tirto.id - Pada Januari lalu, Presiden Joko Widodo mengungkapkan agar masyarakat atau publik tak perlu kaget atau pun terkejut, jika pembangunan akan lebih banyak dilakukan di kawasan Indonesia Timur ketimbang kawasan lainnya. Ini dilakukan untuk mengatasi berbagai ketimpangan yang terjadi di Indonesia.
Masyarakat yang berada di Indonesia Timur terus tertinggal karena minimnya pembangunan infrastruktur seperti jalan, bandara, pelabuhan, bendungan termasuk rumah yang layak. Ini pun berpengaruh pada biaya distribusi barang dan jasa sehingga biaya hidup pun meroket.
Survei Biaya Hidup oleh Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian merunut daftar kota dengan Indek Harga Konsumen (IHK) tertinggi. IHK adalah menghitung rata-rata pengeluaran untuk barang dan jasa per rumah tangga pada sebuah kota.
Survei biaya hidup tersebut kemudian merunut daftar kota termahal di Indonesia. Lantaran kelangkaan infrastruktur dan mahalnya biaya transportasi, kota di Indonesia Timur banyak mengisi daftar 10 besar kota termahal di Indonesia.
Jayapura adalah salah satunya, bahkan menempati posisi kedua di bawah Jakarta. Dibutuhkan pendapatan sebesar Rp6,9 juta per bulan untuk setiap penduduk agar bisa hidup layak di ibukota provinsi Papua ini.
BPS menaksir sekitar 35 persen biaya hidup atau pengeluaran bulanan digunakan untuk membeli makanan. Sementara sisanya adalah untuk biaya rumah, transportasi, pendidikan dan pengeluaran lain.
Ternate mendarat di posisi ketiga kota termahal di Tanah Air. Kota yang terletak di bawah kaki gunung Gamalama itu baru saja menaikkan upah minimum menjadi 1,9 juta Rupiah. Padahal menurut BPS, biaya hidup di Ternate mencapai Rp6,4 juta per bulannya.
Ada juga Manokwari yang merupakan ibukota provinsi Papua Barat ini pun masuk dalam 10 besar kota termahal di Indonesia. Upah minimum yang ditetapkan pemkot berkisar Rp2,2 juta. Sementara biaya bulanan untuk memenuhi standar hidup layak menurut BPS adalah sebesar sebesar Rp6,2 juta per bulan. Namun, kota ini masih diuntungkan oleh sektor pariwisata.
Biaya hidup erat kaitannya dengan pengeluaran masyarakat. Begitu pun yang terjadi di Indonesia Timur. Biaya hidup yang tinggi tentunya berpengaruh pada pola pengeluaran masyarakat setempat.
Survei dari MARS yang mengambil sampel di kota Makassar, Manado, Ambon dan Jayapura mengungkapkan jika pengeluaran nonmakanan di Indonesia Timur menempati porsi yang lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk makanan.
Di Makassar, proporsi untuk nonmakanan mencapai 65,2 persen dari total pengeluaran bulanan atau sekitar Rp2,38 juta per bulan. Sedangkan pengeluaran untuk makanan rata-rata sekitar Rp1,27 juta. Di Manado, pengeluaran untuk nonmakan mencapai Rp2,20 juta per bulan sedangkan untuk makan hanya Rp1,32 juta.
Menurut survei MARS, pengeluaran nonmakanan terbesar di kawasan Indonesia Timur adalah untuk perumahan dan fasilitas rumah tangga seperti listrik, air dan biaya pemeliharaan. Rumah menjadi prioritas bagi masyarakat Indonesia Timur.
Wilayah Indonesia Timur juga menjadi perhatian pemerintah pusat untuk membangun hunian yang layak bagi. Misalnya bagi warga Papua. Ini karena rumah layak huni masih belum mencukupi untuk penduduk Papua.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Menpupera) Basuki Hadimuljono mengungkapkan pembangunan rumah khusus di Papua akan menghabiskan dana Rp400 miliar dari total anggaran pembangunan Rp1,4 triliun untuk seluruh Indonesia. Ini berarti sekitar 28 persen anggaran pembangunan di Indonesia digunakan untuk pembangunan di Papua.
Selain untuk rumah, masih ada juga pengeluran non makanan lainnya. Di Makassar misalnya, pengeluran non makanan terbesar masyarakat Makassar adalah asuransi kesehatan dna jiwa, biaya pendidikan, biaya kesehatan dan pembantu rumah tangga.
Di Manado, pengeluaran non makanan lainnya berupa biaya pendidikan, transportasi, biaya kesehatan serta pembantu rumah tangga. Dari riset ini, Manado adalah salah satu kota dengan transportasi yang mahal, dengan proporsi biaya transportasi terhadap pengeluaran bulanan masyarakat sebesar 6 persen.
Biaya kesehatan juga masih menjadi pengeluaran utama nonmakanan di Ambon. Ada juga biaya pendidikan, serta keperluan pesta. Kenapa pesta? Karena banyaknya pesta yang diadakan di sana. Dari upacara adat, maso minta (tunangan), pesta nikah, pesta ulang tahun, pesta wisuda dan pesta-pesta lainnya. Untuk pesta saja, proposinya mencapai 4,5 persen dari total pengeluaran masyarakat Ambon.
Berbeda dengan masyarakat Jayapura. Selain rumah dan fasilitas rumah tangga, pengeluaran non makanan terbesar adalah biaya obat dan multivitamin, asuransi kesehatan dan jiwa dan biaya pendidikan. Dibandingkan tiga kota lainnya, masyarakat Jayapura adalah yang paling banyak mengeluarkan biaya untuk obat.
Seperti yang terjadi di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Hamadi. Setidaknya dalam sehari, sekitar 100-300 orang datang memeriksa penyakitnya di Puskesmas ini. Sebagian besar mengeluhkan penyakit ISPA karena pola konsumsi makanan dan minuman yang kurang bersih.
Dari empat kota ini, pengeluaran bulanan terbesar untuk masyarakat Indonesia Timur berada di Kota Jayapura. Pengeluarannya mencapai Rp5,05 juta per bulan. Sedangkan Ambon adalah yang memiliki biaya hidup terendah di Indonesia Timur dengan nilai pengeluran bulanan sebesar Rp3,15 juta.
Setidaknya, kebutuhan akan rumah, kesehatan, pendidikan, transportasi adalah yang paling berpengaruh dalam pengeluaran bulanan masyarakat di Indonesia Timur, selain makanan.
Mungkin, jika ada perbaikan pada infrastruktur dan lancarnya distribusi barang dan jasa, bisa jadi pengeluaran terbesar masyarakat di Indonesia Timur bukan lagi rumah tapi kendaraan bermotor atau bisa juga biaya plesir ke negara tetangga.
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti