Menuju konten utama

Menggali Empati Para Pemangku Kebijakan

Sebuah pelatihan model baru tengah dikembangkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dengan dukungan Global Green Growth Institute (GGGI). Suatu pelatihan Kepemimpinan yang berempati untuk kompetensi Aparat Sipil Negara (ASN) menjadi bukan semata teknis saja, tapi memiliki jiwa dalam membentuk dan melaksanakan kebijakan dan program pemerintah.

Menggali Empati Para Pemangku Kebijakan
Seorang warga sedang mencuci peralatan masak dengan air seadanya. Krisis air bersih sudah lama dialami warga Penjaringan, Jakarta Utara sejak 1998. FOTO/dok. Beritagar/Lokadata-Wisnu Agung Prasetyo

tirto.id - Awal Juli 2019, bersama belasan orang, Aisyah (37) berdiri mengelilingi tandon-tandon air. Ia menenteng selang, sementara beberapa yang lain membawa gerobak berisikan jeriken-jeriken.

Mengantre air bersih menjadi rutinitas harian warga RW 04, Kamal Muara, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara. Walau berjarak hanya 25 kilometer dari pusat bisnis ibu kota, wilayah yang dijuluki Kampung Nelayan itu mengalami krisis air bersih selama dua dekade—sejak 1998.

Saban hari, Aisyah harus mengeluarkan Rp10.000 sampai Rp20.000 hanya untuk kebutuhan air. “Musim kemarau gini, bisa sampai Rp400–600 ribu sebulan,” cerita ibu dua anak itu.

Selain Kampung Nelayan, ada 20 kelurahan yang juga kesulitan air baku (untuk minum) dan air bersih, tersebar di Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan. Ini belum termasuk 15 kelurahan yang sebagian wilayahnya juga membutuhkan air baku dan air bersih.

Sementara itu, insiden blackout yang melanda wilayah barat Pulau Jawa berdampak

pada aktivitas pelaku bisnis yang mengandalkan listrik sebagai kebutuhan primer, termasuk aktivitas ekonomi kreatif di dunia digital.

Jesse Karissa (26), influencer, harus rela menunda mengunggah konten pesanan klien di akun media sosialnya karena padamnya listrik membuat jaringan telekomunikasi terganggu. Tak jauh berbeda, Syahtiardi Rizky (32 tahun) yang berprofesi sebagai videografer juga terpaksa berhenti mengedit video selama 2 hari karena listrik tiba-tiba padam.

“Dua hari tidak ada kegiatan. Jaringan masih gak bisa meskipun listrik hidup,” kata Rizky.

Pemadaman listrik massal di sebagian besar wilayah Jabodetabek, Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah itu terjadi pada Minggu (4/8/2019). Penyebabnya, sistem Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di Ungaran-Pemalang terputus.

Suasana Sarasehan Kepemimpinan Berempati II

Suasana Sarasehan Kepemimpinan Berempati II yang dikembangkan oleh LAN dan GGGI di Menteng, Jakarta Pusat (8/10/19). FOTO/dok. Beritagar/Lokadata

Masalah lain terjadi di Kalentemu Barat RW 01, Kelurahan Samangraya, Kecamatan Citangkil, Kota Cilegon. Pesatnya pertumbuhan industri meningkatkan volume limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Kota Cilegon merupakan sentral industri kimia dan baja. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup, lebih-kurang 80 persen industri kimia nasional berkumpul di sini.

Tumpukan limbah tersebut bisa sampai ke permukiman lewat udara maupun air hujan yang meresap ke tanah, sehingga mencemari air. “Air baunya seperti besi, bau amis, dasarnya berwarna kuning pekat kotor,” kata Inayah, koordinator posyandu di lingkungan tersebut. “[Lalu warga] yang terkena TB paru-paru lebih dari 50 persen. Itu dari polusi.”

Walau ada sejumlah regulasi pengelolaan limbah B3, nyatanya masih terdapat korban terdampak—manusia maupun lingkungan. Gerah dan rasa gatal pun menemani hari-hari warga. Gerah makin terasa ketika tak ada angin, tapi angin pun membuat debu beterbangan.

“[…]Semakin hari debunya semakin tidak enak,” ungkap Taufiq Ubaidilah, Ketua RW 01 Kalentemu Barat, “Kecurigaan timbul ketika baju anak saya dijemur, warna putih berubah menjadi totol-totol kuning. Setelah saya cek, di seberang rumah ada pasir powder slag (menyerupai pasir). Saya cari tahu, ternyata limbah itu tergolong B3 meski sudah diolah.”

Januari lalu, warga perumahan Pondok Gede Permai (PGP), Jatiasih, Bekasi, lagi-lagi harus bertahan dari musibah banjir setinggi enam hingga tujuh meter. Banjir ini memang perkara rutin. Hampir tiga puluh tahun Imam—salah satu warga yang tinggal di PGP sejak 1991—berkutat dengan air bah. “Tapi, banjir Januari kemarin adalah banjir paling besar,” kata Imam.

Mbah Jambrong, warga lain, menyebut banjir terjadi karena secara geografis kontur tanah rendah dan merupakan simpang temu antara Sungai Cikeas dan Sungai Cileungsi. Musibah ini membuat sebagian warga PGP memutuskan pindah. Rumah-rumah kosong pun dibiarkan lapuk sehingga kian membahayakan warga yang masih bertahan jika banjir datang lagi.

Membentuk Kepemimpinan yang Berempati

Beragam masalah yang terjadi di tengah masyarakat perlu ditindaklanjuti, termasuk keempat hal di atas. Namun untuk menentukan langkah terbaik, perumus kebijakan perlu mengetahui secara mendalam atau lebih peka terhadap tiap persoalan yang dialami warga.

Untuk itu, Lembaga Administrasi Negara (LAN) bermitra dengan Global Green Growth Institute (GGGI) mengembangkan program pelatihan Kepemimpinan Berempati bagi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Pelatihan ini merupakan bagian dari program Pelatihan Pertumbuhan Ekonomi Hijau. Fokusnya adalah masyarakat yang tertinggal dari kebijakan publik atau menerima dampak negatif dari kebijakan publik.

Sebelumnya, kunjungan lapangan kerap dilakukan LAN tetapi berlangsung formal: para pejabat pun mengenakan baju dinas dan penuh sambutan. Karena itu, format pelatihan dibuat berbeda. Para pejabat tak lagi mengenakan baju dinas melainkan berpakaian kasual. Mereka pun tak memperkenalkan diri agar warga merasa lebih nyaman dan bisa menyampaikan masalah maupun keluhan secara gamblang.

“Kegiatan ini sangat menarik, sebagai pelayan masyarakat yang diberikan amanah untuk merumuskan dan mengonstruksikan kebijakan publik, kami diajak langsung ‘bertemu’ dengan mereka yang terdampak oleh kebijakan yang diterapkan,” ujar Basseng, Deputi Bidang Penyelenggaraan Pengembangan Kompetensi LAN.

Sejak digagas pada 2019, pelatihan “Kepemimpinan Berempati” sudah digelar sebanyak 4 kali. Pertama, pada 13 Juli 2019, Aisyah dan warga Kampung Nelayan berkumpul bersama para pejabat dalam “Sarasehan Kepemimpinan Berempati: Krisis Akses Air Bersih di Jakarta”. Sarasehan perdana itu pun berlangsung tanpa jarak. Salah satu pejabat yang turut hadir adalah Hidajat Edhy Liestiento, Senior Manager Bina Program PAM Jaya. Ia mencatat tiap keluhan dan aktif menggali masalah saat berkunjung ke rumah-rumah warga.

Ruang diskusi kedua bertajuk “Sarasehan Kepemimpinan Berempati: Krisis Listrik di Era Serba Listrik” digelar pada 8 Oktober 2019 di CoHive, Menteng, Jakarta Pusat. Sarasehan dihadiri sejumlah pelaku ekonomi digital dari berbagai sektor, termasuk Jesse, dan seketika menjadi wadah keluh kesah mereka terkait pemadaman massal, terutama jaringan internet yang mati. Keluhan dan harapan ke depan tersebut didengar langsung oleh para pejabat berwenang.

Pada 4 Desember 2019, “Sarasehan Kepemimpinan Berempati: Hidup Bersama Limbah B3” diadakan untuk memfasilitasi pertemuan antara warga Kalentemu Barat dan para pejabat dari berbagai latar belakang—baik pusat, daerah, maupun kota.

“Kalau selama ini kita menjadi penyuluh, menjadi narasumber, kali ini dibalik, mereka jadi narasumber kita. Kita mendengar, melihat, memerhatikan, sehingga apa yang masyarakat rasakan, dalam hal ini dampak negatif limbah, jangan-jangan itu ada kontribusi dulu mengambil kebijakan atau keputusan yang kurang memerhatikan dampak-dampak masyarakat di lapangan,” ungkap Caca Syahroni, Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Teknis dan Sosial Kultural ASN LAN.

Berbeda dengan sebelumnya, sarasehan keempat berlangsung secara virtual dengan tajuk “Sarasehan Kepemimpinan Berempati: Inklusi Sosial dalam Penangangan Bencana” pada 17 Juni 2020. Warga PGP berdiskusi dengan para pejabat dan widyaiswara dari berbagai kementerian dan lembaga selama 4,5 jam.

Salah seorang peserta, Ian Ipoh Simarmata, Analis Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), menyebut kegiatan yang digelar LAN dan GGGI ini sangat bermanfaat sebab terasa telah menggugah rasa empatinya sebagai manusia. “Tadi bicara tentang banjir, ya. Sekarang kita berada dalam situasi pandemi. Saling bantu dan saling berempati,” ujar Simarmata.

Pelatihan GGGI

Suasana Pelatihan Kepemimpinan Berempati yang dikembangkan oleh LAN dan GGGI diadakan secara virtual pada Rabu (17/06/20). foto/dok. Pusbangkom TSK LAN-RI

“Kepemimpinan berempati menekankan pada pembangunan yang berorientasi manusia dengan mengambil basis data (evidence based) yang bukan bersifat etik atau peraturan, angka, dan statistik saja namun juga bersifat emik yaitu kondisi masyarakat, tatanan sosial budaya, kebiasaan, hingga pikiran dan perasaan masyarakat,” ungkap Mariski Nirwan, Knowledge and Capacity Development Lead GGGI dalam sesi diskusi.

“Kebijakan akan menjadi lebih tepat guna bila para pembuat kebijakan memahami betul bahkan bisa mengalami apa yang dialami oleh masyarakat,” sambung Mariski.

Para pejabat tak cukup hanya melihat dan memahami, tetapi juga perlu merasakan dan berempati terhadap persoalan sekaligus kebutuhan masyarakat. Merumuskan kebijakan dengan pendekatan yang lebih humanis, agar solusi yang diberikan tepat sasaran dan sesuai kebutuhan.

(JEDA)

Penulis: Tim Media Servis