tirto.id - Wacana mengganti gubernur yang kembali maju dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan perwira polisi belum menemui titik terang. Presiden Joko Widodo belum juga mengambil keputusan meski masalah ini relatif mendesak untuk ia selesaikan.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengemukakan dua alasan mengapa ia mengusulkan hal ini. Pertama, dengan polisi menjadi gubernur sementara–istilah Undang-undangnya penjabat (pj) gubernur–maka keamanan dan netralitas Aparat Sipil Negara (ASN) bisa dimaksimalkan. Alasan kedua adalah tidak cukupnya stok pejabat eselon I di Kemendagri.
Dalam Pasal 201 ayat (10) UU 10/2016, disebutkan bahwa "untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan."
Sementara dalam Permendagri No 1/2018 Pasal 4 ayat 2: "penjabat gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintah pusat/provinsi."
Apa yang dimaksud "pejabat tinggi madya" berdasarkan Pasal 131 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah mereka yang tergolong ke eselon I A dan eselon I B. Di Kemendagri, mereka yang masuk dalam kategori itu ada 16 orang, akan tetapi lima di antaranya masih berstatus belum tetap, atau pelaksana tugas (plt).
Menurut Tjahjo, eselon I yang masih berstatus plt tidak bisa ditunjuk menjadi pj gubernur. Ia juga enggan menugaskan semua eselon I di Kemendagri menjadi pj.
"Kalau semua dilepas, kosong Kemendagri," kata Tjahjo, Kamis (25/1) lalu.
Alternatif yang Tidak Bikin Gaduh
Menurut Kepala Pusat Penerangan Kemendagri, Arief M Edie, Jumat (26/1) pekan lalu, ada sembilan daerah yang membutuhkan pj gubernur dan dua wilayah pjs. Jika seluruh daerah yang membutuhkan pj/pjs diisi oleh orang-orang eselon I Kemendagri minus yang masih berstatus plt, maka memang betul roda organisasi mereka akan terganggu. Sulit membayangkan sebuah kementerian bisa berjalan tanpa ada satu pun pejabat eselon satu di dalamnya.
Namun, defisit eselon I tidak serta merta bisa jadi pembenaran untuk menarik polisi aktif jadi pj gubernur. Selain karena melanggar Pasal 28 ayat (3) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang melarang polisi aktif berpolitik, sebetulnya ada opsi lain yang sangat mungkin bisa diambil tanpa perlu melanggar aturan apapun: merekrut pejabat eselon I dari kementerian lain.
Berdasarkan data yang dihimpun tim riset Tirto, hingga Januari 2018 ada 481 pejabat eselon I dari seluruh Kementerian/Lembaga (K/L). Jumlah yang jauh lebih besar ketimbang yang dibutuhkan.
Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PPP, Achmad Baidowi, mengatakan bahwa hal tersebut dimungkinkan. "Tidak semuanya (pj atau pjs) bisa diambil dari eselon I Kemendagri," ujar Awiek, sapaan Baidowi kepada Tirto, Rabu (31/1) kemarin.
Ia menampik kekhawatiran kalau pejabat eselon I non-Kemendagri tidak mampu mengemban tugas sebagai pj gubernur. Sebab, katanya, jabatan tersebut lebih membutuhkan mereka yang cakap kemampuan manajerialnya, terlepas dari apa latar belakang disiplin ilmu masing-masing.
"Kalau pendekatannya disiplin ilmu pemerintahan, maka kepala daerah [sekarang] banyak yang tidak sesuai," ujarnya.
Menurutnya, menunjuk pejabat eselon I dari dari luar Kemendagri lebih baik ketimbang menempatkan polisi, bahkan TNI sekali pun. Karena menurutnya jika sampai polisi atau TNI yang jadi pj gubernur, justru potensi gaduh di wilayah tersebut akan semakin tinggi.
Terlebih kalau ternyata di tempat itu ada calon gubernur/wakil gubernur yang berasal dari TNI-polri. Kecurigaan adanya penyalahgunaan wewenang justru semakin kental. Dan memang demikian. Asisten Operasi Kapolri, Irjen Pol M. Iriawan disebut bakal menjadi pj Gubernur Jawa Barat, mengisi posisi yang ditinggalkan Ahmad Heryawan mulai 13 Juni 2018. Sementara di sana, salah satu kandidat yang maju adalah mantan Kapolda Jabar, Anton Charliyan.
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf punya pandangan yang sedikit berbeda. Meski setuju dengan solusi menempatkan pejabat eselon I sebagai pj gubernur, akan tetapi menurutnya posisi tersebut baiknya diisi pejabat wilayah terkait.
"Bisa diambil bukan hanya dari kementerian saja, tapi juga bisa dari Sekda (Sekretaris Daerah) misalnya. Sekda kan juga eselon I B, bisa dijadikan pj/pjs," ujar Asep kepada Tirto.
Mengenai kecurigaan Kemendagri soal Sekda yang bakal berpihak pada petahana, Asep mengatakan bahwa itu tidak beralasan. Menurutnya jika yang jadi pertimbangan adalah karena faktor kecurigaan, maka sebetulnya penunjukan polri/TNI pun bisa dicurigai.
"Sekarang saya balik tanya, apa benar dari polisi tak ada keberpihakan? Jaminannya apa?" tanya Asep, retoris. "Hemat saya, lagi-lagi itu bergantung pada pengawasan," katanya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino