Menuju konten utama

Mengenang Setahun Tawaran Bantuan Corona dari Jokowi ke Xi Jinping

Kala belum terdampak pandemi, Jokowi menawarkan bantuan kepada Xi Jinping. Kini yang terjadi adalah sebaliknya.

Mengenang Setahun Tawaran Bantuan Corona dari Jokowi ke Xi Jinping
Joko Widodo dan Xi Jinping pada KTT APEC 2018. FOTO/Biro Pers Setpres RI.

tirto.id - Pada 11 Februari 2020, telepon Presiden Rakyat Tiongkok Xi Jinping berdering. Di seberangnya, terdengar suara Presiden Indonesia Joko Widodo. Kasus COVID-19 di Tiongkok sedang ganas-ganasnya. Hari ketika Jokowi menyampaikan kabar bahwa ia telah menelepon Xi Jinping kepada wartawan, korban COVID-19 di RRT naik 14 ribu sehari menjadi 58.761. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mengaku sudah menawarkan bantuan.

“Saya menawarkan apabila diperlukan bantuan-bantuan untuk mempercepat penanganan, saya bilang Indonesia siap untuk memberikan bantuan," ucap Jokowi pada 12 Februari 2020.

Februari adalah salah satu periode terburuk kasus COVID-19 di Negeri Tirai Bambu. Bulan itu dimulai dengan 14.380 kasus dan berakhir di angka 79.824 kasus. Sampai sekarang, Tiongkok melaporkan ada 89.831 kasus total. Korban meninggal sebanyak 304 meningkat jadi 2.870.

Ketika Jokowi menghubungi Jinping, Provinsi Hubei, di mana kota Wuhan berada, masih dalam status lockdown. China National Railway Group membatasi jumlah penumpang, Jinping memberikan keringanan pajak, dan keesokan harinya Tiongkok sibuk membagikan 1,3 juta masker kepada apotek untuk dijual dengan harga murah yaitu 2 yuan atau sekitar 2 ribu rupiah.

Dengan terbatasnya aktivitas di Tiongkok karena COVID-19, tidak heran banyak negara menawarkan bantuan. Bagaimanapun, aktivitas di negeri itu memengaruhi banyak negara termasuk Indonesia. Salah satu sektor yang terpengaruh adalah pariwisata.

Tiongkok menjadi penyumbang tertinggi penurunan turis di Indonesia. Sebanyak 93,5 persen kunjungan dari Tiongkok tidak terjadi selama lockdown di bulan Februari 2020. Angka ini bertambah parah menjadi 97,46 persen di bulan Maret 2020.

Pada Februari 2020, wisatawan mancanegara (wisman) diperkirakan mencapai 885,1 ribu orang. Sebulan berikutnya, angka berkurang lagi menjadi 470,9 ribu. World Travel and Tourism Council (WTTC) memperkirakan akan ada 50 juta orang yang kehilangan pekerjaan di sektor pariwisata saja dari seluruh dunia.

Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah berupaya menggenjot pariwisata di dalam negeri dengan memberikan insentif diskon tiket pesawat sebesar 30-40 persen ke 10 destinasi. Adapun 10 destinasi wisata yang dimaksud meliputi Batam, Denpasar, Yogyakarta, Labuan Bajo, Lombok, Malang, Manado, Silangit, Tanjung Pinang, dan Tanjung Pandan.

Tapi usaha itu tidak mampu menutupi kerugian yang datang dari menurunnya turis asal Tiongkok. Berdasarkan perolehan tahun 2019, ada 16,11 juta kunjungan ke Indonesia dari seluruh negara. Tiongkok menyetor angka kedua terbanyak dengan 2,07 juta kunjungan.

Kerugian ini diakui oleh pemilik wahana air di Pantai Tanjung Benoa, Bali, Anak Agung Raka Bawa, kepada BBC. Dia mengatakan hanya ada 1 persen pengunjung jika dibandingkan hari-hari biasa.

Kanada juga sama seperti Indonesia yang peduli dengan Tiongkok. Pada Februari 2020, Menteri Luar Negeri Kanada François-Philippe Champagne mengatakan duka mendalam kepada mereka yang terkena pandemi. Selain itu Kanada “siap memberikan bantuan lebih jauh selama dibutuhkan.”

Realisasi dari pernyataan Champagne ini diwujudkan dalam pemberian 16 ton alat pelindung diri mulai dari 36.425 baju medis, 3.000 rompi, 200.000 sarung tangan, 50.118 pelindung muka, 1.101 masker, dan 1.820 pasang kacamata. Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau juga mengaku siap memberikan bantuan lebih banyak lagi.

Apa yang dilakukan Kanada ini di kemudian hari justru menuai kritik. Setelah pemberian itu, pada 15 Februari 2020 kasus COVID-19 di Kanada pertama kali ditemukan. Jumlahnya mencapai 8 orang yang terinfeksi pada akhir Maret 2020 dan jumlah kasus lalu berkembang menjadi 8.612.

Pemerintah Kanada dianggap tidak bisa mempersiapkan diri menghadapi pandemi. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah mewanti-wanti agar setiap negara bersiap kapan saja jika pandemi tiba-tiba sampai depan hidung mereka.

Profesor dari Universitas Ottawa, Amir Attaran, mengaku terkejut ketika pemerintah mengirimkan APD ke Tiongkok. Padahal seharusnya mereka bisa memprediksi pandemi cepat atau lambat akan segera sampai ke Kanada.

“Sudah jelas di awal Februari kita membutuhkan peralatan itu,” kata Attaran seperti dikutipGlobe and Mail. “Keputusan pemerintah melebihi altruisme. Ini kelalaian dan ketidakmampuan mereka karena Kanada tidak punya kelebihan APD untuk dibagi-bagi.”

Pada Februari 2020, permintaan masker di Kanada memang tinggi. Padahal, pemerintah belum menyarankan atau meminta warga agar melindungi diri dari COVID-19 dengan memakai masker ataupun alat pelindung diri.

Sikap abai pemerintah Kanada akhirnya memicu kegagapan masyarakat Kanada menanggulangi pandemi. Kasus yang awalnya hanya satuan kemudian berkembang menjadi ribuan dan kian tak terkendali.

Indonesia melakukan tindakan yang sama.

Minta Tolong Balik ke Tiongkok

Ketika warga negara Indonesia dijemput dari Tiongkok pada awal Februari 2020, pemerintah Indonesia sekaligus mengirimkan masker. Saat itu diketahui ada 10 ribu masker N95 yang dikirimkan ke Wuhan. Banyak perusahaan yang juga mengapalkan masker ke luar negeri seperti Singapura, Tiongkok, dan Hong Kong.

Padahal, pada Februari 2020, kekhawatiran masyarakat Indonesia meningkat. Banyak yang mencari masker untuk perlindungan diri. Kendati demikian, Menteri Kesehatan kala itu, Terawan Agus Putranto, menyebut keperluan masker belum mendesak. Dia justru menyalahkan mereka yang berupaya mencari masker.

Bagi Terawan, sesuai petunjuk WHO, masker hanya diperuntukkan bagi yang sakit. Memang kala itu penularan dari orang tanpa gejala belum teridentifikasi. Terawan lalu menyalahkan permintaan masyarakat yang membludak meski COVID-19 belum ditemukan di Indonesia.

“Salahmu sendiri, kok, beli, ya.”

Omongan Terawan menjadi bumerang pada Maret 2020. Banyak masker yang diekspor ke luar negeri berbanding terbalik dengan di dalam negeri. Sejalan dengan penemuan kasus pertama di Indonesia pada 2 Maret 2020, permintaan masker kian meningkat. Harga masker melambung tinggi.

Satu kotak masker isi 50 dengan spesifikasi 2 atau 3 lapis bisa mencapai Rp200 ribu hingga Rp350 ribu. Sedangkan untuk masker N95 melonjak hingga Rp1,5 juta. Dengan harga itu pun banyak penjual yang sudah kehabisan stok. Padahal pada hari-hari biasa, harga 1 kotak masker hanya Rp20-25 ribu.

Pada April dan Mei, ketika produksi masker mulai meningkat, harga masker cenderung normal ke Rp3.000/helai. Adanya produsen dan anjuran memakai masker kain juga ikut berkontribusi. Sekarang, 1 kotak masker 3 lembar sudah bisa dibeli dengan harga seperti biasa. Bahkan saat ini banyak orang yang dengan mudah mau berbagi masker.

Indonesia, seperti Kananda, tidak merasa mengirimkan bantuan ke Tiongkok adalah suatu kesalahan. Sebagai timbal balik dari bantuan itu, Kanada mengaku mendapat bantuan APD dari perusahaan-perusahaan asal Tiongkok, begitu pula Indonesia.

Perusahaan-perusahaan asal Tiongkok yang berinvestasi di Indonesia menyumbangkan alat kesehatan hingga 40 ton pada Maret 2020. Jumlah ini adalah tambahan setelah pemerintah, melalui Kementerian Pertahanan, juga berhasil mendatangkan 8 ton alat kesehatan dari Tiongkok pada bulan yang sama.

Setahun telah berlalu sejak Jokowi menelepon Jinping. Indonesia yang dulu menawarkan bantuan kini justru harus berharap pada Tiongkok, terutama untuk vaksin. Indonesia masih bergantung pada Tiongkok untuk mendapatkan vaksin yang diproduksi Sinovac Biotech Ltd. Sejauh ini setidaknya sudah ada 28 juta vaksin dalam bentuk jadi maupun bahan baku yang diterima Indonesia.

Sementara situasi Tiongkok berbanding terbalik dengan Indonesia. Kasus COVID-19 di sana sudah menurun jauh hingga hanya penambahan 1 digit kasus per hari, tapi Indonesia tidak. Sudah delapan bulan belakangan kasus terus naik empat digit, lebih dari 1.000 tiap harinya. Di Tiongkok, kasus terkonfirmasi sejauh ini sampai 89.842, sedangkan di Indonesia tembus sampai 1.288.833 kasus. Jumlah meninggal di Indonesia juga mencapai 34.691, hampir 7,5 kali lipat jumlah kematian akibat COVID-19 di Tiongkok.

Pada 30 Agustus 2020, giliran Jinping yang menelepon Jokowi. Topiknya tentu bukan lagi Indonesia menawarkan bantuan alat kesehatan kepada Tiongkok, tapi sebaliknya. Tiongkok berjanji akan terus memberikan bantuan alat kesehatan untuk Indonesia. Dan yang tak kalah penting, Jinping menyambut baik kerja sama urusan vaksin.

Tanggal 11 Februari 2020 itu menjadi bukti solidaritas Indonesia dalam membantu negara sumber COVID-19. Tapi hanya enam bulan kemudian, Indonesia lah yang membutuhkan solidaritas itu.

Baca juga artikel terkait BANTUAN CORONA atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Ivan Aulia Ahsan