tirto.id - "Bubar! Bubar! Bubar!"
"Copot sekarang!"
"Gak boleh ada Wiji Thukul di Jogja!"
"Puisi apa? Wiji Thukul ini PKI!"
Pada Mei 2017, dilangsungkan Acara pameran seni karya seniman Andreas Iswinarto berjudul "Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa". Dalam acara yang diadakan di Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini, juga ada diskusi tentang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi
Sayang, pameran penghormatan terhadap sosok seniman Wiji Thukul ini kemudian digeruduk oleh beberapa orang yang mengaku berasal dari organisasi masyarakat Pemuda Pancasila. Orang-orang ini berteriak dan mengintimidasi panitia. Mereka memaksa panitia melepas semua hasil karya Andreas yang ditempel di tembok. Beberapa orang panitia sempat menghalangi, tapi mereka kalah banyak. Satpam kampus pun seperti tak bisa berbuat apa-apa.
"Selama ada Wiji Thukul, tak tabrak semua. Hafalin nama saya," kata salah seorang penyerang. "Kami pantau sampai beberapa hari. Kalau masih ada, aku bakar tempat ini."
Baca juga:Mengingat Thukul, Melawan Lupa
Pada 2017, ada banyak kasus pembubaran acara seni maupun diskusi. Semisal yang terjadi pada Januari. Saat itu ada pembubaran paksa Pekan Olah Raga dan Seni Waria-Bissu se Sulawesi Selatan. Yang membubarkan adalah polisi.
Pada Juli 2017, juga terjadi pelarangan diskusi Sastra Erotika Enny Arrow di Semarang. Tadinya, acara yang mengundang Khatibul Umam dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dan Purwono Nugroho Adhi dari Komunitas Openmind sebagai pembicara ini akan digelar pukul 7 malam. Namun menjelang hari diskusi, acara itu dilarang oleh Kepolisian Sektor Banyumanik.
"Kami tidak melarang, tetapi jangan digelar di situ. Karena semua kegiatan berbau pornografi seyogyanya tidak diadakan di wilayah kami," kata Kepala Polsek Banyumanik, Retno Yuli, seperti dikutip oleh Liputan 6.
Pembubaran acara seni dan diskusi merupakan pekerjaan rumah berat bagi Indonesia. Pembubaran dan pelarangan acara seni atau diskusi ini termasuk dalam serangan terhadap kebebasan artistik. Mengutip Unesco, kebebasan artistik adalah: kebebasan untuk berimajinasi, membuat, dan mendistribusikan ekspresi kebudayaan yang beragam, bebas dari sensor pemerintah, campur tangan politik atau tekanan dari pihak non negara. Ini termasuk hak semua warga negara untuk bisa mengakses karya seni.
Tahun 2017, Unesco merilis laporan berjudul Reshaping Cultural Policies: Advancing Creativity for Development. Dalam laporan itu, ada satu bab bertajuk "Promoting the Freedom to Imagine and Create". Dari sana, diketahui bahwa ada semakin banyak serangan terhadap kebebasan artistik dan berpendapat di dunia.
Pada 2014, ada 90 serangan yang terjadi. Jumlah itu melonjak jadi 340 laporan pada 2015. Dan pada 2016, jumlahnya kembali meningkat jadi 430. Serangan ini tidak melulu berupa intimidasi fisik seperti yang dilakukan pada pameran Wiji Thukul. Tapi juga penyensoran. Pada 2016, bentuk penyerangan paling banyak adalah penyensoran, yakni 252 kasus.
Laporan itu juga menyebut bahwa penyerangan terhadap kebebasan artistik ini tidak hanya dilakukan oleh aktor negara (misalkan kepolisian), tapi juga oleh aktor non-negara, seperti kasus pembubaran pameran dan diskusi oleh ormas.
Baca juga:Negara yang Keranjingan Sensor
Pada 2016, serangan terbanyak dilakukan pada musisi, yakni sejumlah 86 serangan serius. Salah satu yang paling tragis adalah penembakan di klub malam Pulse, Orlando, pada 12 Juni 2016.
Unesco belum merilis jumlah laporan penyerangan pada 2017. Tapi sudah ada dua kasus besar di tingkat dunia. Pertama adalah bom di konser Ariana Grande yang diadakan di Manchester Arena, Mei silam. Lalu penembakan di Festival Panen Route 91, Las Vegas, pada Oktober 2017. Penembakan ini menewaskan 58 orang.
Baca juga:Mengapa Teroris Menyerang di Konser Musik?
Namun, Unesco juga memberi catatan tentang angka laporan serangan ini. Angka pelaporan ini lebih merupakan cerminan dari dua hal. Pertama adalah meningkatnya pengawasan terhadap kebebasan seni. Semakin luas jangkauan pengawasannya, akan semakin banyak ditemukan kasus-kasus serupa. Kedua, angka itu juga berarti meningkatnya pemahaman para seniman terkait tantangan dan tentangan yang harus mereka hadapi.
Kebebasan seni dan berekspresi adalah salah satu prinsip dari Konvensi tentang Perlindungan dan Promosi Ekspresi Keragaman Budaya yang dibentuk oleh Unesco pada 2005 silam. Indonesia sendiri termasuk dalam negara tambahan yang bergabung dengan konvensi ini.
Salah satu prinsip konvensi yang dikenal dengan sebutan 2005 Convention ini adalah: keberagaman budaya hanya bisa dilindungi dan dipromosikan jika ada jaminan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental seperti kebebasan berekspresi, informasi, dan komunikasi, juga terjaminnya hak seseorang untuk bisa memilih ekspresi kulturalnya sendiri.
"Kreativitas amat penting dan diperlukan untuk perkembangan kebudayaan yang bergairah, juga penting sebagai fungsi masyarakat demokratis," ujar Farida Shaheed, mantan Penilai Khusus PBB bidang hak kebudayaan.
Saat ini, ujar Jodie Ginsberg, ada semakin banyak bentuk kesenian. Namun ia juga menyebut bahwa ada semakin banyak upaya untuk menyerang kebebasan artistik ini. Mulai dari intimidasi, serangan fisik, hingga sensor.
"Bentuk seni terbaik selalu mendapat pertanyaan dan tantangan yang besar, dan penting sekali bagi kita untuk melawan sensor di manapun kita temukan," ujar Chief Executive perkara Index of Cencorship di Unesco ini.
Cara untuk melawan sensor ini harus dilakukan secara sistematis. Ia memberi contoh sederhana: mendokumentasikan dan terus mengawasi sensor. Kerja sama dengan kepolisian dan pihak penegak hukum untuk mengadvokasi pertunjukan atau pameran seni juga amat penting. Selain itu, bantuan dari lembaga hukum juga bisa digunakan, terutama terkait hak dan kewajiban para seniman.
Upaya yang juga sebaiknya tak luput untuk mengurangi serangan terhadap kebebasan seni ini adalah: menjalin hubungan baik. Tidak hanya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Badan Ekonomi Kreatif, misalnya. Tapi juga dengan warga lokal, dan masyarakat umum. Selain itu, menciptakan jaringan dengan organisasi di luar sektor kebudayaan juga penting—semisal aliansi dengan lembaga advokasi atau organisasi buruh.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani