Menuju konten utama
Periksa Data

Menilik Mimpi Akses Universal Listrik di Indonesia

Titik terang untuk akses listrik yang menyeluruh di Indonesia mulai tampak. Apa saja tantangan dan langkah-langkah yang perlu diambil?

Menilik Mimpi Akses Universal Listrik di Indonesia
Header Periksa Data Saat Mimpi Akses Universal Terhadap Listrik Sudah Di Depan Mata. tirto.id/Quita

tirto.id - "Habis Gelap Terbitlah Terang." Judul buku kumpulan surat R. A. Kartini itu tampaknya dapat pula menjelma sebagai ungkapan yang menggambarkan perkembangan pesat akses warga Indonesia ke layanan listrik, setidaknya dalam dua dekade terakhir.

Guru SD Xavier F. Faimau dari Kabupaten Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah salah satu orang yang merasakan perubahan besar ini. Sebelum jaringan listrik terpasang di rumahnya pada tahun 1999, Xavier mengingat betapa sulitnya untuk belajar saat malam hari. Kala itu, ia masih duduk di bangku SD dan aksesnya terhadap penerangan adalah dengan menyalakan lampu minyak tanah yang redup dan sewaktu-waktu bisa mati.

"[Manfaat listrik] sangat terasa. Saat proses peralihan itu kita sempat terbayang, coba waktu itu kita sudah bisa merasakan listrik, mungkin secara pendidikan kita pun lebih bagus," cerita Xavier kepada Tirto, 5 Februari 2021.

Xavier tidak sendiri. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) mencatat, rasio elektrifikasi mencapai 99,20 persen pada tahun 2020. Artinya, sekitar 99 persen rumah tangga di Indonesia seperti Xavier sudah menikmati akses terhadap listrik. Jumlah rumah tangga yang berlistrik ini meningkat 32 persen dalam dekade terakhir.

Pada tahun 2021, Kementerian ESDM menargetkan rasio elektrifikasi akan mencapai 99.9 persen. Perjuangan menuju akses universal terhadap listrik pun bergantung kepada beberapa langkah akhir. Apa saja tantangan dan langkah yang perlu diambil untuk mencapai target tersebut?

Tantangan di Lapangan

Faktanya, sebagian populasi memang masih belum mendapatkan akses terhadap listrik. Presiden Joko Widodo menyebut pada 3 April 2020 lalu bahwa listrik belum mengalir ke 433 desa di empat provinsi. Keempat provinsi itu yakni Papua (325 desa), Papua Barat (102 desa), Provinsi NTT (lima desa), dan Maluku (satu desa).

"Meskipun jumlahnya sedikit kalau dibandingkan dengan jumlah desa di seluruh tanah air [yaitu] 75 ribu, tapi apapun ini harus kita selesaikan 433 desa yang belum berlistrik tersebar di empat provinsi," kata Jokowi dalam rapat terbatas via konferensi daring dari Istana Merdeka, Bogor, Jawa Barat.

Ada sejumlah tantangan yang menghambat penyediaan listrik di daerah-daerah tersebut. Studi Asian Development Bank (ADB) pada tahun 2016 menilai, akses kepada 16 persen populasi atau sekitar 40 juta jiwa di Indonesia terakhir sulit dijangkau. Secara umum, Indonesia memiliki sekitar 17,000 pulau dengan kontur tanah dan persebaran penduduk yang beragam, terlebih di wilayah Terluar, Terdepan dan Tertinggal (3T).

Alhasil, penghubungan listrik pun membutuhkan modal awal yang lebih besar. Dikutip dari siaran pers, pemerintah pada 5 Februari 2020 memperkirakan akan membutuhkan dana investasi sebesar Rp10,7 triliun untuk mencapai rasio elektrifikasi 100 persen pada tahun 2020. Namun, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada saat itu baru mampu memenuhi Rp2,1 triliun.

"Makanya kami membuka peran serta privat," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana saat Rapat Dengar Pendapat dengan anggota Komisi VII DPR.

Sebelumnya, ADB memperkirakan bahwa Indonesia memerlukan delapan sampai 48 kali anggaran untuk elektrifikasi untuk menyediakan listrik kepada 10.4 juta rumah yang belum teraliri listrik pada tahun 2016. Angka ini setara dengan Rp 41-238 triliun dengan asumsi biaya untuk menyambung rumah tangga sebesar $300–1760 (Rp4,2 juta–24,7 juta).

Pandemi COVID-19 juga telah menghambat realisasi sektor ketenagalistrikan pada tahun 2020. Misalnya, Indonesia hanya mampu menambahkan pembangkit sebesar 2,866.6 megawatt (MW) atau 55 persen dari target tahun lalu yaitu 5,209.48 MW. Pandemi telah menghambat pula realisasi untuk transisi dan penambahan gardu induk untuk listrik.

"Sangat patut diduga ini semuanya lebih banyak karena COVID. Misalkan untuk pembangunan pembangkit, karena aktivitas di lapangan juga dibatasi apalagi di dalamnya ada keterlibatan tenaga kerja asing, maka kemudian terpaksa target COD (Commercial Operation Date) dimundurkan dan membuat target 2020 tidak sebagaimana yang kita kita targetkan di awal," ungkap Rida pada konferensi pers virtual pada 13 Januari 2021.

Namun, Indonesia bukan satu-satunya yang menghadapi tantangan tersebut. Tiongkok, Meksiko dan Thailand membutuhkan waktu 20 tahun untuk menaikkan rasio elektrifikasi mereka dari 30-50 persen menjadi 85-90 persen, menurut temuan ADB. Lebih lanjut, negara-negara tersebut membutuhkan 20 tahun lagi untuk mendapatkan rasio yang mendekati 100 persen.

Genjot EBT hingga Susun Roadmap

Di tengah tantangan tersebut, para penyedia akses listrik menggunakan berbagai cara agar Indonesia tetap dapat mencapai elektrifikasi 100 persen. Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) periode 2019-2028, PLN menyebutkan perluasan jaringan distribusi listrik yang sudah ada sebagai salah satu strategi yang diambil untuk elektrifikasi desa. Saat ini, PLN memiliki 22 sistem kelistrikan besar yang tersebar dari Aceh hingga Papua.

Selain perluasan jaringan, PLN membangun pembangkit yang mengutamakan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) untuk daerah yang terisolasi dan menggunakan pembangkit berbahan bakar minyak (BBM) jika EBT belum terwujud.

Sejak 2012, PLN juga telah menyusun Peta Jalan atau Roadmap Listrik Desa (LisDes) PLN untuk masing-masing provinsi yang dapat dijadikan dasar untuk perencanaan listrik pedesaan berbasis biaya terendah. Di dalamnya, terdapat antara lain rincian terkait tambahan jaringan dan perkiraan kebutuhan pendanaan untuk mengeksekusi program setiap tahunnya.

Dikutip dari siaran pers Sekretariat Kabinet (Setkab), PLN pada April 2020 berencana akan menggelontorkan Rp735 miliar untuk membangun Stasiun Pengisian Energi Listrik (SPEL) untuk pengisian tabung listrik di 433 desa yang belum teraliri listrik. Sementara itu, pemerintah akan mengucurkan Rp525 miliar dari dana desa atau pemerintah daerah untuk pengadaan tabung listrik di desa-desa tersebut.

Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini mengatakan, PLN menggunakan berbagai teknologi untuk melacak koordinat desanya di tengah medan yang berat di daerah 3T. Selanjutnya, akan dibangun pembangkit untuk SPEL yang bersumber dari potensi energi lokal, baik dari tenaga surya, air ataupun sumber lainnya.

”Dengan dukungan penuh dari kementerian, kami sudah bisa membuat program yang komprehensif untuk melistriki 433 desa di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara ini,” imbuh Zulkifli.

Selain PLN, pemerintah juga setiap tahun mengalokasikan anggaran untuk membangun pembangkit listrik, baik yang terhubung ke jaringan listrik maupun yang tidak terhubung melalui program Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE). Sebagai catatan, PLN mencakup hampir 97 persen dari rasio elektrifikasi per Semester I 2020 dan sisanya dari elektrifikasi non-PLN ataupun LTSHE, berdasarkan data Kementerian ESDM.

Fokus pada Rasio Elektrifikasi?

Manajer Program Institute Of Essential Services Reform (IESR) Marlistya Citraningrum kepada Tirto, Kamis (5/2/2021), menyebut perlu adanya perbaikan dan penyelarasan definisi rasio elektrifikasi. Menurut Rencana Strategis (Renstra) 2020-2024 Kementerian ESDM, rasio elektrifikasi adalah perbandingan rumah tangga yang berlistrik dengan jumlah keseluruhan rumah tangga Indonesia.

Akan tetapi, definisi BPS hanya terpusat pada jumlah rumah tangga yang memiliki sumber penerangan, baik dari listrik PLN maupun listrik non-PLN. LTHSE yang masuk dalam perhitungan rasio elektrifikasi pun hanya mencakup listrik sebagai sumber penerangan.

“Padahal, menurut IESR, namanya mendapatkan akses listrik itu jangan dinilai dari penerangan saja, tapi bagaimana akses listrik itu bisa digunakan untuk aktivitas dasar [...] dan juga aktivitas produktif,” ujar Marlistya.

Ia berpendapat bahwa penyediaan akses energi juga tidak sekedar angka, melainkan juga bagaimana listrik tersebut tersedia secara merata dan berasal dari sumber yang berkelanjutan. Oleh karena itu, meningkatkan penggunaan EBT menjadi salah satu langkah penting dalam memperluas akses listrik di Indonesia.

Memang, kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) cenderung meningkat sejak 2015, menurut data Kementerian ESDM. Namun, capaian bauran energi primer maupun pembangkit listrik untuk EBT saat ini masih relatif rendah jika dibandingkan dengan sumber energi lainnya selama periode 2014-2019.

Perhitungan sementara Kementerian ESDM dan DEN pun menunjukkan, bauran energi primer EBT pada Semester I 2020 berada di kisaran 10,77 - 10,90 persen. Angka ini lebih rendah dari target tahun 2020 sebesar 13,4 persen dan masih jauh dari target tahun 2025 sebesar 23 persen.

Renstra 2020-2024 Kementerian ESDM mencatat, kendala dalam implementasi EBT antara lain masih mahalnya investasi pembangkit EBT dan terbatasnya insentif untuk konservasi energi. Saat ini, pemerintah tengah merancang Peraturan Presiden (Perpres) yang akan memperbaiki harga EBT serta memberikan insentif fiskal dan perpajakan.

Terlepas dari isu rasio elektrifikasi, kestabilan aliran listrik di tempat terpencil turut menjadi permasalahan tersendiri. Xavier, Guru SDN Kecil Fatutasu di NTT, bercerita bahwa listrik bisa padam hingga empat kali dalam sehari pada saat musim hujan, termasuk saat jam kerja.

"Harapan kita, semoga jaringan listrik terutama dalam alirannya itu tetap stabil, artinya tidak [sering] padam. Dan juga, kebutuhan-kebutuhan masyarakat itu selalu dipenuhi, kalau perlu ditingkatkan pelayanannya," pungkas Xavier.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Made Anthony Iswara

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Made Anthony Iswara
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara