Menuju konten utama

Mengunjungi Lebak, yang Biasa Banjir Semata Kaki tapi Kini Seatap

Beberapa titik di Lebak Banten hancur karena diterjang banjir. Masa tanggap darurat bahkan diperpanjang hingga akhir bulan.

Mengunjungi Lebak, yang Biasa Banjir Semata Kaki tapi Kini Seatap
Warga mencari barangnya yang hilang terbawa banjir bandang di Kampung Nunggul, Lebak, Banten, Rabu (15/1/2020). ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas/af/foc.

tirto.id - Si bapak itu menarik tali setelah mengucapkan bismillah. Perlahan perahu karet yang saya dan beberapa kawan tumpangi menyeberangi Sungai Ciberang, sekira 50 meter ke arah selatan. Kami meninggalkan Kampung Susukan, Desa Bungur Mekar, Kecamatan Sajira, Kabupaten Lebak, Banten.

Dua bocah SD saya biarkan turun lebih dahulu, disusul rekan saya, Bhagavad. Kami menjejak tanah lecak, sedikit berjingkat agar kaki tak terperosok. Lantas menaiki tanah landai, kemudian menyusuri jalan setapak dari tanah yang sudah dipadatkan.

Di kiri saya banyak rumah penduduk yang telah hancur. Genting dan sisa pilar atap mencium tanah. Kusen-kusen terbelah berserakan memenuhi lahan. Bagian atas dinding batako hancur, sementara sisi bawahnya merangsek tanah.

Sampah-sampah domestik, motor, sepeda, alat masak, lemari, apa pun benda-benda di rumah, semua saling tindih di lumpur. Sebuah kulkas nangkring di atap rumah.

"Yang tidak habis pikir, bambu, pohon kelapa, akarnya bisa tercabut. Seberapa kuat air menerjang?" Bhagavad terheran-heran ketika kami melintasi pepohonan yang merebah.

Dari arah sungai, bagian kanan saya adalah lahan penuh lumpur, luasnya kira-kira lebih dari satu hektare. Ada jalan penghubung di tengah lahan yang bisa dilalui motor dan pejalan kaki menuju ke Kampung Bolang dan Kampung Susukan--dua kampung yang merupakan bagian dari Desa Bungur Mekar.

Hingga 31 Desember 2018, lahan berlumpur yang saya tatap itu adalah sawah tadah hujan. Banyak petani baru mulai menanam padi karena sawah itu efektif beroperasi di musim hujan.

Bandang

Hari pertama di tahun 2020, gerimis membasahi Desa Bungur Mekar. Meski tanggal merah, warga RT 04 dan RT 05 Kampung Susukan serta warga RT 01, 02, 03 Kampung Bolang, tetap beraktivitas seperti biasa.

Sekira pukul 09.00, air Sungai Ciberang hampir menyentuh bibir jembatan. Warga heran karena air biasanya tak setinggi ini.

Kepala Urusan Kantor Desa Bungur Mekar, Erik, yang saya temui 14 Januari lalu, mengatakan kalaupun ada genangan seperti tahun-tahun sebelumya, biasanya itu hanya semata kaki. Sementara pada hari pertama tahun baru itu air naik seatap, katanya.

Masyarakat menduga ada pintu terowongan air menuju Bendungan Karian--pemasok air ke Banten dan Jakarta--yang tidak dibuka, menyebabkan dua kampung itu jadi tempat air tumpah.

"Biasanya daerah yang kena banjir itu Rangkasbitung, tapi sekarang ini tidak kena," kata Erik. "Maka warga menyalahkan (petugas) bendungan."

Ada dua terowongan, masing-masing seluas 6 meter persegi, sebagai lintasan air Sungai Ciberang hingga ke bendungan. "Tapi belum ada warga yang pernah melihat langsung terowongan itu, sebab warga dilarang masuk," ujar Erik.

Pada 9.30, arus Sungai Ciberang akhirnya memutus jembatan. Air sungai bercampur lumpur meluap, mengisi sawah, melibas pemukiman dan pepohonan. Warga menyelamatkan diri.

Jembatan putus membuat warga memanfaatkan perahu karet sebagai alat penyeberangan antarkampung.

Bendungan Karian akan memiliki kapasitas sebesar 314.7M³, diharapkan dapat mengairi lahan seluas 21454 hektare, menyediakan pasokan air baku sebesar 9,10 M³/detik, dan menghasilkan listrik sebesar 0,65 MW.

Saya dan Bhagavad tiba di bendungan sekitar pukul 15.00, atau 30 menit arah barat dari Kampung Susukan. Dari pinggir Jalan Raya Cipanas, harus masuk lima kilometer untuk menuju ke pintu penjagaan bendungan. Sawah, perkebunan sawit, kerbau, menyambut sepanjang jalan menuju bendungan.

