tirto.id - Tahun lalu aku menghadapi sebuah kegagalan besar dalam hidup. Aku frustrasi dan mencoba pergi ke Jembatan Mapo yang melintasi derasnya arus Sungai Han, sungai terbesar di Seoul. Tempat favorit bagi orang-orang yang ingin mengakhiri hidup.
Aku lalu berdiri di atas jembatan, mendongak ke bawah dan berkata dalam hati, “Oh harus setinggi ini.”
Tapi niat itu masih kuurungkan. Dan hari-hari berjalan seperti biasa sampai kutemukan informasi tentang kelas kematian di meja kerja. Kuputuskan untuk ikut dan semua mengubah pemikiranku. Aku hidup kembali!
Sebuah blog bernama “Amodi” menceritakan pengalamannya ikut dalam kelas kematian di Korea Selatan. Perempuan itu semula memiliki niatan bunuh diri karena masalah hidupnya yang pelik. Namun, setelah mengikuti kelas kematian, niatnya terhenti.
Korea Selatan, seperti dalam warta New York Times, punya cara unik untuk mengurangi kejadian bunuh diri yang angkanya cukup tinggi di negara itu. Sebuah pusat pengobatan bernama “The Hyowon Healing Center” di Seoul memiliki kelas kematian untuk memberi pengalaman mati pada pesertanya. Mereka memulai program ini sejak 2012 disponsori oleh sebuah perusahaan pemakaman, dan dibuka secara cuma-cuma.
Untuk mengikuti kelas kematian, calon peserta cukup mengisi formulir berisi nama, usia dan pekerjaan. Setelahnya, mereka diminta berfoto untuk acara pemakaman dan langsung menuju sebuah ruangan. Ruangan itu berisi seminar singkat selama 30 menit tentang kematian dan bunuh diri. Menyadarkan mereka tentang betapa hidup sangat berharga.
“Kau punya pekerjaan bagus. Apa kau benar-benar kekurangan? Ingatlah satu per satu keluargamu,” begitu kira-kira pesan yang mereka sampaikan.
Usai seminar, peserta diminta mengambil hasil foto dan menuju ruang lain yang lebih temaram dari ruang sebelumnya. Ruang itu dihiasi banyak krisan, peti mati, dan meja-meja kecil. Di sini peserta menuliskan surat wasiat selama 5-10 menit, membacanya keras-keras sembari diiringi alunan lagu sendu.
“Saat aku mulai menulis surat wasiat, satu per satu keluargaku muncul di depan mata, ayah, ibu, saudara laki-lakiku,” tulis Amodi.
Mereka lalu mengenakan baju kematian dan pelan-pelan masuk ke dalam peti. Seorang pria dengan jubah hitam sebagai “utusan dari dunia lain” menutup peti tersebut. Setelah lima menit berlalu, peti mati dibuka dan mereka menyebutnya dengan “kehidupan baru.”
Peti itu sangat sempit, terutama di bagian bahu. Hal yang paling menakutkan adalah semuanya gelap, bahkan ketika mereka membuka mata. Tiga menit yang membikin frustrasi dan membuat mereka berpikir, “Seperti inikah kematian?”
“Setelah peti mati dibuka, aku merasa sangat nyaman, rasanya tak pernah cahaya tampak begitu cerah.”
Kelas Kematian Populer di Korea
Seorang fotografer dari Perancis, Françoise Huguier, mengabadikan proses-proses kelas kematian ini dalam jepretan kameranya. Saat peti mati dibuka, beragam reaksi muncul, beberapa orang menangis, ada yang tampak lebih bahagia dan rileks, sebagian langsung berswafoto, Tapi ada juga yang malah tertidur.
“Ini pengalaman unik di Korea Selatan. Di tempat lain Anda akan disarankan pergi ke psikolog tapi tak akan melewati pengalaman mati, karena malah akan dianggap gila.”
Kelas ini tak hanya diisi oleh anak-anak muda yang depresi. Tapi juga orang tua, karena banyak di antara mereka yang merasa jadi beban keluarga. Jeong Yong-mun, direktur program Hyowon, mengatakan telah ada 15 ribu orang yang mengikuti kelas kematian ini sejak 2012 hingga 2016.
Mereka adalah orang-orang yang berniat menghilangkan dorongan bunuh diri. Ada juga perusahaan yang mengirim karyawannya sebagai bagian dari program motivasi. Tapi ada pula peserta dengan penyakit terminal—penyakit yang tak bisa disembuhkan—yang ingin mempersiapkan diri sebelum kematian.
Korea Selatan memiliki tingkat bunuh diri tertinggi di antara 34 negara Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development – OECD). Kaum mudanya banyak tertekan karena tugas sekolah, ujian, dan persaingan kerja. Mereka berlomba-lomba masuk di perusahaan besar atau menjadi seorang idol.
Jeong tak menampik adanya peserta yang nampak mengerikan karena dianggap terlalu nyaman berada di peti mati. Namun, setelah mengikuti kelas, sebagian besar dari mereka jadi “sadar” dan mendapat pandangan baru tentang kehidupan.
Seperti yang dituliskan Amodi di akhir cerita blognya, “Ini 6 jam setelah kelas, aku banyak menangis dan mataku masih sakit. Tapi, jantungku masih berjalan, ada darah dalam tubuhku, aku hidup, terima kasih aku bisa melihat cahaya lagi.”
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani