tirto.id - Presiden Joko Widodo mengaku mencemaskan perkembangan gig economy alias ekonomi serabutan saat ini. Sebab, fenomena ekonomi ini membuat banyak perusahaan cenderung memilih merekrut pekerja lepas daripada karyawan tetap. Hal ini pun membuat sektor pekerja informal tumbuh lebih tinggi dibanding sektor formal.
Menanggapi kekhawatiran tersebut, Menteri Koperasi dan UKM (Menkop UKM), Teten Masduki, menilai pemerintah seharusnya bisa mendorong hilirisasi produk-produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Apalagi, UMKM pada dasarnya dapat mengolah berbagai sumber daya yang dimiliki Indonesia dalam skala industri kecil dan menengah.
“Hasil perkebunan, hasil pertanian, sektor kelautan, [dapat diolah] menjadi barang setengah jadi atau jadi yang bisa mensuplai industri, dalam negeri maupun luar negeri. Syukur-syukur kita sudah bisa bikin hilirisasinya. Jadi, hilirisasi ini sekarang justru harus dilakukan oleh UMKM,” jelas Teten saat ditemui awak media usai membuka acara Cerita Nusantara dari Indonesia untuk Dunia, di Istora Senayan, Jumat (27/9/2024).
Sayangnya, kini UMKM sering kali hanya dipandang sebelah mata dan dianggap hanya bisa memproduksi keripik, akik, batik, atau kosmetik.
Menurut Teten, pemerintah harus menyediakan teknologi yang dibutuhkan UMKM untuk meningkatkan hilirisasi produk. Anggaran untuk penyediaan teknologi bagi hilirisasi produk UMKM ini, kata Teten, dapat dipenuhi dari dana jumbo yang telah dialokasikan Kementerian Keuangan kepada beberapa kementerian, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) atau Kementerian Pertanian.
“Murah kok, katakanlah Rp10-20 miliar [teknologi] udah bagus. Kita bisa bikin. Cuma kalau kami, Rp200 [miliar] aja setahun. Cuma budget Kementerian Koperasi kan kecil. Kementerian lain pada punya. Di KKP ada. KKP bisa bikin untuk yang hidrolisat ikan [susu ikan] karenaduitnya banyak. Di Pertanian banyak tuh. Hilirisasi sawit aja, misalnya, masak kita hanya jual CPO sama minyak gorengnya aja. Kita bisa bikin hilirisasi,” jelas Teten.
Sementara itu, dengan hilirisasi, Indonesia bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas, tak hanya bertumpu pada sektor industri yang hanya terpusat di Pulau Jawa. Dengan pertumbuhan berkualitas, pemerintah pun bisa mengundang investor untuk masuk dan mendanai program hilirisasi produk UMKM.
“Nah, di sini perlu ada kebijakan industri investasinya yang sejalan. Karena, misalnya, UMKM kita kan disconnected dengan industri sebagian besar. Ya enggak mungkin perusahaan besar mau menggandeng UMKM sebagai supply chain yang kalau kebijakan investasinya enggak ketat,” sambung dia.
Dengan masuknya investasi dan peningkatan produksi karena hilirisasi, tenaga kerja yang dibutuhkan oleh UMKM pun akan semakin besar. Ini artinya kebutuhan tenaga kerja nantinya tidak hanya akan berasal dari industri manufaktur atau pengolahan saja.
“Seperti yang disampaikan oleh Bank Dunia, Indonesia harus segera menyiapkan lapangan kerja yang berkualitas. Hari ini, 97 persen lapangan kerja oleh UMKM, 96 persen itu mikro, informal,” beber Teten.
Sementara itu, dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja, Teten mengakui, pemerintah masih gencar mencari investasi asing untuk memodali jalannya industri manufaktur. Namun, seiring perkembangan teknologi dan implementasi pabrik pintar (smart factory), dia khawatir tenaga kerja manusia akan semakin terpinggirkan. Padahal, selama ini manufaktur selalu dianggap sebagai industri padat karya dengan banyak tenaga kerja.
“Karena itu, maka pilihannya UMKM jangan dilihat lagi hanya sekedar bumper economy atau ekonomi subsisten. Ekonomi hanya untuk kebutuhan keluarga. Tapi, harus dilihat lagi UMKM sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, bagian daripada industrialisasi. Nah, apa caranya? Saya kira seperti McKenzie bilang, pendekatannya harus dengan teknologi modern,” tegas Teten.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi