Menuju konten utama

Menimbang Faedah Museum Demokrasi yang Diusulkan Ridwan Kamil

“Bisa jadi maslahatnya untuk kepentingan pribadi lebih banyak daripada untuk kepentingan rakyat. Itulah sebenarnya yang harus ditimbang, untung ruginya apa sih. Ketika maslahatnya lebih banyak ya silakan, tapi ketika maslahatnya lebih kecil, kepentingan rakyatnya lebih sedikit, ya buat apa,” ucap Ujang Komarudin, Direktur Eksekutif Indonesia Political Review.

Menimbang Faedah Museum Demokrasi yang Diusulkan Ridwan Kamil
Direktur HCM Telkomsel Irfan A Tachrir (kiri), Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (tengah) dan CEO Mobisaria Dadang Gemilar Suprayogi, menempelkan tangan pada layar saat peluncuran program Patriot Desa Digital, di Bandung, Jawa barat, Senin (1/4/2019). ANTARA FOTO/HO/foc.

tirto.id - Pemilu bukan ajang jentaka. Namun, Pemilu 2019 memakan banyak korban. Pelaksanaannya yang serentak antara Pilpres dan Pileg membuat para petugas KPPS kelelahan. Sebagian dari mereka meninggal dunia, sebagian lagi jatuh sakit.

Hingga 24 April 2019, tercatat ada 144 petugas KPPS yang meninggal dan 883 orang sakit akibat kelelahan menjalani tugas di TPS.

Dari seluruh wilayah di Indonesia, Pulau Jawa tentu menjadi daerah yang paling banyak memiliki TPS. Jawa Barat adalah daerah dengan jumlah DPT dan TPS terbanyak. Maka tak mengherankan jika korban meninggal dunia paling banyak juga terjadi di provinsi ini.

Menanggapi hal ini, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, mengatakan bahwa para petugas KPPS itu adalah pahlawan Pemilu. Ia juga mengusulkan agar nama-nama petugas KPPS tersebut diabadikan di Museum Demokrasi yang rencananya akan dibangun oleh Pemprov Jawa Barat bekerja sama dengan KPU dan Bawaslu.

“Ada rencana membangun Museum Demokrasi dan di dalamnya akan ada tribute to pahlawan demokrasi,” ujarnya seperti dikutip Republika.

Ia menambahkan, museum ini rencananya akan menampilkan pelbagai hal tentang dunia demokrasi, khususnya yang terjadi di Jawa Barat. Namun, ia tak menjelaskan apakah demokrasi ini hanya sebatas peristiwa-peristiwa sekitar pemilu atau demokrasi dalam pengertian yang lebih luas.

Pembangunan Museum Demokrasi, imbuh Emil (sapaan Ridwan Kamil), seiiring dengan rencana penyatuan kantor KPU dan Bawaslu Jawa Barat yang selama ini berjauhan. Rencana penyatuan ini dimaksudkan agar keduanya mampu bersinergi dan berkoordinasi secara baik.

“Kami sudah berkomitmen di tahun-tahun mendatang kita ingin gedungnya Bawaslu dan KPU ini bersatu, enggak berpisah-pisah kayak sekarang, termasuk rencananya akan membuat Museum Demokrasi Jawa Barat. Sedang disiapkan,” imbuhnya.

Jika pembangunan Museum Demokrasi berada dalam wacana penyatuan kantor KPU dan Bawaslu Jawa Barat, artinya kita dapat menerka bahwa demokrasi yang hendak ditampilkan dalam museum ini hanya sebatas demokrasi pemilihan umum.

Selain berencana mengabadikan nama-nama petugas KPPS yang menjadi korban dalam Pemilu 2019, Pemprov Jawa Barat juga memberikan santunan kepada para ahli warisnya. Satu ahli waris mendapatkan santunan sebesar Rp50 juta rupiah.

Di Jawa Barat, selain anggota KPPS, petugas lain yang meninggal dunia dan mendapat santunan adalah petugas PPS, PPK, pengawas pemilu, linmas, dan petugas dari kepolisian.

“Saya mewakili masyarakat yang hampir 50 juta dan birokrasi Pemprov Jawa Barat, dari lubuk hati yang paling dalam menyampaikan duka cita,” ucapnya seperti dilansir CNN.

Menurut Sekda Jawa Barat, Iwa Karniwa, kelengkapan administrasi yang mesti disiapkan oleh para ahli waris adalah KTP, Kartu Keluarga, dan nomor rekening, untuk kemudian ditransfer. Semuanya harus berkoordinasi dengan KPU dan Bawaslu setempat.

Komprehensif dan Sinambung

Menurut Affan Sulaeman, pengajar di FISIP Universitas Padjadjaran, jika pembangunan Museum Demokrasi di Jawa Barat berhasil diwujudkan, hal itu akan menjadi museum demokrasi pertama di Indonesia.

Affan menambahkan, sebagai bahan pendidikan ia sepakat dengan ide tersebut. Berdasarkan pengalamannya saat menjadi anggota KPU Jawa Barat periode 2003-2008 dan sempat berkunjung ke Australia, museum serupa telah hadir di negeri Kanguru dan menjadi bahan pendidikan politik yang baik bagi warga.