Truk angkut pasir berlalu-lalang di jalan berbatu itu, kadang berlubang, kadang beraspal. Membuat debu masuk melalui celah jendela jip yang kami naiki.

Kami tiba di pos jaga, bertemu dengan satpam bernama Rodi, bukan nama sebenarnya. Ketika ditanya soal tuduhan warga, ia mengaku bendungan belum beroperasi pada 1 Januari lalu.

Ia bersaksi ketika berdinas pagi di hari kejadian, "jam 9 di sini, air belum naik. Tapi masyarakat bilang 'mobil saya hanyut'. Saya bilang silakan dicek (tinggi air di bendungan)." Ia bahkan mengaku "Kalau ini tidak ada, maka habislah sampai Rangkasbitung."

Pada hari itu, sekitar 11.30, air semakin tinggi, dipenuhi sampah yang didominasi kayu.

Kami tidak bisa masuk ke titik pusat bendungan, lantaran belum mendapatkan izin dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cidanau-Ciujung- Cidurian sebagai pengelola.

Bantuan

Kementerian Sosial, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Bencana Daerah, Palang Merah Indonesia, TNI-Polri, dan instansi terkait langsung mengevakuasi warga. Pasokan makanan, pakaian, air bersih, digelontorkan.

Tenda-tenda segera didirikan. Lembaga swadaya masyarakat pun turun tangan bantu korban. Relawan, ambulans, jip, bersiaga di sepanjang jalan masuk menuju kampung, Jalan Kubang Susukan.

Data korban banjir dan longsor Desa Bungur Mekar per 14 Januari sebanyak 429 laki-laki, 554 perempuan. Total 983 orang atau 264 kepala keluarga itu terbagi atas 45 balita, 8 ibu hamil, 83 lansia, sisanya usia produktif.

"Syukur tidak ada korban jiwa," kata Erik.

Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya mengatakan pemerintah daerah akan memberikan bantuan dana Rp50 juta untuk rumah kategori rusak berat, Rp25 juta rusak sedang, dan Rp10 juta rusak ringan. Mereka juga dijanjikan bantuan Rp500 selama 6 bulan untuk menyewa kontrakan sementara rumah diperbaiki.

"Kami berharap pemulihan lokasi bencana itu bisa dilakukan secepatnya," kata politisi Partai Demokrat itu.

Kade (52), salah satu warga terdampak, mengatakan "baru saja didata" pemerintah. Ia adalah salah satu calon penerima bantuan. Ia tak tahu kapan uang diberikan.

Seperti warga lain, Kade mengaku baru kali ini banjir bisa menghantam kampungnya sedemikian parah hingga melumpuhkan semua aktivitas. Ia kini ada di tempat pengungsian.

Di tempat itu saya menyaksikan anak-anak, ibu-ibu, hingga bapak-bapak. Semuanya berceloteh, mungkin tengah berupaya melupakan apa yang baru saja mereka alami.

Masa Darurat

Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi di enam kecamatan di Kabupaten Lebak mengakibatkan 10 orang meninggal dunia dan memaksa 17.200 orang mengungsi. Ia juga menyebabkan 1.060 rumah rusak berat, 23 pesantren rusak berat, 28 jembatan rusak berat, dan 19 sekolah rusak berat.

891 hektare lahan persawahan juga rusak. "Semua areal persawahan itu berubah fungsi menjadi aliran sungai akibat banjir bandang dan dipenuhi material bebatuan lumpur," kata Nanang, petugas Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pertanian Kecamatan Cipanas, Kabupaten Lebak, Senin (6/1/2020).

Kemudian, 28 kantor desa di enam kecamatan rusak dan tiga di antaranya terendam, seperti kantor desa Desa Banjarsari, Calungbungur dan Luhur Jaya.

Lima desa di Kecamatan Lebak Gedong, delapan desa di Kecamatan Cipanas, delapan desa Kecamatan Sajira, tiga desa kecamatan Curugbitung, dua desa Kecamatan Maja, dan dua desa Kecamatan Cimarga juga terdampak.

Sedemikian parah efek banjir dan longsor menyebabkan Pemerintah Kabupaten Lebak menetapkan status tanggap darurat bencana selama dua pekan, tepatnya hingga 14 Januari.

Namun ternyata itu tak cukup. Pemerintah memperpanjang masa darurat hingga 28 Januari 2020. Alasannya karena masih ada korban yang menempati pos pengungsian.

"Kami terpaksa memperpanjang status tanggap darurat banjir bandang dan longsor hingga 28 Januari 2020," kata Ketua Pelaksana Harian BPBD Kabupaten Lebak, Kaprawi.

Bantuan masih terus berdatangan saat saya mendatangi lokasi. Relawan, aparat, jajaran pemerintah juga masih bertahan di sana guna membantu korban.

Baca juga artikel terkait BANJIR LEBAK atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino