Menuju konten utama

Mengenang Kehebatan Timnas Indonesia di Piala AFF 2010

Bagi Alfred Riedl, timnas Indonesia adalah yang terbaik di turnamen Piala AFF 2010.

Mengenang Kehebatan Timnas Indonesia di Piala AFF 2010
Reaksi para pemain timnas Indonesia setelah kalah dari Malaysia dalam pertandingan final Piala AFF Suzuki Cup di Gelora Bung Karno stadium in Jakarta, Indonesia (29/12/10). AP Photo/Achmad Ibrahim

tirto.id - Alfred Riedl, pelatih sepakbola asal Austria, punya kenangan buruk terhadap Piala AFF. Tiga kali melaju ke final, sekali bersama timnas Vietnam [1998] dan dua kali bersama timnas Indonesia [2010 dan 2016], tiga kali pula Riedl gagal mengangkat piala. Menurutnya, kegagalan timnas Indonesia dalam gelaran Piala AFF 2010 merupakan yang paling susah untuk dilupakan. Alasannya: kala itu timnas Indonesia sedang hebat-hebatnya.

“Di antara ketiga final AFF, final Piala AFF 2010 menjadi yang paling pahit buat saya, karena [waktu] itu Indonesia punya tim terbaik di turnamen,” tutur Riedl, dilansir dari CNN Indonesia, 2016 lalu.

Riedl tak asal bicara. Timnas AFF 2010 memang mempunyai segalanya untuk meraih gelar. Skuat timnas Piala AFF 2010 sangat komplet, nyaris tidak ada ketimpangan berarti di antara pemain inti dan pemain cadangan.

Di sektor penjaga gawang, Markus Haris Maulana, Ferry Rotinsulu, serta Kurnia Meiga mempunyai kemampuan sepadan. Sementara Ferry bisa menjadi pelapis sempurna bagi Markus, kualitas Kurnia, meski masih berusia muda, tidak bisa diragukan. Ia tampil gemilang saat membawa Arema meraih gelar liga Indonesia pada musim 2009-2010.

Di lini belakang, Indonesia memiliki Maman Abdurahman serta Hamka Hamzah. Duet bek tengah itu bisa saling melengkapi. Hamka jago dalam duel-duel di udara, Maman tangguh dalam duel satu lawan satu. Jika salah satunya absen, Riedl masih memiliki M. Robby di bangku cadangan.

Kekuatan lini belakang timnas Indonesia tak berhenti sampai di situ. Di sektor full-back, Indonesia mempunyai duet full-back bertenaga kuda, M Nasuha dan Zulkifli Syukur yang mampu bertahan dan menyerang dengan sama baiknya.

Di lini tengah, Ahmad Bustomi adalah wujud dari dominasi. Saat bertahan ia lugas, tak segan melakukan tekel, tapi juga pintar dalam membaca permainan. Sedangkan saat menyerang, ia merupakan seorang pengatur tempo permainan yang nyaris tiada duanya. Lewat akurasi umpan yang dimilikinya, ia tahu betul kapan Indonesia harus melakukan build-up serangan cepat maupun serangan lambat.

Kapan terakhir kali Indonesia memiliki gelandang penyeimbang seperti Bustomi versi AFF 2010? Barangkali, ia adalah satu-satunya. Karena permainan gemilangnya di Piala AFF 2010, Bustomi pun lantas dinobatkan sebagai pemain terbaik timnas Indonesia versi pembaca Detik. Mendapatkan 2.135 suara, Bustomi berhasil mengalahkan M. Nasuha, Firman Utina, Cristian Gonzales, serta Okto Maniani.

Masih dari lini tengah, Oktovianus Maniani, sayap kiri Indonesia, juga tak kalah moncer dibandingkan dengan Bustomi. John Duerden, pengamat sepakbola Asia, bahkan memuji Okto setinggi langit. Ia menyebut Okto sebagai “Ryan Giggs dari Indonesia”, mengatakan bahwa “caranya menyusuri sayap kiri sungguh enak ditonton”, serta memasukkan nama Okto dalam jajaran 10 besar pemain Asia paling menjanjikan [Koran Tempo, 3 Januari 2011].

Saat pemain berusia 20 tahun itu mulai kewalahan karena menjadi magnet para pemain belakang lawan, Riedl masih memiliki senjata alternatif yang bernama Arif Suyono. Pemain sayap Arema itu berhasil mencetak dua gol di sepanjang turnamen, dua-duanya terjadi saat ia masuk sebagai pemain pengganti.

Di lini depan, Indonesia mengandalkan Cristian Gonzales dan Irfan Bachdim. Reputasi Gonzales tidak dapat diragukan. Mulai bermain di Indonesia sejak tahun 2003, pemain naturalisasi itu berhasil menjadi top skorer empat kali di liga: 2005, 2006, serta 2007-2008 bersama Persik Kediri, serta 2008-2009 bersama Persib Bandung. Sedangkan Bachdim menjadi idola baru berkat ilmu yang ditimbanya di Belanda. Di bangku cadangan, Indonesia juga masih memiliki Bambang Pamungkas serta penyerang muda potensial, Yongki Aribowo.

Riedl lantas membungkus pemain-pemain terbaik Indonesia itu dengan formasi 4-4-2. Ia menerapkan kedisplinan ala Fabio Capello serta fleksibilitas ala Arrigo Sacchi. Saat bertahan, Riedl seringkali menyuruh anak asuhnya untuk bertahan agak dalam, merapatkan jarak antar lini, dan disiplin dalam menjaga posisinya. Tampak kaku, tapi sulit untuk dilawan. Alhasil, hingga menjelang laga final, gawang Indonesia hanya kebobolan dua gol dalam lima pertandingan.

Sedangkan saat menyerang, pemain-pemain Indonesia dibuat lebih cair. M. Ridwan dan Oktovianus Maniani, dua pemain sayap Indonesia, tak melulu berada di sisi lapangan. Mereka tak jarang bergerak ke tengah lapangan untuk memberikan akses kepada Zulkifli Syukur dan M. Nasuha agar ikut maju ke depan. Hal ini lantas didukung oleh pergerakan Bachdim di lini depan. Ia kadang mundur ke belakang ruang bergerak ke samping untuk membuka ruang. Ditambah dengan kombinasi apik Firman Utina dan Bustomi di lini tengah, serangan Indonesia pun sulit ditebak oleh lawan.

Dengan pendekatan seperti itu, Indonesia pun berhasil mencetak 17 gol di sepanjang turnamen, terbanyak di antara kontestan-kontestan lainnya. Selain itu, 17 gol itu juga dicetak oleh 8 pemain yang berbeda: Cristian Gonzales [3], Muhammad Ridwan [3], Arif Suyono [2], Bambang Pamungkas [2], Firman Utina [2], Irfan Bachdim [2], Nasuha [1], dan Oktovianus Maniani [1].

Infografik Final Piala AFF 2010

Infografik Final Piala AFF 2010

Sayangnya, setelah menyapu bersih lima laga pertamanya -- tiga laga penyisihan grup dan dua laga semifinal -- Indonesia justru tampil berantakan di laga final. Menghadapi Malaysia di laga puncak, timnas seperti sebuah tim kehabisan baterai. Kreativitas tiba-tiba menguap dan kedisiplinan dalam bertahan berubah menjadi blunder-blunder menyenangkan bagi para penyerang Harimau Malaya: dalam dua laga, secara agregat, Indonesia kalah 2-4. Riedl dan para penggemar sepakbola Indonesia pun hanya bisa geleng-geleng kepala setelah kekalahan itu.

Bagaimana bisa timnas Indonesia yang menghajar Malaysia 5-1 pada babak penyisihan grup, yang membuat Kompas bersuara lantang dengan menyebut “Indonesia Ganyang Malaysia 5-1” setelah pertandingan itu, kalah mudah dari lawan yang sama di laga di final? Bola.com lantas menyebut bahwa kekalahan itu adalah sebuah “misteri.”

Penampilan Timnas Indonesia dalam pertandingan final Piala AFF 2010 itu barangkali merupakan representasi nyata dari ucapan Rob Smith, penulis sepakbola asal Inggris. Suatu kali, dalam sebuah tulisannya di Blizzard tentang kemenangan mengejutkan Real Madrid atas Manchester United pada tahun 2000 lalu, Smith pernah mengatakan bahwa pertandingan sepakbola sejatinya berlangsung lebih dari sembilan puluh menit. Selain jalannya pertandingan itu sendiri, sepakbola biasanya mempunyai prolog dan epilog.

Bagi timnas Piala AFF 2010, prolog itu bisa dilihat dari keyakinan dan antusiasme para penggemar timnas Indonesia menjelang laga final. Saat itu, melihat penampilan Indonesia dalam laga-laga sebelumnya, mereka jelas yakin bahwa Indonesia akan meraih gelar Piala AFF untuk pertama kalinya dalam sejarah.

Sementara itu, epilog timnas AFF 2010 dapat dilihat dari kegagalan timnas yang dengungnya bahkan masih terasa sampai sekarang. Kegagalan itu sudah terjadi sekitar delapan tahun lalu, tapi rasa sakitnya tak akan pernah hilang. Bagaimanapun, salah satu timnas terbaik yang pernah dimiliki Indonesia itu tak pantas untuk gagal.

Baca juga artikel terkait TIMNAS INDONESIA atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Nuran Wibisono