tirto.id - Siklus fisiologis perempuan rentan membuat mereka mengalami status gizi kurang. Menstruasi membikin anemia, begitu pula hamil dan menyusui sangat menguras makro dan mikronutrien. Di sisi lain, asupan makanan yang mengandung zat-zat tersebut tak berbanding lurus dengan jumlah kebutuhan harian.
Situasi yang lebih pelik terjadi di negara-negara kawasan Asia dan Afrika. Rangkuman Teknis yang disusun Emergency Nutrition Network (2013, PDF) menyebut bahwa prevalensi kurang berat badan (BMI<18,4) pada perempuan dewasa lebih dari 10 persen. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, sekitar 48,9 persen ibu hamil mengalami anemia.
Angka ini naik lebih dari 11 persen dibanding riset yang sama pada 2013. Dari jumlah tersebut, 84,6 persennya adalah ibu hamil di rentang usia 15-24 tahun. Bisa dibayangkan dampak jangka panjang pada anak-anak yang lahir dari ibu dengan gizi buruk: generasi muda yang inferior.
Kisah Ema Apriana (24 tahun), ibu hamil dari Solo, Jawa Tengah, berikut agaknya dapat mewakili kondisi umum pada Riskesdas 2018. Pada akhir 2021 lalu, hasil tes kehamilannya positif. Ema lantas menjalani hari-hari di trimester pertama dengan berat. Tubuhnya serasa tak punya daya karena kadar hemoglobinnya (Hb) hanya berkisar 9.8 g/dL. Karena kadar Hb-nya kurang dari 11 g/dL, Ema dapat dikatakan mengalami anemia.
“Saya jadi sering pingsan, badan terasa lemas sekali, rasanya mau tiduran terus,” tutur Ema dalam diskusi terbatas bersama Blackmores.
Pandemi COVID-19 turut pula memperburuk kondisi kesehatan Ema. Pasalnya, penghasilan suaminya dengan standar UMR Solo jadi turun karena sif kerja yang ikut berkurang. Kondisi itu berdampak pada ketidakmampuan Ema memenuhi tambahan nutrisi selama kehamilan.
Jangankan membeli vitamin kehamilan, menggenapkan protein dan memenuhi asam folat, zat besi, yodium, kalsium, serta sumber Docosahexaenoic acid (DHA)-jenis asam lemak omega-3 sebagai mikronutrien paling penting selama perkembangan janin—pada konsumsi sehari-hari pun sulit.
Menurut Dokter Spesialis KandunganBoy Abidin, defisiensi mikronutrien seperti DHA selama kehamilan dapat meningkatkan risiko kelahiran prematur, preeklampsia, dan kondisi Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Seorang bayi dikatakan mengalami BBLR jika saat lahir berat badannya kurang dari 2,5 kg.
“Masih banyak ibu hamil belum teredukasi untuk memenuhi asupan nutrisi mikronutrien, termasuk DHA. Padahal, DHA mudah didapatkan dari ikan," ungkapnya.
Padahal, asupan DHA diperlukan untuk mendukung perkembangan mata dan otak janin, serta merangsang kecerdasan sampai kelahiran. Food and Drug Administration (FDA) merekomendasikan konsumsi ikan pada perempuan hamil sebanyak 225– 350 gram per minggu atau setara 300mg DHA setiap hari.
Sekilas, rakyat Indonesia terkesan mudah memenuhi kebutuhan konsumsi ikan karena negara kita adalah negara maritim. Namun, angka konsumsi ikan orang Indonesia ternyata masih rendah dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebut konsumsi ikan per kapita Indonesia pada 2017 adalah 47,12 kg. Sementara itu, konsumsi ikan Malaysia pada tahun yang sama mencapai 70 kg per kapita dan Jepang malah mendekati 100 kg per kapita.
Di negara ini pun, masih banyak kisah serupa Ema karena menurut survei, 25 persen ibu hamil tidak mengkonsumsi ikan selama kehamilan. Sementara itu, 75 persen lainnya hanya mengkonsumsi kurang dari 115 gram selama seminggu. Sangat jauh dari nilai rekomendasi FDA.
Perlukah Mengonsumsi Suplemen?
Selama menjalani siklus biologisnya, perempuan idealnya memang mengonsumsi asupan nutrisi lebih banyak. Misal ketika menstruasi, agar terhindar dari anemia, maka perlu suplemen tambah darah. Lalu, dilanjutkan dengan suplemen yang lebih kompleks ketika hamil dan menyusui. Mengapa demikian?
Kualitas hidup anak sangat ditentukan sejak awal janin tumbuh hingga anak berusia 2 tahun—biasa disebut masa 1000 hari pertama kehidupan (HPK). Pada periode tersebut, seluruh organ penting dan sistem tubuh, termasuk otak, tengah berkembang pesat. Karena itu, kurangnya asupan nutrisi pada periode ini memiliki dampak panjang. Salah satunya, anak akan kalah saing di dunia pendidikan dan kerja.
Agaknya memang sulit memenuhi kandungan mikronutrien selama hamil tanpa vitamin prenatal, apalagi pada trimester pertama. Pasalnya, pada periode tersebut, ibu hamil biasanya mengalami mual dan muntah luar biasa sehingga kepayahan makan. Asupan nutrisi bisa jadi malah menurun, alih-alih meningkat sesuai standar rekomendasi selama kehamilan.
Pada kasus Ema, dia akhirnya berhasil mendapat suplemen kehamilan dan menyusui di usia kehamilan empat bulan. Bantuan berupa suplemen, susu, dan biskuit tersebut dia terima dari kampanye “Blackmores Peduli Nutrisi Bunda” dan pemerintah setempat. Kabar baiknya, kadar Hb Ema mengalami perbaikan ke angka 10,3 g/dL dalam sebulan.
Studi observasional menunjukkan bahwa vitamin prenatal mengurangi risiko kelahiran prematur dan preeklamsia, serta komplikasi dengan gejala tekanan darah tinggi secara mendadak. Namun, suplemen tentu saja tidak serta-merta dapat menggantikan pola makan sehat dan seimbang. Ia hanya membantu mencegah kesenjangan nutrisi dengan menyediakan mikronutrien ekstra.
Cara terbaik menjaga kehamilan sehat tetaplah dengan menutrisi tubuh dengan makanan seimbang, tinggi sayur dan buah, cukup olahraga, tidur, serta menghindari stress.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi