tirto.id - Pada Juli 1981, William J. Broad menulis sebuah artikel berjudul “The U.S. Flight from Pilotless Planes” di Majalah Science volume 213. Di salah satu fragmen tulisan, Broad bercerita soal Israel yang telah lama memiliki "supremasi" atas wilayah angkasa Lebanon karena mudahnya melakukan pengintaian udara dengan pesawat tanpa awak atau drone.
Israel sukses melakukan aksi pengintaian pada Mei 1981 di wilayah udara Lebanon. Mereka berhasil mendokumentasikan baterai sebuah misil anti pesawat buatan Uni Soviet, SA-6, yang berkilau dan tertangkap kamera pesawat nirawak Israel. Dari temuan itu, Israel lantas mengancam akan menyerang Lebanon. Kawasan Timur Tengah jadi menghangat, terutama setelah Lebanon menembak jatuh pesawat tanpa awak milik Israel.
Tertembaknya drone Israel tak lantas membuat mereka mengalami kerugian. Israel justru berhasil memboyong informasi kekuatan Lebanon lebih akurat dengan drone. Kisah ini hanyalah secuil kegunaan pesawat tanpa awak bagi dunia pertahanan. Kehadiran drone bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, termasuk pengintaian dan serangan terhadap negara lain.
Jauh sebelum penggalan kisah itu, awalnya drone atau RPV alias Remotely Piloted Vehicles telah digunakan oleh Amerika Serikat ketika perang Vietnam meletus. Sebelum Perang Vietnam, penggunaan pesawat tanpa awak oleh AS, telah diungkap lebih dahulu pada 1965 oleh Cina. Cina berhasil menambak jatuh drone yang digunakan AS.
Cina mengabarkan pada dunia bahwa negara adidaya tersebut memiliki teknologi pesawat yang dikendalikan dari jarak jauh. Broad mengungkapkan bahwa AS menerbangkan 3.000 RPV pada Perang Vietnam, sebanyaj 10 persen berhasil ditembak jatuh. Skuadron RPV AS akhirnya dipensiunkan pada 1978, atau 3 tahun setelah Perang Vietnam.
RPV merupakan versi lama dari drone modern yang dikenal saat ini. Pengembangannya sudah ada sejak 1956, oleh Ryan Aeronautical Company, yang telah berevolusi menjadi Northrop Grumman. Sejak 1956, mereka memulai memproduksi sebuah drone bernama Firebee, sebuah drone target alias drone penyerang. Semenjak itu, penggunaan drone makin masif.
Allison L. Rowland dalam jurnalnya berjudul “Life-Saving Weapons: The Biolegitimacy of Drone Warfare” mengatakan semenjak 2010 angkatan udara AS melatih lebih banyak pilot drone dibandingkan pilot pesawat biasa. Presiden AS yang terkenal dengan banyak operasi drone adalah Barack Obama. Setelah beberapa hari berkuasa, Obama menandatangani aturan soal serangan udara militer memanfaatkan drone.
Penggunaan pesawat tanpa awak untuk serangan militer sering mendapatkan tantangan. Dalam jurnal berjudul “Drones, Vertical Mediation, and the Targeted Class” yang ditulis oleh Lisa Parks, sebuah laporan pada 2010 menyebutkan 32 persen serangan drone justru menyasar masyarakat sipil. AS pernah melancarkan operasi serangan dengan drone bernama “signature strike.”
Menurut Daniel Byman dalam jurnalnya berjudul “Why Drones Work: The Case for Washington's Weapon of Choice” mengungkapkan serangan dengan menggunakan drone tidak bisa menargetkan individu secara spesifik. AS memang melancarkan serangan pada suatu kelompok dengan kegiatan mencurigakan, tapi tetap saja penduduk sipil tak berdosa bisa terkena imbasnya.
Drone memang bisa muncul menjadi dua wajah, bisa sebagai alat pembunuh yang menakutkan bahkan jadi senjata oleh teroris. Namun, drone juga bisa jadi saran mainan hingga urusan pengintaian untuk pertahanan udara. Drone telah dikembangkan di dalam negeri, termasuk untuk tujuan pertahanan di Indonesia.
Baca juga:
Drone Antara Mainan dan Senjata Mematikan
Masa Depan Drone di Indonesia
Indonesia termasuk negara yang mengembangkan drone. Terdapat beberapa drone buatan Indonesia, khususnya drone yang memiliki kekuatan terbang di bawah 10.000 kaki. Nama-nama seperti Wulung dan Puna Alap-Alap, merupakan drone berkekuatan terbang di bawah 10.000 kaki yang dikembangkan Indonesia. Indonesia, mengembangkan drone sejak 2004. Sayangnya, drone dengan spesifikasi tersebut tak mencukupi menunjang kebutuhan Indonesia.
Medium Altituted Long Endurance alias MALE, drone yang kini sedang dikembangkan Indonesia. Drone MALE, merupakan suatu drone yang memiliki kekuatan terbang dengan ketinggian lebih dari 15.000 kaki. Merujuk hasil kajian yang dilakukan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia, setidaknya membutuhkan 33 unit drone MALE. Sebanyak 33 unit drone itu, terbagi ke dalam 11 pangkalan drone. Setiap pangkalan, terdapat 3 unit drone yang dibutuhkan yang terdiri dari 1 unit operasional, 1 unit standby, dan 1 unit perawatan.
Drone MALE bisa dimanfaatkan untuk beragam keperluan, misalnya untuk pemantauan wilayah daratan yang rawan kejahatan dan wilayah perairan yang rawan terhadap penyelundupan. Selain itu, diketahui pula bahwa beberapa negara di kawasan telah memiliki drone berjenis MALE.
“Singapura mau membeli. Cina sudah punya sudah ada, Malaysia belum, Jepang sudah ada, Australia sudah ada. Kita dikepung. Kalau kita tidak mulai dari sekarang, kita tertinggal,” kata Manager Program Pesawat Terbang Tanpa Awak PT Dirgantara Indonesia Bona P Fitrikananda, dalam acara konferensi pers, di BPPT, Jakarta.
Menurut Bona, MALE dibutuhkan Indonesia setidaknya dalam tiga kegiatan utama yaitu Intelligence, Surveillance, dan Reconnaisance. Pengembangan drone MALE agar Indonesia tak bergantung pada drone impor, yang bisa membahayakan Indonesia. “Ini kan lebih banyak untuk intelijen, kalau intelijen sangat diharapkan menurut saya (dibuat) dari dalam negeri."
Alasannya sederhana, bila memakai drone impor ada risiko pengiriman data dari drone bisa dicegat oleh negara lain yang punya kepentingan. Dengan mengembangkan drone sendiri, potensi semacam itu bisa ditekan.
Drone MALE dikembangkan atas kerja sama antara Kementerian Pertahanan, BPPT, PT Dirgantara Indonesia, PT Len Industri, dan Institut Teknologi Bandung. Pengembangan MALE, telah berlangsung sejak 2015. Pengembangan drone MALE butuh dana hingga Rp90 miliar.
Pada 2017, rancangan desain dasar MALE serta prototipe bisa selesai. Selanjutnya, pada 2019 mendatang, MALE ditargetkan mulai diujicoba. Pada 2020 hingga 2022, drone MALE hasil kerja sama antar instansi tersebut, diharapkan telah tersertifikasi dan siap operasional.
Baca juga:Menanti Drone Buatan Indonesia Mendunia
Bona mengatakan pengembangan MALE bukan hal yang mudah. Salah satu aspek krusial pengembangan drone MALE adalah masalah sumber daya manusia. Prof. Dr. Hari Muhammad, Dekan Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkapkan ITB menyiapkan SDM yang dibutuhkan untuk mengembangkan drone domestik.
“Kami punya fakultas yang namanya teknik mesin dan dirgantara. Di dalam fakultas ini ada kelompok yang namanya teknik dirgantara. Keahliannya tidak hanya membuat drone tapi juga pesawat N219 (dan di sini kami menyiapkan SDM yang dibutuhkan),” ungkap Hari.
Setelah pengembangan drone MALE sukses terealisasi, tim menargetkan terus mengembangkan drone berjenis HALE atau High Altitude Long Endurance yang kemampuannya bisa terbang lebih tinggi. Pengembangan drone di Indonesia memang mau tak mau harus dilakukan di tengah perlombaan teknologi drone di negara-negara tetangga.
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra