Menuju konten utama
8 April 2020

Mengenang Glenn Fredly: Kebaikan Bernyanyi Melampaui Maut

Glenn Fredly pergi meninggalkan kebaikan. Ia pulang dengan menyuarakan ketidakdilan dan kemanusiaan.

Mengenang Glenn Fredly: Kebaikan Bernyanyi Melampaui Maut
Ilustrasi Mozaik Glenn Fredly. tirto.id/Sabit

tirto.id - Suatu hari di pengujung April 2011, saya pernah iseng-iseng bertanya kepada Glenn Fredly perihal mengapa ia mau repot-repot pulang ke Ambon dan mengurusi banyak hal. “Jadi Glenn Fredly yang penyanyi terkenal itu saja sudah repot. Kenapa mau merepotkan diri berurusan dengan anak-anak muda keras kepala yang baru keluar dari kekacauan besar konflik agama?” tanya saya waktu itu. Glenn sambil memandang Teluk Baguala yang terbuka di hadapan kami tertawa dan bilang, “Ini tanah air beta, ini rumah beta!”

Glenn Fredly di hadapan saya waktu itu tidak menjawab apa pun. Pernyataan itu sendiri buat saya terlalu puitis dan penuh ketidakjelasan untuk menjawab keingintahuan saya yang besar. Biar bagaimanapun, sebelum hari-hari itu, Glenn Fredly dalam ingatan kami, para anak muda di Ambon, tak lebih dari pelantun lagu-lagu cinta patah hati berdarah Maluku yang lahir dan besar di Jakarta.

Kami tahu lagu-lagu seperti “Januari”, “Akhir Cerita Cinta” hingga “Sekali Ini Saja”. Lagu-lagu itu menghiasi tahun-tahun masa remaja kami dengan diputar keras-keras setiap sore di rumah-rumah atau sepanjang hari di mobil-mobil angkutan umum dengan perangkat audio yang terbilang canggih untuk ukuran angkutan umum. Kehidupan kota kecil yang baru saja luluh lantak akibat perang saudara itu mengenal dan ikut merayakannya; tapi, meski berdarah asli Maluku, ia tetaplah seorang asing bagi kami.

Di malam pengujung April itu, penyanyi Endah Widiastuti, yang berada di sana untuk pertunjukan kecil yang digagas oleh Rumah Beta bentukan Glenn Fredly, berbisik kepada saya. “Glenn di sini tidak seperti artis,” katanya sambil tertawa sendiri. “Saya belum pernah melihat Glenn yang seperti ini.”

Malam sudah cukup larut waktu itu. Kami makan di warung nasi kuning pinggir jalan, duduk mengemper di trotoar dan bertukar cerita apa saja. Glenn Fredly ada di sana, ikut duduk dan tertawa. Ia mengenakan kaus hitam dengan celana pendek dan sandal jepit merek Swallow warna hijau.

Tak ada yang datang dan meminta foto bersama. Memang sesekali ada pengendara motor yang tiba-tiba menoleh dan terkejut malu-malu menemukan Glenn duduk berkerumun di emperan jalan, tapi itu lekas menjadi pemandangan biasa saja dan tidak menimbulkan kehebohan apa pun. Ini sebab mengapa Endah menyatakan keheranannya.

Glenn Fredly, bagi saya waktu itu baik sengaja maupun tidak, telah memperkenalkan sisi dirinya yang lain—ikut hidup dengan cara dan perilaku yang menjadi identitas siapa pun yang lahir di kota kecil itu: berkumpul dan tertawa tanpa kenal waktu.

Sejak pertemuan pertama kali di sekitar awal 2010, Glenn memang tidak pernah membicarakan secara khusus mengapa ia tergerak untuk pulang ke Ambon dan menjadi bagian yang hidup di sana. Ia mengumpulkan banyak anak muda—saya termasuk di dalamnya—dan menjelaskan ingin membangun semacam jaringan komunitas yang bergerak melalui seni dan budaya. Ia menyewa sebuah rumah dan menyebutnya sebagai rumah beta;kelak menjadi yayasan dengan nama yang sama.

Rumah itu selama berbulan-bulan kemudian menjadi tempat seniman-seniman muda di Ambon mangkal dan melakukan berbagai aktivitas. Glenn lewat usaha kecilnya percaya bahwa seni dan budaya bisa menjadi identitas yang melekatkan persaudaraan yang baru saja porak-poranda.

Glenn Fredly dan gagasan-gagasannya tidak langsung diterima. Nama besar dan popularitasnya tidak serta merta membuatnya mendapat kepercayaan semua orang.

Glenn seperti yang saya gambarkan sebelumnya adalah orang asing, lahir dan dibesarkan di Jakarta hingga suatu hari mengalami titik balik yang menghantarkannya untuk menginjakkan kaki di tanah leluhurnya. Merujuk pada banyak kenyataan pahit di sekitar tren pulang kampung dan menggagas berbagai hal yang didanggap ideal tapi lalu pergi tanpa hasil apa pun, tak sedikit yang menganggap Glenn Fredly dan cita-citanya hanya akan menjadi pengalaman buruk berikutnya. Glenn tahu benar soal ini. Ia sendiri pernah berkisah tentang penyanyi Franky Sahilatua yang “menyentil” dirinya dengan mengatakan ia bersikap tak ada bedanya dengan orang-orang yang melihat persoalan dari jauh tanpa tahu akar persoalan sebenarnya.

Sentilan itulah yang kemudian membawa Glenn pulang dan terjebak dalam situasi konflik—sebuah momen yang menjadi titik balik kehidupannya sebagai manusia.

“Beta datang ke Ambon dan mengalami sendiri. Itu membuat hidup beta tidak pernah tenang lagi,” katanya, bertahun-tahun kemudian ketika kami merilis Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (2014), sebuah proyek “sekali seumur hidup” karena berisi pengalaman langsung saya sebagai anak yang tumbuh di sekitar tahun-tahun terjadinya konflik agama sebagaimana yang menjadi latar belakang cerita film tersebut.

‘Kebaikan Hidup Melampaui Maut’

Mengenang hidup bersama Glenn Fredly adalah mengenang serangkaian babakan hidup berisi lompatan keyakinan.

Guncangan pertama terjadi ketika Glenn Fredly mengutarakan kepada kami keinginannya untuk “membebaskan” sebuah lagu dari stigma yang melekat selama puluhan tahun pada lagu tersebut. Adalah “Hena Masa Waiya”, syair yang kemudian dinyanyikan dan dilekatkan kepada identitas politik yang dilarang sehingga membuatnya tabu untuk dinyanyikan. Glenn waktu itu bilang syair dan semangat hidup dalam nyanyian tersebut harus dimurnikan sebagai produk budaya, sebagai milik masyarakat tanpa dilekatkan dengan identitas kelompok tertentu.

“Ini milik kita,” katanya dengan senyum dan getar suara yang khas, “harus kita ambil pulang!”

Lagu tersebut kemudian untuk pertama kali diperdengarkan kembali selama rangkaian pertunjukan “Indonesia Kita” yang digagas Butet Kartaredjasa dan Djaduk Ferianto dengan tajuk Konser Cinta Beta Maluku (27-28 Mei 2011) di Graha Cipta Budaya, Taman Ismail Marzuki. Dari sisi panggung, saya melihat punggung Glenn bergetar ketika tifa dan totobuang ditabuh mengiring masuk syair Hena Masa Waiya. Ia merentangkan tangan, menari dan mengepal tinju ke langit.

Lagu tersebut juga kelak diletakan pada akhir film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku dan berkumandang di Istana Presiden ketika diputarkan untuk memenuhi undangan perayaan film tersebut sebagai film terbaik Festival Film Indonesia tahun 2014. Mengutip kalimat Sani Tawainela kepada istrinya, Haspa, di akhir film: “Katong su menang, Ni!

Infografik Mozaik Glenn Fredly

Infografik Mozaik Glenn Fredly. tirto.id/Sabit

Dalam benak saya, ada banyak sekali hal yang terjadi setelah kepergian Glenn Fredly pada 8 April 2020, tepat hari ini setahun lalu.

Setiap kali mendengar ada pelanggaran hak asasi manusia di Papua, saya pasti langsung membayangkan wajahnya. Saya mengenang percakapan-percakapan panjang kami perihal mimpi atas kehidupan di Indonesia Timur yang lebih adil dan berperikemanusiaan.

Saya tertegun lama sekali ketika Nusa Tenggara Timur dihantam bencana akhir pekan kemarin. Saya tahu Glenn punya hubungan erat di satu fase hidupnya dengan kawasan itu. Saya membayangkan kesibukan yang akan digerakkan olehnya.

Glenn Fredly dalam ingatan saya adalah manusia yang selalu bersemangat. Ia selalu tertarik mendengarkan pendapat orang lain, berusaha menempatkan dirinya sejajar meski kadang ada saja orang yang membungkuk-bungkuk di hadapannya. Dengan energi yang seperti tidak ada habisnya, Glenn akan selalu terlibat di manapun kesulitan hidup dan ketidakadilan sedang berlangsung. (Ada kalanya muncul pertanyaan saya: Apa ia tidak capek menghadapi semua situasi tersebut? Hanya saja saya tidak pernah bisa mengutarakan pertanyaan itu dan selalu memilih ikut bersemangat mengiyakan apa pun ajakannya melakukan apa yang dianggapnya sebagai kebaikan.)

Pada Februari 2020, yang ternyata menjadi pertemuan terakhir kami, Glenn Fredly sempat mengutarakan keinginannya agar saya menyutradarai beberapa video musik dari album terbarunya, Romansa ke Masa Depan. Sebuah album yang saya komentari sebagai album yang ganjil karena terkesan sangat berbeda. Saya bahkan bertanya kenapa ada judul “Selesai”, “Kembali Ke Awal” dan “Romansa Ke Masa Depan”—semua yang setelah saya dengar kembali terasa begitu ambigu dan penuh isyarat.

Glenn Fredly tidak pernah menjawab spesifik pertanyaan saya; ia justru bercerita album tersebut akan menandai keputusannya untuk mengambil rehat sejenak dari aktivitasnya sebagai penyanyi dan musisi. Gagasan rehat ini sekarang bergema dan membekas dalam kepala saya.

Saya menangis banyak sekali tahun lalu. Masih sesekali menangis jika teringat momen-momen tertentu. Babak-babak lompatan keyakinan yang banyak sekali itu. Untunglah saya pernah mendengar Glenn Fredly berkata bahwa hanya kebaikan yang bisa membuat manusia hidup melampaui maut. Saya mengenangnya sebagai kebaikan itu dan mengutip lirik lagunya yang berjudul “Abadi”: Di sinilah kita akan berpisah…

Baca juga artikel terkait GLENN FREDLY atau tulisan lainnya dari Irfan Ramli

tirto.id - Musik
Penulis: Irfan Ramli
Editor: Fahri Salam