tirto.id - Kematian merupakan salah satu peristiwa yang masih jadi misteri besar, termasuk juga hari-hari pascakematian itu. Prediksi dan penjabaran paling dekat dan tergapai akal manusia sejauh ini hanya disediakan oleh agama dan kepercayaan tertentu, bukan sains.
Sesaat menjelang mati, menurut sebuah aliran agama, manusia akan diperlihatkan amalannya semasa hidup. Kepercayaan lain bilang manusia segera pergi ke alam baka untuk mengulang fase hidup dengan reinkarnasi. Selebihnya berkisar spekulasi soal pemisahan materi antara roh dan tubuh fisik.
Sains, meski hingga kini belum mencapai konklusi yang solid, sebenarnya juga terus mencoba memahami misteri kematian. Para ilmuwan selama ini terus mencoba mendobrak batas pengetahuan duniawi mereka. Berbagai eksperimen dan pengamatan dilakukan, mulai dari percobaan memenggal kepala hewan, mengamati fase kematian lalat, sampai berusaha mengidentifikasi “bau” kematian.
Yang paling mutakhir, saintis mencari tahu titik paling awal dari fenomena ini, yakni batas antara kehidupan dan kematian.
Februari lalu, sebuah studi mengungkap kemungkinan putaran memori masa lalu pada orang yang tengah sekarat. Di detik-detik menjelang kematian, objek studi menunjukkan respons “mengingat” pada aktivitas otaknya.
Bagaimana peneliti bisa membuat kesimpulan demikian?
Jadi, penemuan ini bermula dari kasus kegawatdaruratan seorang pria berusia 87 tahun yang mengalami hematoma (pengumpulan darah dan pembengkakan) selepas jatuh dari ketinggian. Pria tersebut kemudian menjalani operasi dan kondisinya sempat stabil selama dua hari.
Namun setelahnya, dia mengalami kejang yang berlanjut pada serangan jantung. Tim dokter sempat berdiskusi dengan keluarga sebelum akhirnya memutuskan tidak melakukan resusitasi alias pertolongan lanjutan. Saat itulah, dokter menggunakan alat bernama electroencephalography (EEG) untuk merekam aktivitas listrik otak pria tersebut.
“Kami mengukur aktivitas otak menjelang kematian dan menyelidiki apa yang terjadi dalam 30 detik sebelum dan sesudah jantung berhenti berdetak,” terang Ajmal Zemmar, salah satu peneliti, sekaligus ahli bedah saraf di Universitas Louisville, Amerika.
Tepat sebelum dan setelah jantung berhenti berdetak, lanjut Zemmar, terdapat lonjakan gelombang gamma yang berinteraksi dengan gelombang alfa di otak. Kondisi ini serupa dengan reaksi otak ketika memunculkan ingatan masa lalu.
“Aktivitas ini biasa terjadi pada proses kognitif manusia sehat. Ketika terekam (dalam penelitian ini), ia bisa mendukung dugaan adanya 'recall of life’ saat manusia mendekati kematian,” tulis peneliti.
Fakta ini secara pribadi membuat Zemmar merasa bahagia. Pasalnya, meski telah meninggalkan dunia fisik—dalam kasus ini saat jantung berhenti berdetak, setidaknya manusia dapat mengingat momen terbaik dalam hidup mereka.
Lantas, apa manfaatnya bagi manusia memahami momenkematian?
Studi-studi terhadap momen atau proses kematian bukan hanya didorong oleh rasa penasaran belaka. Temuan-temuan yang dihasilkan dari studi itu nyatanya membikin akses ke pengobatan langka menjadi lebih mudah. Dalam upaya donor organ, misalnya, para ahli jadi bisa menentukan standar maksimal kapan organ donor masih “hidup” dan bisa didonorkan.
Contoh lain, ilmuwan jadi dapat mengetahui reaksi dan batas hidup-mati sel-sel tubuh. Pengetahuan akan hal itu berguna untuk pengembangan lebih lanjut pengobatan kanker atau sel punca. Nah, untuk itulah para saintis sedikit demi sedikit mengumpulkan serpihan puzzle “kematian” demi terobosan baru di bidang kesehatan masa depan.
Jika menilik ke belakang, manusia sudah berhasil menjabarkan apa yang terjadi pada tubuh saat sekarat. Penelitian terakhir bahkan mengungkap adanya aktivitas otak selama lebih dari 10 menit pascakematian.
Ketika mencapai periode sekarat, sistem tubuh mulai melambat karena jantung bekerja lebih lambat. Aktivitas jantung tersebut membuat peredaran darah ke seluruh tubuh juga ikut melambat sehingga otak dan organ-organ menerima sedikit oksigen, yang pada akhirnya membuat mereka tidak berfungsi dengan baik.
Ketika otak kehilangan oksigen, pandangan menjadi kabur dan mengantuk. Sebagian orang akan berhalusinasi atau mulai kehilangan kesadaran. Ketika jantung berhenti berdetak dan napas berhenti, dalam beberapa menit kemudian otak masih berfungsi sampai nanti sepenuhnya mati dan kulit mendingin.
Jantung dan otak memang memiliki jeda waktu mati. Sebuah studi terbitan jurnal Neuro Science Kanadamenyebut tentang temuan aktivitas gelombang otak yang bertahan sampai 10 menit setelah jantung berhenti berdetak. Kondisi itu ditemukan para dokter di unit perawatan intensif Kanada pada satu dari empat kematian yang mereka amati.
Empat pasien tersebut sama-sama tidak mendapat terapi dukungan hidup. Saat menuju kematian, mereka sama-sama mengalami ledakan gelombang delta—reaksi yang sama dialami manusia normal saat tidur nyenyak. Para dokter tetap mengamati reaksi kematian dengan mengonfirmasi matinya denyut nadi dan pupil yang tidak reaktif.
“Pada satu pasien, ledakan gelombang delta tunggal bertahan meski ritme jantung dan tekanan darah arteri berhenti. Aktivitas ledakan gelombang pada pasien keempat itu bertahan sampai 10 menit 38 detik setelah jantung berhenti,” tulis tim peneliti dari Universitas Western Ontario, Kanada.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi