tirto.id - Sabtu, 4 Agustus 2018, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dijadwalkan membuka pendaftaran capres dan cawapres yang akan berlaga di ajang pemilihan presiden (Pilpres) 2019. Rencananya, pendaftaran berlangsung hingga 10 Agustus.
Sejauh ini, kontestan pilpres 2019 mengerucut pada dua kubu: inkumben dan oposisi. Joko Widodo, yang sekarang menjabat sebagai presiden, maju ke gelanggang mewakili kubu petahana. Adapun kubu kedua, yang dibekingi poros Gerindra-PKS-Demokrat-PAN, diwakili Prabowo Subianto.
Yang bikin pembicaraan makin ramai adalah posisi cawapres di masing-masing kubu. Pihak Jokowi mengaku sudah mengantongi nama. “Sudah ada (nama calon wakil presiden), tinggal diumumin,” kata Jokowi, seperti dikutip Antara, pada awal Juli.
Ucapan Jokowi didukung oleh partainya. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, memastikan barisan parpol pendukung Jokowi sudah solid menyerahkan urusan cawapres ke presiden ketujuh itu.
“Kami sudah sangat solid, dan kemudian seluruh ketua umum sudah melakukan profiling nama dengan Pak Jokowi,” kata Hasto.
Sedangkan dari pihak koalisi oposisi, urusan nama cawapres masih berada dalam tahap pembahasan. Kabar terakhir, partai koalisi belum menemukan kata sepakat soal tindak lanjut hasil ijtima ulama—tergabung dalam Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF)—yang merekomendasikan Abdul Somad dan Ketua Majelis Syuro PKS, Salim Seggaf al-Jufri, sebagai cawapres.
“Kami hargai jajak pendapat dan masukan. Tapi, keputusan akhir ada di parpol. Jadi ijtima pun rekomendasi. Keputusan tetap melalui parpol. Jadi ini harus kami perhatikan,” kata Prabowo.
Siapa Pantas jadi Cawapres?
Terlepas dari perdebatan publik mengenai siapa pendamping capres dari masing-masing kubu yang hingga sekarang belum menampakkan kepastian, rupanya muncul dua sosok yang konsisten mengkampanyekan diri sebagai cawapres Jokowi dan Prabowo. Mereka adalah Muhaimin Iskandar (Cak Imin) serta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Klaim keduanya sama: pantas jadi cawapres.
Nama pertama terlihat menggebu-gebu mengejar posisi cawapres sejak awal. Beberapa bulan terakhir, Cak Imin terang-terangan menyatakan siap untuk ikut berkontestasi di Pilpres 2019. Ia optimistis Jokowi bakal memilihnya sebagai cawapres.
“Saya optimistis yang akan dipilih oleh Pak Jokowi adalah saya,” kata Cak Imin kepada Antara di Cilacap, Jawa Tengah, Maret lalu.
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini mengaku banyak memiliki kesamaan dengan Jokowi, meski tak merinci apa saja kesamaan yang dimaksud. Namun, ia percaya bisa melengkapi kerja Jokowi jika menjadi cawapres.
Di saat bersamaan, Cak Imin mengaku sudah mendapatkan dukungan dari banyak daerah, seperti Bandung, Gresik, Rembang, Sidoarjo, hingga Lampung. Dukungan tersebut lahir, menurut Cak Imin, karena para kiai, santri, maupun PKB—partai yang dipimpinnya—mengharapkan adanya calon presiden atau calon wakil presiden dari kalangan NU.
“Dan saya siap mengemban amanah itu,” tegas Cak Imin.
Keyakinan Cak Imin untuk maju jadi cawapres seiring dengan munculnya dukungan dari partainya kepada Jokowi. Saat disinggung soal kapan dukungan resmi PKB disampaikan, Cak Imin menyebut bahwa kebersamaan PKB bersama Jokowi tidak pernah berubah sejak 2014.
“Saya nyatakan ‘bismillahirrohmanirrohim’ PKB mendukung pencalonan Pak Jokowi pada Pemilu Presiden 2019,” kata Muhaimin, yang kerap disapa Cak Imin, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (14/7/2018).
Rasa percaya diri Cak Imin untuk jadi cawapres rupanya tak hanya keluar di bibir. Bersama PKB, ia mendirikan JOIN (Jokowi-Muhaimin), sebuah tim khusus yang bertugas mengampanyekan sosok Cak Imin sebagai cawapres di pelbagai daerah. Di Jakarta, JOIN sudah mendirikan posko di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Situasi mirip juga terjadi pada sosok Agus Harimurti Yudhoyono yang biasa akrab disapa AHY. Namanya selalu dimunculkan sebagai cawapres, bahkan sebelum Partai Demokrat memutuskan bergabung ke kubu petahana atau oposisi. Kini, ketika Demokrat bersepakat menjalin kekuatan dengan Gerindra, AHY tetap diusung sebagai cawapres.
Cara lain Demokrat untuk menjaga pesona AHY agar tetap berpendar di publik ialah dengan mendaulatnya menjadi Ketua Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Demokrat yang bertugas melakukan safari politik ke sejumlah partai dan tokoh nasional. Tercatat, ia sudah bertemu dengan Jokowi dan Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto.
Tugas lainnya: menggerakkan mesin pemenangan Demokrat agar berjaya di Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.
“Dengan adanya Mas AHY, mesin partai jadi lebih hidup. Antusiasme kader terhadap Mas AHY luar biasa, khususnya yang milenial dan ibu-ibu,” ujar Deputi Media dan Humas Kogasma sekaligus anggota DPR dari Fraksi Demokrat, Putu Supadma Rudana.
Alasan Demokrat memunculkan nama AHY sebagai cawapres tak bisa dilepaskan dari tingkat elektabilitasnya di publik. Menurut beberapa lembaga survei, elektabilitas AHY terbilang cukup tinggi.
Survei terbaru Poltracking Indonesia, misalnya, menyebut AHY memiliki elektabilitas tertinggi ketika dipasang sebagai cawapres pendamping Jokowi maupun Prabowo. Elektabilitas AHY berada di posisi pertama atau 13,5 persen dalam simulasi pemilihan 15 kandidat cawapres pendamping Jokowi. Posisi AHY dibuntuti oleh Anies Baswedan (10,8%), Gatot Nurmantyo (9,1%), Ridwan Kamil (8,6%), Muhaimin Iskandar atau Cak Imin (7,3%), dan Khofifah Indar Parawansa (5,8%).
Kemudian, Alvara Research Center mencatat elektabilitas AHY sebagai cawapres sebesar 17,2%. Menurut versi Indo Barometer, elektabilitas AHY berada di kisaran 8,7%.
Kendati demikian, berbeda dengan Cak Imin yang sudah mendeklarasikan diri untuk jadi cawapres Jokowi, hingga saat ini Demokrat belum secara resmi mendeklarasikan AHY sebagai cawapres Prabowo.
Yang Penting Nekat Dulu
Meski belum ada tanda-tanda keduanya akan ditunjuk jadi cawapres, Cak Imin dan AHY terus mengkampanyekan diri secara terbuka. Salah satu medium yang mereka pakai ialah baliho yang berisi pesan tentang kesiapan maju sebagai cawapres.
Di Jakarta sendiri, apabila Anda melewati ruas jalanan Gatot Subroto, Anda bisa menyaksikan baliho Cak Imin dan AHY terpampang begitu jelas dan gagahnya. Cak Imin memasang fotonya bersama Jokowi disertai tagline: JOIN—merujuk pada singkatan nama mereka, Jokowi-Cak Imin.
Sedangkan AHY tampil seorang diri dalam balihonya. Mengenakan jas berwarna hitam dan beberapa ornamen lencana bintang khas militer di dada, AHY berpose memberi hormat. Ia berdiri tegap dan tersenyum optimistis—sama seperti masa kampanye Pilgub 2017 yang berujung kekalahan.
Tak hanya di Jakarta, baliho keduanya bahkan terpampang hingga daerah-daerah lain seperti Depok, Makassar, Semarang, dan Surabaya.
Menanggapi pemandangan semacam itu, Cecep Hidayat, pengajar di FISIP Universitas Indonesia, mengatakan bahwa baliho ini mencerminkan keinginan tebar pesona kedua belah pihak untuk nantinya dipilih masyarakat. Tak hanya untuk 2019, melainkan juga 2024.
“Ada ambisi seperti itu. Bagi mereka, terpilih jadi cawapres merupakan langkah penting. Karena, ketika mereka maju dan salah satu dari mereka menang, maka pintu untuk bertarung lagi, tidak hanya sebagai cawapres tapi juga capres di 2024 semakin terbuka,” terang Cecep kepada Tirto.
Meski begitu, Cecep menegaskan, memasang baliho tidak serta merta menaikkan elektabilitas keduanya. Cecep berpendapat, tingkat elektabilitas hanya bisa dicapai lewat tiga faktor. “Prestasi di masa lalu, disukai atau tidak di mata masyarakat, dan seberapa besar mesin partai bergerak,” ungkapnya.
Berbeda dengan Cecep, Ubedilah Badrun, dosen sosiologi-politik Universitas Negeri Jakarta, menyatakan bahwa pemasangan baliho oleh Cak Imin dan AHY bisa mengerek elektabilitas, meskipun “tidak terlalu signifikan".
“Dalam market demokrasi politik, hal tersebut merupakan konsekuensi logis. Semua langkah diupayakan untuk jadi agenda politik, termasuk soal memasang baliho,” jelasnya saat dihubungi Tirto. “Di balik baliho, ada modal politik, ambisi, dan dampak jalannya demokrasi dewasa ini.”
Politik dan Pasar
Apa yang dilakukan Cak Imin dan AHY melalui baliho adalah kewajaran belaka di tengah dinamika politik Indonesia. Politik di Indonesia—dan mungkin juga di banyak negara—serupa dengan praktik jual beli yang mengikuti prinsip dasar ekonomi. Ada penjual, pembeli, dan tentu saja keuntungan yang ingin diperoleh.
Penjual di sini berarti partai politik, pembeli adalah masyarakat, sementara keuntungan yang dimaksud adalah kemenangan dalam ajang pemilu—baik di parlemen maupun kursi eksekutif.
Sama halnya seperti pedagang pada umumnya, partai politik butuh strategi pemasaran. Dalam Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas (2007), Firmanzah menyatakan bahwa di dunia politik, strategi pemasaran adalah alat atau metode bagi partai untuk melakukan pendekatan kepada publik guna menyampaikan informasi politik.
Tujuan pemasaran politik, catat Firmanzah, adalah menciptakan hubungan timbal balik antara partai politik dan masyarakat, sehingga nantinya proses demokrasi bisa dipastikan berjalan ideal.
Firmanzah menegaskan, pesan-pesan yang ingin disampaikan lewat teknik pemasaran politik dibangun atas beberapa hal: menjadikan pemilih sebagai subjek bukan objek partai politik atau kandidat presiden, mengangkat permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam menyusun program kerja yang ditawarkan dengan bingkai ideologi masing masing partai, serta menyediakan kesempatan untuk menjaga hubungan dengan pemilih sehingga dari situ akan terbangun kepercayaan yang bisa diolah jadi suara.
Masih menurut Firmansyah, marketing politik biasanya menghadapi lima dilema: apakah partai politik harus memaksimalkan pemilih atau kebijakan; mempertahankan pemilih inti atau non-partisan yang tidak terikat partai manapun; memperjuangkan ideologi partai atau mengikuti kepentingan masyarakat yang tercermin dalam survei; menekankan pada pemimpin atau justru konstituen dalam tubuh partai politik; serta apakah partai politik diposisikan sebagai instrumen mekanis atau simbolis dalam kampanye pemilu.
Akhirnya, pemasangan baliho yang dilakukan AHY-Cak Imin memang punya nilai penting dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Tak hanya mencerminkan gerak mesin partai politik, taktik pemasaran seperti itu adalah medium pembelajaran publik yang wajar. Terlepas dari pose dan gerak-gerik para politikus di ruang publik yang kadang menggelikan, bukankah berdemokrasi juga berarti siap belajar dari kenekatan dan kekonyolan?
Editor: Windu Jusuf