pariwisata, Rp18 triliun pada sektor dan Rp8,382 triliun pada manufaktur dan pertambangan. Sementara pada aspek lingkungan hidup, kerugian akibat karhutla senilai Rp58,4 triliun atau 26 persen dari total kerugian. Angka ini didasarrkan pada perhitungan hilangnya keanekaragaman hayati dan kapasitas penyimpanan karbon. KLHK mencatat, besaran karbon yang dilepaskan akibat karhutla pada 2015 mencapai 802.870 ribu ton CO2e.
Ekonomi dan Politik di Balik Karhutla
Laporan Perkumpulan Skala Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015 (2015; 25-29) merangkum karhutla 2015 menjadi begitu dahsyat akibat kelalaian dan kesemrawutan birokrasi dalam penanganan karhutla. Dari awal tahun hingga September saja, banyak citra satelit menunjukkan 19.586 titik panas atau hotspot tersebar di enam provinsi langganan karhutla yakni Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Data BMKG sendiri memperlihatkan kerawanan titik panas dan prediksi kemarau yang kian memanas akibat anomali ikilm El Nino. Informasi ini sebenarnya cukup bisa dijadikan acuan bagi pemerintah untuk melakukan upaya preventif, mengingat Indonesia acapkali dilanda karhutla setiap tahunnya.
Namun, lemahnya koordinasi pemerintah pusat dan daerah membuat api lebih dulu melahap ratusan hingga jutaan hektar dalam kurun waktu 5 bulan. Sejak Januari, Presiden Jokowi telah memerintahkan kepala daerah untuk bersiap dalam mencegah dan mengatasi karhutla melalui Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang saat itu dijabat oleh Siti Nurbaya. Namun, pemerintah daerah nampak menutup mata akan peringatan dini yang diberikan LHK.
Menurut Perkumpulan Skala dalam buku yang sama, ada beberapa kemungkinan mengapa pemerintah daerah tampak abai terhadap peringatan ini. Saat itu, daerah tengah sibuk ‘mengurusi’ proses Pilkada 2015 yang diselanggarakan pada akhir tahun. Tentu saja Pilkada tidak dapat dikambinghitamkan atas karhutla, namun ada benang merah yang jelas menghubungkan kedua peristiwa besar ini. The Asia Foundation menemukan, banyak sekali izin-izin terhadap industri berbasis hutan dan lahan yang diterbitkan kepala daerah menjelang Pilkada. Melalui izin inilah, para penerima izin yang notabene bergerak di bidang perkebunan, kehutanan dan pertambangan diduga kuat melakukan proses pembersihan lahan dengan sistem tebas-bakar di wilayah konsesi mereka.
Praktik pembersihan lahan dengan metode pembakaran sebenarnya sudah dilarang sejak 1995 karena risikonya yang tinggi. Metode seperti ini selanjutnya hanya dilegalkan bagi masyarakat lokal melalui UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Masyarakat lokal kemudian dipersilakan membuka lahan untuk perladangan tradisional seluas dua Hektar. Sayangnya, alih-alih memberi pembatasan terhadap praktik pembakaran hutan dan lahan, regulasi ini justru memberi celah bagi legalnya pembakaran dalam skala yang lebih luas.
Studi gabungan antara Centre for International Foresty Research (CIFOR), Pusat Studi Bencana Universitas Riau dan Fakultas Kehutanan Institut Pendidikan Bogor (IPB) bertajuk “Ekonomi Politik Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah Pendekatan Analitis” (2015) menemukan adanya distribusi keuntungan yang berasal dari peristiwa karhutla dengan mencurangi UU tersebut. Para pihak yang mendapatkan aliran keuntungan ekonomi ini terdiri dari pengklaim dan pemasar lahan, pengurus kelompok tani, oknum apparat desa dan kecamatan hingga perusahaan di insdustri berbasis hutan dan lahan serta para elit lokal seperti kepala daerah.
Mulanya, masyarakat lokal maupun oknum yang mengatasnamakan masyarakat lokal akan berebut mengklaim lahan 2 hektar ‘mereka’ kepada pemerintah desa dan kecamatan dengan biaya sekitar Rp1 juta untuk pembuatan Surat Kepemilikan Tanah (SKT) dan Rp2 juta untuk Surat Keterangan Ganti Rugi (SKGR). Setelahnya, lahan akan dijual baik pada skala kecil secara perorangan maupun skala besar melalui pengurus kelompok tani. Pada proses jual beli akan dibuat kesepakatan mengenai kondisi lahan yang umumnya mengikuti permintaan pembeli, apakah lahan siap tanam, siap panen, atau hanya setengah jadi yang cuma dibersihkan.
Metode pembersihan lahan juga sepenuhnya mengikuti permintaan pembeli dengan biaya yang juga ditanggung oleh pembeli. Pada fase inilah pembakaran lahan menjadi nilai tambah. Biaya pembersihan lahan akan sangat menghemat biaya produksi apabila dilakukan dengan metode pembakaran daripada dibersihkan secara mekanis. Tim peneliti CIFOR mengemukakan biaya pembakaran lahan berkisar diangka 10-20 dolar AS per hektarnya, sementara biaya yang harus dikeluarkan untuk pembersihan secara mekanis per hektarnya mencapai 200 dolar AS.
Penelitian atas karhutla di kabupaten Bengkalis, Riau itu juga mencatat, harga lahan akan melonjak tinggi setelah dibuka dan dibakar. Harga jualnya akan mencapai Rp11,2 juta per hektar, padahal apabila hanya dibersihkan tanpa dibakar, nilai jualnya hanya berkisar Rp8,7 juta per hektar. Bisnis seperti ini biasa disebut “terima abu”, di mana pembeli menerima lahan dalam keadaan siap tanam yang umumnya diperuntukkan bagi investasi kelapa sawit dan budidaya holtikultura pada skala kecil menengah. Harga jual akan lebih melonjak lagi apabila dijual dalam keadaaan siap panen yang mencapai Rp40 juta per hektar.
Masalah lain yang memperparah kobaran api berasal dari lambatnya penanganan dan koordniasi antar lembaga terkait. Di Balik Tragedi Asap: Catatan Kebakaran Hutan dan Lahan 2015 (2015; 25-29) mencatat perpindahan tugas penanganan karhutla dari BNPB pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ke KLHK di awal pemerintahan periode pertama Presiden Jokowi justru menjadi malapetaka.
Sebenarnya perpindahan tugas ini sah-sah saja, lantaran KLHK juga mempunyai kewenangan dalam menangani karhutla di bawah koordinasi Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan pada Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim (PPI). Terlebih lagi, karhutla belum ditetapkan sebagai bencana nasional, sehingga wajar saja apabila kewenangan pengendalian karhutla tidak lagi berada di tangan BNPB. Menurut Di Balik Tragedi, karhutla tidak ditetapkan sebagai bencana nasional karena konflik anggaran: saat suatu status bencana ditetapkan sebagai bencana nasional maka anggaran dan mobilisasi sumber daya terkait bencana akan dibebankan pada pemerintah pusat.
Masalahnya, penunjukkan KLHK berbarengan dengan momentum pembenahan struktural lembaga kementerian tersebut. KLHK sendiri merupakan hasil penggabungan dua kementerian yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan yang para pejabatnya baru dilantik pada Juni 2015, bertepatan dengan awal mula terjadinya karhutla. Akibatnya, KLHK kewalahan menangani api yang terus meluas, dan akhirnya penanganan karhutla diambil alih Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kopulhukam). Sementara BNPB hanya bertugas memberikan bantuan dan pendampingan penanganan kepada kementerian dan pemerintah daerah terkait.
Karhutla Hari Ini
Setelah karhutla hebat yang menghanguskan 2,6 juta hektar hutan dan lahan dengan total kerugian Rp 211 triliun, pemerintah kemudian bebenah. Tahun berikutnya, Presiden Jokowi membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Perpres RI Nomor 1 Tahun 2016. BRG sendiri merupakan badan nonstruktural sementara yang ditugaskan untuk mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut seluas 2 juta hektar yang tersebar di provinsi Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua dalam kurun waktu 2016-2020. Pemerintah bahkan menggolontorkan dana sebesar Rp10,9 triliun untuk agenda restorasi ini.
Jokowi juga menerbitkan PP Nomor 57 Tahun 2016 sebagai perubahan terhadap PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Perubahan ini mencantumkan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut. Pada 2017, Jokowi juga menerbitkan PP Nomor 46 Tahun 2017 mengenai Instrumen Lingkungan Hidup yang merupakan seperangkat kebijakan ekonoomi yang mengedepankan pelestarian lingkungan hidup. Pada Juli 2017, Jokowi menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penundaan dan Penyempurnaan Tata Kelola Pemberian Izin Baru Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Tujuannya untuk mendukung upaya penurunan emisi, deforestasi dan degradasi hutan serta memperbaiki tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.
Sayangnya, karhutla tidak berhenti dan terus berlanjut hingga kini. Indonesia terus mengalami karhutla yang telah menghanguskan 2,8 juta hektar hutan dan lahan dalam kurun waktu 2016-2019. KLHK mencatat, hanya pada tahun 2016 dan 2017 saja pemerintah dapat menekan laju karhutla. Cakupan karhutla dilaporkan hanya seluas 438 ribu hektar pada 2016 dan menurun 165 ribu hektar pada 2017. Namun sayang, karhutla kembali meluas pada tahun-tahun setelahnya. Puncaknya pada 2019, ketika karhutla menghaguskan 1,6 juta hektar. Tahun ini, KLHK melaporkan 206.751 hektar hutan dan lahan terbakar hingga akhir Oktober.
Editor: Windu Jusuf