Menuju konten utama

Menggunakan Drone untuk Misi Kemanusiaan

Drone diterbangkan ke area kawah Gunung Agung untuk menangkap partikel debu dan memprediksi aktivitas vulkanologi

Menggunakan Drone untuk Misi Kemanusiaan
Penggunaan drone pada operasi gempa bumi Nepal. FOTO/icrc.org

tirto.id - Sudah sejak Oktober 2017 Gunung Agung yang terletak di Kabupaten Karangasem, Bali menunjukkan aktivitas seismiknya. Puncaknya pada Senin 27 November 2017, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menetapkan Gunung Agung dalam status Awas (level 4) dari sebelumnya yang berstatus Siaga.

Menurut juru bicara BNPB, Sutopo Nugroho erupsi fase magmatik disertai kepulan abu tebal terus menerus mengepul hingga ketinggian 2.000-3.400 meter dari puncak. Kadang juga disertai erupsi eksplosif dibarengi suara dentuman lemah yang terdengar sampai jarak 12 km dari puncak.

"Sinar api makin sering teramati pada malam hari berikutnya. Ini menandakan potensi letusan yang lebih besar akan segera terjadi," kata Sutopo seperti dilansir dari Antara.

Baca juga: Danau Toba, dari Legenda ke Destinasi Pariwisata

Status awas ini berlaku pada radius 8 sampai 10 kilometer dari puncak kawah Gunung Agung. "Artinya masyarakat dilarang melakukan aktivitas apa pun di dalam radius 8-10 kilometer dari puncak kawah. Di luar area itu aktivitas dapat berjalan normal dan masih tetap aman," tuturnya lagi.

Sebanyak 22 dari total 78 desa di Kabupaten Karangasem terdampak radius zona rawan. Warga di Karangasem diharuskan menggunakan masker. Aktivitas penerbangan di Bandara Ngurah Rai juga ditutup 24 jam.

Sejak itu, aktivitas vulkanik Gunung Agung berjalan fluktuatif. Pada 24 Desember 2017 kemarin misalnya, Gunung Agung dilaporkan meletus lagi pukul 10.05 WITA dan mengeluarkan asap kelabu tebal dengan tinggi kolom abu vulkanik sekitar 2.500 meter di atas puncak kawah mengarah ke timur laut.

Memasuki 2018, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM menurunkan radius aman untuk masyarakat beraktivitas di sekitar Gunung Agung menjadi enam meter. Meski begitu, statusnya sendiri masih ada di level Awas dan berada di fase erupsi dengan aktivitas vulkanik relatif tinggi dan fluktuatif.

Baca juga: Meletusnya Gunung Tambora dan Akibatnya Terhadap Dunia

Lamanya aktivitas vulkanologi Gunung Agung hingga berbulan-bulan dengan tingkat erupsi yang fluktuatif, hal ini menggerakkan berbagai elemen untuk turun tangan membantu pemenuhan kebutuhan pokok puluhan ribu warga yang terdampak. Termasuk sektor teknologi pesawat tak berawak alias drone untuk memantau Gunung Agung sedekat mungkin.

Sebuah proyek sistem penginderaan jauh di udara diterapkan untuk lebih memahami kekuatan berbahaya dalam bumi. Proyek CSR tersebut dikerjakan oleh Aeroterrascan, sebuah perusahaan pesawat nir awak dari Bandung. Adam Fish, seorang antropolog Lancaster University, belakangan menulis untuk The Conversation tentang keterlibatannya dalam proyek yang terbagi menjadi tiga fase ini.

Pada misi pertama, mereka menggunakan pesawat tak berawak untuk membuat peta 3D yang sangat akurat dari ukuran gunung berapi. Keakuratannya sampai 20 sentimeter. Ini sangat berguna untuk melihat seberapa benar pertumbuhan sebuah gunung yang punya korelasi dengan waktu gunung itu akan meledak.

Baca juga: Menanti Drone Buatan Indonesia Mendunia

Pada misi kedua menerbangkan sensor karbon dioksida dan sulfur dioksida yang bekerja dalam gumpalan-gumpalan kepulan gunung api. Kenaikan gas-gas ini kemudian yang bisa dianalisis untuk mengetahui jika terjadi letusan. Seperti ketika tingkat karbon dioksida meninggi, dapat menginformasikan ke pemerintah bahwa ada kenaikan ancaman ke tingkat yang lebih tinggi.

Misi ketiga adalah menerbangkan pesawat tanpa awak sampai ke zona merah yang dekat dengan kawah. Tujuannya untuk melihat apakah ada orang yang masih nekat mencapai daerah tersebut, sehingga dapat ditemukan dan diselamatkan.

Adam Fish menyebut, perkembangan pesawat tak berawak sekarang ini adalah langkah mutakhir dalam mengaitkan segala sesuatu di planet ini. Termasuk dalam hal ini mengumpulkan data dari udara untuk memahami perilaku gunung berapi.

Terus Mengandalkan Drone

Pelibatan drone untuk menangkap sampel debu vulkanik juga dilakukan di Guatemala. Dilansir dari Scientific American, gunung api bernama Volcán de Fuego digambarkan sangat ganas sepanjang 2017. Volcán de Fuego menyemburkan muatannya beberapa kali setiap jam dan mengamuk memuntahkan isi perutnya dengan volume besar tiap bulan.

Perilaku siklis ini memicu para ilmuwan untuk bertanya-tanya apakah ledakan raksasa akan segera muncul? Ledakan besar 1974 memecahkan rekor dengan tembakan awan abu hingga setinggi empat mil. Bila letusan serupa terulang dalam waktu dekat, lebih dari 100.000 penduduk di lereng gunung de Fuego jelas terancam.

Pada awal tahun 2017, tim ahli vulkanologi dan insinyur dari University of Cambridge mengirimkan pesawat tak berawak guna menangkap gambar aktivitas kawah yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Ketimbang mengirim manusia, drone jelas punya kemampuan memotret aktivitas kawah tepat di atasnya.

“Dari sudut pandang vulkanologi, kita tak pernah membayangkan akan melihat ledakan sedekat ini,” kata anggota tim Emma Liu. “Luar biasa”, tambahnya.

Penginderaan drone mengungkap keberadaan kerucut raksasa di dalam kawah. Liu dan rekan-rekannya menduga kerucut ini terus tumbuh tinggi membumbung hingga akhirnya perlahan runtuh, memicu lava meleleh dan mengalir turun ke lereng gunung. Pola ini terus berulang nyaris secara rutin.

Baca juga: Drone Antara Mainan dan Senjata Mematikan

Pada November 2017 lalu, anggota tim berencana melengkapi drone dengan instrumen baru penangkap partikel abu yang dapat membantu para peneliti untuk menentukan apakah Volcán de Fuego akan mengalami bencana letusan lain.

“Sensor ini tidak hanya membantu memahami emisi dari gunung berapi, namun juga dapat digunakan di masa depan untuk mengingatkan masyarakat setempat mengenai letusan yang akan terjadi—terutama jika penerbangan drone bisa diotomatisasi,” kata Emma Liu kepada Live Science.

Pesawat tak berawak atau drone dalam perkembangannya beberapa tahun ini memang menunjukkan peningkatan fungsi dan manfaat kepada peradaban manusia. Sifatnya yang mampu dikendalikan dari jarak jauh membuatnya bisa bisa diandalkan di medan berat yang mustahil dijangkau langsung oleh fisik manusia.

Pada akhir 2016 lalu, ritel raksasa Amazon memanfaatkan drone sebagai kurir pengantar barang. Sebuah paket pertama yang dikirimkan tiba 13 menit setelah pemesanan di Cambridge, Inggris. Layanan bernama Amazon Air ini mampu membawa paket seberat 2.7 kilogram dan terbang dengan ketinggian 122 meter.

Di Rwanda, drone dipakai untuk mendistribusikan paket kesehatan dengan cara menerjunkan paket yang sudah dilengkapi parasut. Dilansir dari BBC, teknologi yang disediakan oleh perusahaan startup Amerika bernama Zipline ini diklaim mampu memangkas jarak tempuh medan darat yang sulit.

Infografik drone

Drone berbentuk pesawat ini diluncurkan menggunakan sebuah ketapel raksasa dan terbang di ketinggian 152 meter guna menghindari lalu lintas udara yang dipakai pesawat penumpang. Jangkauannya sampai 150 kilometer, namun secara teori mampu terbang hampir dua kali dari jarak tersebut.

Zipline juga bekerja sama dengan perusahaan robotik di Sillicon Valley dan Kementerian Kesehatan Rwanda untuk mengembangkan paket kiriman berupa kantung darah bernama “Uber for Blood”.

Baca juga: Masa Depan si Burung Besi Mata-mata Udara Indonesia

Durasi masih jadi faktor keunggulan. Melalui drone, pengiriman darah ke daerah terpencil yang umumnya memakan waktu sampai empat jam kini hanya butuh waktu setengah jam saja.

Program yang telah berjalan selama setahun terakhir ini diklaim sudah mengirim 5.500 unit kantong darah dan seringkali dalam situasi krisis kemanusiaan. Ada 12 rumah sakit—masing-masing melayani setengah juta orang—di daerah Rwanda timur yang menerima paket darah ini. Belum pernah ada pasien yang menerima donor darah dalam waktu secepat ini.

Pendiri dan direktur utama Zipline Keller Rinaudo mengatakan bahwa proyek ini membuat Afrika timur jadi pemimpin dunia untuk pengiriman logistik lewat pesawat tak berawak.

“Sejumlah perusahaan teknologi terbesar dan terkuat di dunia masih memikirkan caranya. Afrika timur malah mencontohkannya, “ kata Rinaudo dilansir dari Guardian.

Zipline tengah berencana menyodorkan proyeknya ke pemerintah Tanzania dengan misi yang sama. Anggota Zipline juga terdiri dari para insinyur yang sebelumnya bekerja di perusahaan teknologi macam Space X, Google, Lockheed Martin, dll.

Baca juga artikel terkait DRONE atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Teknologi
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf