tirto.id - Tarikh 29 Februari kerap dianggap menarik karena terjadi sekali dalam empat tahun. Tapi tidak bagi Sugianto, juga keluarga dan tetangganya di Kalijodo. Pada tanggal itu, ia harus merelakan bangunan yang ditempatinya sejak lahir, 45 tahun lalu, digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Seperti kebanyakan tetangganya, ia memang tak melawan. Namun, lelaki ini tak bisa menyembunyikan kegusarannya.
Sugianto merasa dirinya bukan warga ilegal. Ia mewarisi hak untuk menggunakan tanah yang yang ditinggalinya itu secara sah. “Saya diberi izin oleh negara untuk menempati tanah itu, ada surat-suratnya. Dan bukan saya doang yang punya surat itu,” katanya.
Ia juga mempertanyakan dasar penggusuran. Informasi yang datang kepadanya selama ini terasa simpang siur. “Sebagai warga negara yang baik dan taat hukum, saya ingin para pemimpin terutama pemda itu berbicara yang benar. Jangan ngomong penertiban (prostitusi), tapi yang dilaksanakan gusur,” tantangnya.
Penggusuran Kalijodo memang terkesan mendadak. Sebelum Februari 2016, warga seperti Sugianto mengaku tak pernah diperingatkan untuk meninggalkan lahan. Peringatan yang ada selama ini hanyalah imbauan supaya tidak ada prostitusi dan perjudian. Jika Kalijodo digusur hanya karena ada lokalisasi pelacuran, ia tak paham mengapa yang tidak terkait pelacuran juga mesti dibuldoser. Termasuk beberapa tempat usaha yang menyerap tenaga kerja.
Kecelakaan Maut Berujung Penggusuran
Kegusaran dan kebingungan Sugianto itu cukup wajar. Pasalnya, wacana penggusuran Kalijodo memang baru muncul setelah kasus tabrakan maut di Jalan Daan Mogot, Jakarta. Pada fajar 8 Februari 2016, Riki Agung Prasetyo mengemudikan mobil SUV dari arah Grogol ke Kalideres. Ia membawa enam temannya sebagai penumpang. Di Jalan Daan Mogot kilometer 15, pada kecepatan di atas 100 KM/jam, Riki menabrak motor.
Pasangan suami-istri pengendara motor itu tewas. Begitu pula dua teman Riki. Dari pemeriksaan kepolisian, diketahui pemuda ini menyetir dalam keadaan mabuk setelah melewatkan malam di satu tempat karaoke kawasan hiburan Kalijodo.
Selang dua hari setelah kejadian nahas itu, Gubernur Ahok mengeluarkan pernyataan keras. Kalijodo akan digusur karena memakai tanah negara. "Kawasan Kalijodo itu sudah melanggar konstitusi negara, karena berdiri di lahan milik negara. Terlebih, di situ juga merupakan jalur hijau," kata Ahok. Gubernur juga menegaskan, semua bangunan di atas tanah negara akan ditertibkan.
Pada 18 Februari, surat peringatan pertama diterima oleh warga Kalijodo untuk meninggalkan lokasi. Peringatan kedua tiba tujuh hari kemudian, sampai akhirnya 1,5 hektare lahan itu dibuldoser pada 29 Februari. Artinya, sejak pertama kali ihwal penggusuran dilontarkan, Ahok hanya perlu waktu 19 hari untuk benar-benar melumat semua bangunan di Kalijodo.
Kini, sebanyak enam RT di dua kota, Jakarta Barat dan Utara, tak ada lagi. Jakarta Barat kehilangan satu RT di kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, yakni RT 07/10. Lima RT lainnya berada di wilayah Jakarta Utara, tepatnya di RW 05 Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, yakni RT 01, 03, 04, 05, dan 06.
Ruang Terbuka Hijau, Bukan Prostitusi
Enam rukun tetangga yang hilang itu, menurut Ahok, digusur bukan karena prostitusi. Dalam surat peringatan pada warga di pinggiran Kali Angke itu, pemprov menyebutkan bahwa penertiban dilakukan karena lahan negara diperuntukkan sebagai ruang terbuka hijau (RTH). Sampai 2015, luas RTH memang baru mencapai 9,9 persen dari total wilayah DKI Jakarta. Masih jauh dari target proporsi ideal sebesar 30 persen.
Wacana penggusuran berdalih ruang terbuka hijau itu kemudian direspons publik. Di media sosial Twitter beredar potongan hasil penelitian Deden Rukmana, ahli tata ruang Savannah State University, AS, tentang pelanggaran rencana tata ruang Jakarta yang diterbitkan jurnal International Planning Studies pada 2015.
Data yang dikompilasi Deden menunjukkan wilayah Kelapa Gading, Pantai Kapuk, Sunter, Senayan, dan Tomang yang selama ini dipakai wilayah komersial dan pemukiman, ternyata seharusnya diperuntukkan serapan air, hutan lindung, area hijau, serta hutan kota. Daftar itu diperoleh Deden dari rencana tata ruang 1985-2005.
Daeng Aziz, pengusaha tempat hiburan di Kalijodo, juga mempertanyakan mengapa gedung-gedung seperti Season City dan Mal Taman Anggrek tidak digusur seperti tempatnya. Ia beranggapan tempat-tempat tersebut seharusnya dipakai untuk ruang terbuka hijau.
Namun, Ahok menyanggah tuntutan itu. Bekas Bupati Belitung Timur ini memastikan dirinya tak melanggar hukum dan peraturan. Ia juga menegaskan tak bisa menertibkan bangunan yang telanjur ada, terlebih jika mereka mengantongi surat dan perizinan resmi. “Kalau ada bangunan yang sudah terlanjur berdiri di atas lahan hijau, itu karena sebelumnya tidak ada Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur tentang lahan RTH. Jadi, peruntukannya sudah berubah," tandasnya.
Perda DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2014 memang mendukung klaim Ahok. Dalam Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi itu, kelima nama tempat seperti dalam penelitian Deden tak lagi diperuntukkan sebagai zona-zona hijau. Mal Kelapa Gading, sebagai contohnya, berwarna ungu. Artinya, ia memang diperuntukkan untuk subzona perdagangan dan jasa.
Season City pun demikian. Dalam peta zonasi, kawasan ini berwarna oranye yang berarti subzona campuran. Hal sama juga tampak dalam peta zona Pantai Kapuk, Sunter, juga Tomang. Untuk kasus di Senayan, Kementerian Lingkungan Hidup akan mengubah lapangan golf Senayan menjadi hutan kota pada 2016 ini.
Ahli tata ruang yang hasil penelitiannya viral di media sosial, Deden Rukmana, mendukung langkah pemprov DKI jika memang Kalijodo termaktub dalam perda rencana tata ruang terbaru sebagai zona hijau. Hanya saja, Deden masih melihat pelaksanaan hukum tata ruang itu tak dilakukan pada para pelaku pelanggaran ruang terbuka hijau lain.
Dari sisi pemerintah provinsi, Ahok lagi-lagi terbentur aturan dan kontrak-kontrak legal. Ahok sendiri tak paham persisnya perubahan rencana tata ruang terjadi. "Saya juga tidak mengetahui kapan terjadi perubahan peta zonasi di Jakarta. Yang pasti, kalau sudah terlanjur ada bangunan, kami tidak bisa menertibkannya karena sertifikat dan surat-surat lainnya lengkap," ungkapnya.
Kemungkinan mengalami kekalahan memang tinggi jika pemerintah DKI bersengketa menghadapi pemakai lahan yang posisinya kuat secara hukum. Pada semester pertama 2014 saja, pemprov sudah dinyatakan kalah untuk aset tanah seluas 67.239 m² yang setidaknya bernilai Rp259,05 miliar. Ini belum menghitung bahwa pemerintah Jakarta ternyata tak memegang dasar hukum atau sertifikat atas aset tanah setidaknya seluas 17.392.884 m², senilai Rp98,88 triliun.
Dari data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2015, sebanyak 35 bidang tanah milik Pemprov DKI Jakarta seluas 1.538.972m² senilai Rp 7,97 triliun tengah digugat pihak ketiga melalui pengadilan.
Terkait perkara hukum ini, Deden Rukmana paham bahwa pemerintah akan menghadapi kemungkinan tuntutan cukup berat jika harus menertibkan lahan yang didukung surat-surat resmi. “Memang tidak mudah,” katanya. “Namun, Kalijodo mesti dijadikan momentum untuk spatial law enforcement di tempat-tempat lainnya di DKI.”
Penulis: Maulida Sri Handayani
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti