tirto.id - Usai memberikan keterangan pers soal kondisi pascabencana di Palu dan Donggala, 2 Oktober 2018 silam, Sutopo Purwo Nugroho masih dikerubungi wartawan. Di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika, juru Bicara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) itu terus meladeni berbagai macam pertanyaan: mulai dari ketersediaan logistik, tempat pengungsian hingga detektor tsunami (buoy) dan gempa yang rusak.
Rekaman wawancara di gawai saya tercatat sudah lebih dari 20 menit, tapi para pewarta masih belum mau beringsut. Beberapa di antaranya bahkan mengulang pertanyaan. Sutopo tetap menjawab pertanyaan dengan terang, lengkap, dan bersemangat. Nyaris setengah jam ia berdiri selama wawancara berlangsung.
Menyadari wajah Sutopo yang mulai pucat, beberapa wartawan langsung menyudahi pertanyaan. Saya masih menguntit-nya hingga beranjak ke luar ruangan. Di depan mobilnya, langkah Sutopo tertahan oleh seorang juru kamera televisi yang baru datang.
Saya melihat Sutopo seperti tengah tersengal. Satu tangannya menekan dada, sedangkan tangan lain disandarkan ke mobil untuk menopang tubuhnya. Ia memberikan isyarat kepada wartawan bahwa penjelasannya hari itu sudah selesai.
"Maaf. Sudah cukup, ya," ucap Sutopo lirih. Saya masih mengingat kejadian tersebut hingga sekarang.
Waktu itu, gempa bermagnitudo 7,2 Skala Richter yang menghantam Palu dan Donggala pada 28 September 2018 memang jadi berita paling diburu selama hampir satu pekan. Dua ribu lebih korban jiwa dikabarkan meninggal di Sulawesi Tengah dan Barat.
Tapi Sutopo, yang telah divonis kanker paru-paru stadium 4B itu, nyaris tak pernah absen memberikan informasi-informasi penting kepada publik. Akun Twitter-nya biasa dipenuhi video tanah longsor, erupsi gunung berapi, hingga banjir bandang juga tambah sibuk. Kadang ia musti memverifikasi berita hoax yang beredar dan membalas beberapa pertanyaan warganet.
Sebagai seorang penyintas kanker, Sutopo juga kerap mengunggah kondisi kesehatannya di Twitter. Ia pernah mengunggah hasil CT scan paru-parunya serta foto bagian rambutnya yang rontok dan kembali tumbuh meski menjalani kemoterapi.
Ayah dari dua anak itu juga mengaku harus mengambil morfin untuk meredakan rasa nyeri dan jarang tidur lebih dari tiga jam semalam karena tulang punggungnya terasa seperti ditusuk-tusuk.
Banyak yang bersimpati dan memberikan dukungan. Ia bahkan bisa bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo dan penyanyi kondang Raisa, idolanya.
Di grup WhatsApp Media Komunikasi (Medkom) Bencana, Sutopo dengan cepat mengirim pembaruan ke media jika ada informasi teraktual kepada wartawan. Ia pernah melakukannya hingga jam satu dini hari, dan kembali aktif sebelum jam enam pagi. Ia tak segan menjelaskan panjang lebar, termasuk kepada wartawan yang baru pertama kali meliput bencana.
Hal ini diakui oleh jurnalis CNN Indonesia, Patricia Dias, saat dirinya pertama kali meliput erupsi Gunung Agung di Bali, 2017 silam.
"Pak Topo itu terbaik, luar biasa. Pas liputan pertama kali soal bencana, gue beneran masih enggak paham apa-apa dan gue teror dia terus buat tanya-tanya. Selalu dijawab," ungkap Dias kepada reporter Tirto, Minggu (7/7/2019).
Belakangan, Dias juga sadar bahwa Sutopo masih mengenalinya meski sangat jarang bertatap muka secara langsung. "Kaget ternyata dia notice sama gue. Soalnya selama ini gue cuma hubungan sama dia itu via telepon atau WhatsApp. Pas balik dari Bali gue pernah ambil konpres di BNPB dan dia ternyata ngenalin gue," imbuhnya.
Minggu, pukul 01.20 WIB dini hari sosok yang dekat dengan banyak wartawan itu menghembuskan nafas terakhirnya saat menjalani pengobatan di Guangzhou, Tiongkok.
"Kanker yang dideritanya telah menyebar ke tulang dan beberapa organ vital tubuh," demikian menurut keterangan tertulis Humas BNPB yang diterima Tirto pagi tadi (7/7/2019).
Sempat Membaik Saat Pengobatan
Arfa, salah seorang staf Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB, mengungkapkan bahwa kondisi Sutopo mulai memburuk setelah lebaran. Rekan kantornya di BNPB, yang ramai-ramai menjenguknya sebelum ia berangkat ke Guangzhou mendoakan agar dirinya tetap kuat melawan kanker.
"Perbandingannya sebelum libur lebaran dengan terakhir ketika berkunjung ke kediaman beliau. Terlihat penurunan kesehatan, mulai dari fisik sampai suara beliau berbicara agak menurun," ungkap Afra kepada reporter Tirto.
Belakangan, sebuah rekaman video yang beredar di beberapa grup karyawan BNPB menunjukkan kondisi kesehatannya yang mulai pulih saat menjalani pengobatan.
"Terlihat sehat dan segar, dan beliau mengatakan menjadi lebih baik dari sebelum pengobatan di sana," kata Afra. Namun setelahnya, tak ada lagi kabar terbaru soal kondisi Sutopo hingga kabar duka tentang kepergiannya sampai ke Indonesia.
Menurut Arfa, Sutopo selalu berusaha mengoptimalkan pelayanan informasi kepada publik lewat wartawan. Pria yang lahir di Boyolali itu bahkan tak pernah abai terhadap hal-hal detail.
Setelah divonis kanker pada 28 Januari 2018, aktivitas Sutopo saat menjalankan tugas tak banyak berubah--meski ia sempat drop setelah vonis tersebut, dan baru benar-benar menerima penyakit itu sebulan kemudian.
"Beliau selalu ngecek ke kami saat setelah konpres harus benar dan tepat memberikan paparan beliau ke media yang meminta melalui email," tutur Arfa.
Sejak dini hari tadi, berbagai ucapan bela sungkawa atas meninggalnya Sutopo terus berseliweran di media sosial dan grup-grup WhatsApp, salah satunya dari Presiden Joko Widodo.
"Inalillahi wa Innailaihi Rojiun. Kita kehilangan seorang yang hidupnya didedikasikan untuk orang banyak," ucap Jokowi lewat akun resmi Twitter-nya.
Jokowi lalu mengutip kata-kata Sutopo yang cukup menginspirasi dan pernah diunggah di media sosial: "Hidup itu bukan soal panjang pendeknya usia, tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain."
"Selamat jalan, Pak Sutopo."
Editor: Gilang Ramadhan