Hanya saja tambah Affan, dalam konteks Indonesia, Museum Demokrasi ini mesti jelas juga batasannya. Apakah demokrasi secara luas atau sebatas demokrasi pemilihan umum. Dan apabila dibatasi hanya seputar pemilihan umum, maka ia mengharapkan linikala yang ditampilkan mesti benar-benar konprehensif dan sinambung dari pemilu ke pemilu.

Ia menyebutkan linimasa yang nanti disajikan harus bermula dari pemilu pertama pada tahun 1955 lengkap dengan pelbagai fenomena dan pasang-surutnya, khususnya yang terjadi di Jawa Barat. Affan tak setuju jika yang ditampilkan hanya sebagian, misalnya hanya Pemilu 2019 untuk sekadar menangkap momentum yang tengah terjadi.

“Itu akan lebih bagus daripada sepenggal-sepenggal, sehingga historical-nya berkesinambungan. Sehingga nanti Jawa Barat punya ikon yang berbeda dengan provinsi lain. Saya terus terang saja menyambut baik kalau isinya seperti itu,” ucapnya saat dihubungi Tirto.

Selain itu ia juga menyampaikan, selama Pemprov Jawa Barat memiliki dana yang cukup untuk membangun Museum Demokrasi, dan kebutuhan-kebutuhan substansial masyarakat lainnya telah terpenuhi, hal ini tak jadi masalah.

Affan mengapresiasi saat Ridwan Kamil menjadi Wali Kota Bandung dan membuat sejumlah taman, memperbaiki trotoar serta gorong-gorong. Kini, saat Emil menjadi Gubernur, Affan mengharapkan Pemprov Jawa Barat terlebih dahulu memerhatikan kebutuhan warga yang lebih mendesak seperti ketersediaan air bersih dan masalah banjir. Namun, ia juga tak menolak jika Pemprov Jawa Barat mengerjakannya secara bersamaan.

“Boleh-boleh saja secara paralel dikerjakan sepanjang anggarannya memadai. Kan ujung-ujungnya anggaran. Jadi silakan saja yang penting semua jalan karena itu juga kebutuhan untuk masyarakat,” ucapnya.

Ukuran yang mesti diperhatikan menurut Affan adalah karena kebijakan publik itu soal mengetahui dan memenuhi kebutuhan dan keinginan publik. Pemimpin publik harus mengetahui hal itu dengan cara bertanya kepada masyarakat, dan harus segera memenuhinya.

“Tapi kita jangan apriori, kalau saya positif thinking saja. Jadi artinya sepanjang itu punya manfaat buat masyarakat, ya oke-oke saja, karena itu untuk mengingat suatu peristiwa. Cuma jangan parsial, jadi harus sinambung, jadi jangan dipotong hanya 2019 saja misalnya, sementara yang lainnya dilupakan,” pungkasnya.

Mengukur Maslahat

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, menilai langkah yang hendak diambil Pemprov Jawa Barat, khususnya Ridwan Kamil, untuk membangun Museum Demokrasi tidak lepas dari sikap politikus dalam menangkap momentum.

“Secara politis sah-sah saja, kan ini bagian dari pencitraan dirinya sebagai kepala daerah yang kebetulan kejadian terbanyak di Jawa Barat. Tentu [bagi] seorang politisi momen apa pun akan menjadikan sebagai bagian dari pencitraan. Dan itu secara politik tidak dilarang. Sah-sah saja,” ungkapnya.

Mengutip dari Hannah Arendt—teoritikus politik asal Jerman—Ujang menambahkan, "Politik memang seni mengabadikan nama seseorang".

Infografik Museum Demokrasi Jawa Barat

undefined

Sejalan dengan pendapat Affan, ia juga menekankan bahwa sebelum masuk ke poin pencitraan, politikus hendaknya mendahulukan hal-hal yang lebih substansial. Dalam kasus berjatuhannya korban para petugas Pemilu 2019 di Jawa Barat, ia mendesak pemerintah setempat untuk terlebih dulu mengurus kesejahteraan dan masa depan para ahli waris.

“Jadi diambil dulu substansinya. Substansinya adalah mereka banyak yang meninggal, lalu perhatikan dulu keluarganya. Setelah itu baru mengembangkan poin kedua, di mana menjadikan dia sebagai pahlawan demokrasi dalam pemilu ini,” imbuhnya.

Dan yang tak kalah penting dari wacara pembangunan Museum Demokrasi di Jawa Barat menurutnya adalah soal kemaslahatan. Segala sesuatunya mesti ditimbang dan diukur berdasarkan kemaslahatan bagi masyarakat.

“Bisa jadi maslahatnya untuk kepentingan pribadi lebih banyak daripada untuk kepentingan rakyat. Itulah sebenarnya yang harus ditimbang, untung ruginya apa sih. Ketika maslahatnya lebih banyak ya silakan, tapi ketika maslahatnya lebih kecil, kepentingan rakyatnya lebih sedikit, ya buat apa,” ucapnya.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh
Editor: Nuran Wibisono